
Gedung khusus untuk perawatan Ibu dan Anak di RSUD Atambua, NTT
Program Sister Hospital yang dikoordinatori oleh PMPK FK UGM, dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Provinsi NTT, AIPMNH dan beberapa RS Pendidikan besar di Indonesia telah memasuki fase dari dua tahun yang direncanakan. Pada fase ini, semua RS yang terlibat telah mulai menyiapkan exit strategy masing-masing agar apa yang telah dilaksanakan di RSUD-RSUD di NTT dapat terjamin kesinambungannya.
Sebagaimana diketahui, tujuan utama program Sister Hospital ini adalah untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di NTT. Strategi yang ditempuh adalah health service provision, yaitu dengan mengirimkan residen senior atau dokter spesialis dari RS Pendidikan besar di Jawa, Bali dan Sulsel (RS Mitra A) ke RSUD-RSUD di NTT (RS Mitra B) sehingga availabilitas tenaga ahli dapat lebih terjamin. Selain tenaga dokter, juga dilakukan pengiriman tenaga perawat dan bidan untuk memperkuat PONEK di RS Mitra B. Untuk lebih menjamin kontinuitas dari output program, ada kegiatan capacity building untuk mentransfer knowledge dari RS Mitra A ke RS Mitra B. Kegiatan ini antara lain melalui program magang khususnya tenaga perawat PONEK dari Mitra B ke ruang perawatan di RS Mitra A.
Yang menjadi kekhawatiran adalah bagaimana jika program Sister Hospital ini telah selesai, apakah ketersediaan pelayanan spesialistik di RSUD dan mutunya tetap akan bisa dijaga sebagaimana saat program ini masih berlangsung? Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dari stakeholder masing-masing RSUD, bukan hanya dukungan moral melainkan juga dukungan komitmen dalam membuat kebijakan dan peraturan di level daerah yang mendukung serta dukungan anggaran.
Sebagai contoh, RSUD Larantuka memerlukan sekitar 14M untuk meneruskan berbagai program, termasuk yang memang sudah direncanakan untuk dilaksanakan di tahun 2013. Namun kenyataannya APBD yang selama ini mampu dialokasikan oleh pemerintah kurang dari itu untuk seluruh kebutuhan RS. Kebutuhan RS untuk obat-obatan dan alkes mencapai 2,4 M, namun hanya mampu dipenuhi oleh APBD kurang dari 1 M. Dengan kondisi ini, sulit bagi RSUD untuk mempertahankan kondisi saat program Sister Hospital masih ada. |
 |
|
Pasien di RSUD di NTT |
Disisi lain, system yang dibangun oleh program Sister Hospital dan PML belum menyentuh semua aspek. Dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun dan keterbatasan SDM, improvement belum dapat dikerjakan disemua aspek sekaligus. Namun apa yang sudah dicapai perlu dipertahankan, dan improvement di aspek lain perlu diteruskan oleh RS secara mandiri.
 |
Misalnya saat RS dinyatakan lulus akreditasi, tentu status sudah terakreditasi ini harus dipertahankan pada saat setelah penilaian selesai. Memang saat ini KARS dan Kemenkes sedang membangun system akreditasi yang akan melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi dalam memonitor dan membina RS pasca akreditasi. Namun sebelum system ini selesai dibangun dan berjalan dengan baik, saat ini RSUD perlu membangun system internalnya untuk menjaga mutu agar tetap baik. Banyak RS yang belum memiliki perawat supervisor misalnya, untuk memonitor berjalannya system PONEK di RSUD. Di struktur RSUD ada kepala ruang, namun tanggung jawabnya tidak sampai pada mengawasi mutu klinik. |
Beberapa RS sudah mulai konsisten menyediakan fasilitas cuci tangan
|
|
Komite medis juga tampaknya belum menjalankan fungsi sebagai pengawas mutu yang baik. Hal ini salah satunya tampak pada banyaknya resep yang tidak sesuai dengan formularium, padahal persediaan obat dan alkes di RS lebih up to date – karena disusun berdasarkan masukan dari Tim RS Mitra A – dibandingkan dengan obat yang diresepkan oleh oknum dokter spesialis di RSUD. Ini membuat banyak pasien harus membeli obat di luar RS dan persediaan RS jadi tidak terpakai. Dalam hal ini, RS perlu punya mekanisme pengawasan dan evaluasi kepatuhan terhadap formularium.
Hasil evaluasi terhadap salah satu RSUD misalnya, didapat terjadi penurunan manajemen SDM pada pelayanan yang terkait dengan PONEK. Penurunan ini terjadi karena saat ini telah tidak ada tenaga residen yang diperbantukan di RS tersebut. Pada evaluasi yang dilakukan periode sebelumnya, tenaga residen ini tetap dihitung sebgaai input. Agar RSUD ini mencapai standar PONEK, tentu harus ada kesinambungan tenaga untuk mengisi kekosongan yang ada.
Masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk membenahi pelayanan di RSUD di NTT. Semuanya ini membutuhkan dukungan dalamberbagai bentuk, termasuk anggaran dari pusat maupun daerah. Ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan tanpa anggaran yang besar, misalnya monitoring dan evaluasi oleh tim internal RS terhadap terlaksananya SOP. RS hanya perlu menunjuk orang atau tim yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas tersebut, dengan anggaran yang minimal. Namun lebih banyak program yang membutuhkan anggaran yang adekuat, mulai dari yang “kecil” seperti konsistensi pengadaan bahan habis pakai untuk cuci tangan, hingga yang “besar” seperti pengadaan instalasi pengelolaan limbah yang benar.
|
 |
|
Seorang perawat senior dari RSAB Harapan Kita menangani pasien bersama perawat dari RSUD Kefamenanu di ruang perawatan bayi
|