Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau sering menjadi barrier tersendiri untuk memeratakan pelayanan kesehatan. Kondisi ini diperparah dengan tidak meratanya pembangunan infrastruktur sehingga Indonesia memiliki banyak sekali daerah terpencil yang sulit dijangkau, dan membutuhkan waktu lebih dari satu hari perjalanan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi. Kondisi infrastruktur yang juga belum berkembang menyebabkan banyak tenaga profesional, termasuk tenaga kesehatan, enggan bekerja di daerah terpencil.
Kementrian kesehatan (dulu Departemen Kesehatan) pernah memiliki program WKS (Wajib Kerja Sarjana) agar para dokter spesialis yang baru lulus mengabdi di daerah terpencil selama dua tahun sebelum berkarir. Namun program ini kemudian mendapat pertanyaan dikalangan tenaga medis itu sendiri, mengapa hanya profesi dokter saja yang terkena wajib sarjana, sedangkan prodesi lain tidak. Bahkan muncul isu hak „asasi manusia“ dimana profesi dokter juga berhak menentukan ingin berkarir di daerah mana, sehingga kemudian program ini dihapuskan. Para dokter spesialis yang tadinya menjalani WKS di daerah terpencil ada yang kemudian menetap disana, namun lebih banyak yang memilih untuk pindah ke kota besar. Meskipun Kemenkes telah memiliki program flying health care sebagai penggantinya, namun tetap saja tidak semua daerah bisa terjangkau oleh pelayanan ini. Penelitian UGM menunjukkan bahwa penyebaran dokter spesialis sangat tidak merata. Rasio dokter spesialis terhadap masyarakat yang dilayani di Pulau Jawa jauh lebih besar dibanding provinsi lain.
Ketidakmerataan fasilitas dan tenaga profesional kesehatan juga menyebabkan variasi dalam status kesehatan mayarakat. Provinsi NTT misalnya memiliki angka kematian bayi yang masih tinggi meskipun terjadi penurunan dari 2010 ke 2011 (1.214 ke 1.131 kematian) dan kematian ibu yang juga tinggi (239 di tahun 2010 dan 197 di tahun 2011). Salah satu hambatan utama menurunkan angka kematian ini adalah kurangnya tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Banyak RS hanya memiliki 1 atau 2 dokter spesialis tetap. Kini dengan adanya program revolusi KIA yang dicanangkan oleh Gubernur sejak 2009 melahirkan program sister hospital. Beberapa RS besar di Jawa dan Sulawesi Selatan (disebut sebagai RS Mitra A) menjadi konsultan pendamping peningkatan pelayanan khususnya maternal dan neonatal di 11 RSUD di NTT (disebut sebagai RS Mitra B). RS Mitra A ini terdiri dari RSCM, RS Harapan Kita, RSUP Dr. Kariyadi, RSUP Dr. Sardjito, RSUD Dr. Syaiful Anwar, RSUD Dr. Soetomo, RSUD Sanglah, dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sedangkan RSUD di NTT yang masuk dalam program ini adalah RSUD Soe, RSUD Kefamenanu, RSUD Atambua, RSUD Waikabubak, RSUD Umbu Rara Meha, RSUD Ruteng, RSUD Ende, RSUD TC Hillers, RSUD Bajawa, RSUD Larantuka, dan RSUD Lewoleba,
Salah satu kegiatannya adalah mengirim dokter spesialis atau residen senior untuk melaksanakan pelayanan di RSUD-RSUD tersebut sambil mengembangkan sistem klinik dan manajemen yang mendukung. Dengan demikian, kebutuhan tenaga spesialis di RSUD khususnya untuk Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Spesialis Anak, Spesialis Bedah, Spesialis Anestesi cukup teratasi.
Untuk mempercepat proses pembelajaran, 11 RSUD di NTT tersebut juga dilengkapi dengan seperangkat komputer beserta kamera dan sambungan internet untuk melakukan komunikasi lebih intensif dengan RS Mitra A. Awalnya perangkat ini hanya digunakan untuk mengkoordinasikan kegiatan melalui email dan rapat jarak jauh melalui Skype. Namun kemudian fungsinya berkembang menjadi alat konsultasi pada saat tim medis di RSUD melakukan tindakan pada pasien. Hal ini sudah terjadi contohnya di RSUD Kefamenanu. Pada saat ini di RSUD Kefamenanu tidak terdapat dokter spesialis Anestesi, sehingga saat terdapat kasus partus dengan kompllikasi yang membutuhkan operasi, dokter spesialis anestesi di RS Harapan Kita meng-guide tim medis di RSUD Kefamenanu melalui Skype yang perangkatnya sudah dipasang di OK RSUD. Cara ini dianggap efektif untuk mengatasi kendala kekurangan tenaga spesialis.
Jika merefer pada berbagai literatur, apa yang dilakukan di RSUD Kefamenanu tersebut sebenarnya adalah telemedicine. Menurut situs news-medical.net, telemedicine bisa berupa kegiatan sederhana dimana dua orang profesi kesehatan yang mendiskusikan sebuah kasus melalui telepon, sampai ke kegiatan yang lebih kompleks yang melibatkan teknologi satelit, perangkat video-conference untuk melakukan konsultasi real time antar benua. Dengan demikian, pelayanan kesehatan di NTT maupun daerah-daerah lainnya di Indonesia bisa ditingkatkan melalui fasilitas ini.
Yang diperlukan hanyalah seperangkat komputer dan jaringan internet, dan tentu saja kerjasama antara RSUD dengan RS lain yang lebih besar dan memiliki dokter spesialis yang dapat memberikan pelayanan secara jarak jauh. Saat ini sambungan internet sudah menjangkau hampir semua kota kecil di Indonesia. Masyarakat juga sudah sangat familiar dengan internet, jika dilihat dari gadget yang digunakan sehari-hari, termasuk oleh masyarakat dipelosok. Tinggal bagaimana kita menggunakan potensi infrastruktur dan teknologi yang telah tersedia ini untuk kepentingan yang lebih besar dan lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Tulisan Terkait:
[…] Belajar Dari Sistem Akreditasi RS di Australia […]