Dari berbagai materi yang telah disampaikan, berbagai diskusi dan presentasi, setidaknya ada sebelas butir pembelajaran yang bisa diambil dari tiga minggu di Melbourne dan Sydney ini, yaitu:
1. Evidence based policy making
Setiap kebijakan selalu dibuat berdasarkan pada bukti. Dulu Australia memiliki sistem yang terfragmentasi dan tidak ada akuntabilitas sistem sehingga menyulitkan pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap penggunaan sumber daya negara/publik. Belajar dari sejarah ini Ministry of Health kemudian mengambil inisiatif untuk menyatukan seluruh sistem yang ada dengan mengembangkan standar mutu dan keselamatan pasien yang harus diacu oleh semua lembaga pengakreditasi sarana kesehatan.
Evaluasi hasil akreditasi di Indonesia belum pernah dilakukan secara formal oleh Kemenkes maupun KARS, melainkan oleh individual. Oleh karenanya hasil evaluasi tersebut belum secara utuh menilai pelaksanaan akreditasi dan dampaknya terhadap mutu dan keselamatan pasien di RS dari berbagai aspek. Dalam rencana kedepan, evaluasi ini akan dilakukan secara lebih komprehensif dan terkoodinasi antar berbagai pihak terkait sehingga hasilnya bisa digunakan untuk memperbaiki program akreditasi.
Gambar 1. Diskusi kelompok untuk mengidentifikasi lesson leanrt dan isu-isu yang terkait di Indonesia
2. Safety and Quality Framework
Akreditasi merupakan bagian dari sebuah kerangka kerja besar untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Australia melakukan reformasi kesehatan nasional dengan menerbitkan UU tahun 2011 yang mengatur tentang pembentukan komisi nasional untuk keselamatan dan mutu pelayanan kesehatan yang bertindak sebagai pemimpin dalam program keselamatan dan mutu, termasuk di dalamnya akreditasi. Komisi Nasional ini menyusun standar nasional yang dapat digunakan oleh seluruh lembaga akreditasi pelayanan kesehatan. Agar dapat diakui oleh komisi nasional, lembaga pengakreditasi sarana kesehatan harus menggunakan standar nasional yang telah disusun oleh komisi nasional, serta harus sudah diakreditasi oleh EQuIP (jika menggunakan standar ISQua) atau JASANZ (jika menggunakan standar ISO) plus terakreditasi oleh standar nasional. Setelah itu barulah lembaga akreditasi boleh memberikan sertifikat lulus akreditasi dari EQuIP Nasional kepada RS.
RS swasta yang mendapatkan sumbangan dari pemerintah juga harus terakreditasi oleh lembaga akreditasi yang telah diakui oleh komisi nasional.
Di Indonesia berbagai komite dan sub komite sudah dibuat di level nasional maupun RS. Juga ada badan pengawas dan dewan pengawas, berbagai standar mutu dan keselamatan pasien, yang kesemuanya masih bekerja dan digunakan secara terfragmentasi. Semua lembaga dan organ yang ada akan diidentifikasi perannya masing-masing dan disatukan dalam sebuah kerangka kerja Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP). Selain itu berbagai norma, standar, prosedur dan kriteria akan direvisi dan diitegrasikan.
Gambar 2. Penutupan dihadiri oleh Direktur Nossal Institut (depan), Wakil Direktur sekaligus Ketua Program (kanan belakang) dan staffs
3. Regulator Lembaga Akreditasi
Reformasi di Australia menghasilkan UU yang mengatur pembentukan lembaga regulator akreditasi (ACSQHC atau Australia Counsil for Safety and Quality in Health Care). Semua lembaga akreditasi (termasuk ACHS) harus mendapat persetujuan dari ACSQHC dan menggunakan standar nasional mutu dan keselamatan pasien agar dapat diakui sebagai lembaga pengakreditasi dan dapat mengakreditasi sarana kesehatan di Australia.
Di Indonesia KARS telah dilegitimasi secara kuat oleh UU tentang RS dan Permenkes tentang Akreidtasi. Selain itu juga telah ada lembaga-lembaga lain yang mengakreditasi sarana kesehatan, misalnya ARSPI (RS pendidikan), KALK (Laboratorium kesehatan), Dinkes Jateng (Puskesmas), Badan Mutu DIY (Puskesmas) dan Dinkes Jabar (Pelayanan Persalinan). Oleh karenanya kedepannya akan disusun regulasi untuk mengatur berbagai lembaga akreditasi tersebut.
Gambar 3. Team Leader of Indonesia Delegation mengucapkan terima kasih kepada Nossal Institut dan seluruh peserta
4. Peran Pusat dan Daerah
ACSQHC yang ada di level nasional bekerja sama dan berkolaborasi dengan para manajer mutu dan keselamatan yang ada di setiap state. Beberapa provinsi di Indonesia pernah memiliki manajer seperti ini, misalnya Tim Quality Assurance di Jateng dan Kaltim. Selain itu, PP tentang BPRS menyebutkan bahwa salah satu fungsi BPRS adalah mengawasi mutu RS. Di level provinsi juga ada Dinkes yang salah satu perannya adalah melakukan pengawasan dan pembinaan pada RS paska akreditasi.
Kedepannya peran dan mekanisme kerja semua lembaga yang terkait tersebut akan diatur lagi agar lebih harmonis dan saling melengkapi dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien di RS.
5. Akreditasi sebagai bagian dari Program S & Q
Akreditasi di Australia hanya merupakan sebuah “ujian” apakah sarana kesehatan memenuhi standar yang ditetapkan atau tidak. Pada prosesnya, yang terpenting adalah apakah RS menerapkan standar mutu dan keselamatan pasien tersebut pada kegiatan sehari-hari. Untuk itu, ACHS memberikan bibingan selama 4 tahun kepada membernya sebelum diuji untuk memperoleh sertifikat akreditasi.
Di Indonesia akreditasi masih dipandang sebagai tujuan oleh sebagian besar RS dan pemerintah daerah, sehingga banyak tim mutu RS yang setelah akreditasi bekerjanya tidak seintensif sebelum akreditasi. Pola pikir ini harus diubah dimana yang menjadi tujuan adalah praktek yang mengutamakan mutu dan keselamatan pasien. Oleh karenanya tahapan akreditasi di Indonesia akan lebih diperjelas, demikian juga dengan peran berbagai institusi terkait (Dinkes) dalam memberikan pembimbingan paska akreditasi.
6. Transparansi Program Akreditasi
Dulu di Australia akreditasi hanya merupakan “urusan” RS dengan lembaga pengakreditasi. Hubungan yang “eksklusif” antara dua institusi ini menyebabkan peran pemerintah sebagai regulator dan pengawas tidak dapat berjalan dengan baik. Kini akreditasi menjadi bagian dari program peningkatan mutu dan keselamatan pasien dan semua pihak dilibatkan, mulai dari pemerintah/dinas kesehatan, organisasi profesi, asosiasi RS hingga masyarakat. Ada transparansi dan akuntabilitas yang dikembangkan oleh lembaga akreditasi. Inisiatif muncul dari gabungan antara masyarakat, organisasi profesi dan sebagainya yang didorong oleh banyaknya kasus kecelakaan, adverse events dan sebagainya di RS-RS di Australia yang juga diliput oleh media massa sehingga menimbulkan kebutuhan untuk menstandarisasi pelayanan kesehatan.
Di Indonesia banyak RS yang mengalami kesulitan dalam memenuhi standar akreditasi (bukan kesulitan biaya dalam pelatihan atau sertifikasi akreditasi), karena banyak standar pada fase perijinan RS yang dilanggar. Dinas Kesehatan berharap perannya sebagai regulator di daerah dan pembina pra dan paska akreditasi diperkuat, oleh karena itu Dinkes perlu mendapat tembusan laporan hasil kegiatan persiapan dan sertifikasi akreditasi. Audiensi dan workshop terkait dengan hal ini akan dilaksanakan untuk mengharmonisasi mekanisme kerja yang telah ada di KARS dengan Dinkes Provinsi.
7. Resources untuk Program Akreditasi
ACSQHC dan ACHS memiliki banyak sekali sumber belajar yang di-upload di website masing-masing dan dapat diakses secara bebas oleh masyarakat umum. Setiap RS atau secara personal dapat juga membuat pedoman untuk dipublikasikan dan disebarkan oleh ACSQHC, dan yang terbaik akan mendapat reward.
Di Indonesia sudah ada banyak pedoman peningkatan mutu dan keselamatan pasien, salah sautnya berasal dari PERSI Award. Namun berbagai pedoman ini belum diupdate dan belum dikelola sebagai satu kesatuan. Juga belum ada insentif yang mendorong berbagai institusi untuk menerbitkan pedoman yang bisa berlaku secara nasional. Berbagai pedoman yang sudah ada akan diidentifikasi dan di update, dan sistem insentif untuk menyusun pedoman juga akan dikembangkan.
8. Pengelolaan Surveior
ACHS memiliki mekanisme untuk mengelola surveiornya, mulai dari merekrut, kredensial, penugasan, sistem feedback dari RS hingga penilaian kinerja surveior. ACHS didukung oleh sistem IT yang kuat untuk mengelola surveior dan melakukan kegiatan lainnya.
KARS sudah memiliki mekanisme pengelolaan surveior, namun belum didukung oleh sistem IT yang kuat. Kedepannya sistem ini akan dikembangkan sebagai salah satu bentuk penguatan KARS.
9. Penggunaan IT secara Maksimal
ACHS telah menggunakan sistem IT secara maksimal untuk mensosialiasikan program dan standar, sebagai sumber belajar (resources) berupa pedoman, case studies dan sebagainya, untuk mendukung proses survey dalam hal menginput hasil penilaian, untuk mengelola surveior termasuk mengirimkan profil surveior kepada RS yang akan dinilai sehingga RS bisa memutuskan untuk menerima atau menolak surveior yang akan datang, untuk mem-benchmarking indikator klinis RS dengan pencapaian nasional, untuk memberikan penghargaan kepada RS maupun surveior, serta untuk akuntabilitas lembaga ACHS itu sendiri dalam bentuk laporan kepada pemerintah dan publikasi berbagai tulisan terkait dengan kegiatan di ACHS.
KARS sudah memiliki website yang mempublikasi apakah sebuah RS sudah lulus akreditasi atau belum. Namun masih banyak informasi yang belum up to date dan desain website dianggap belum cukup user friendly. Kedepannya website ini akan dikembangkan agar manfaatnya lebih banyak dan sistem IT akan lebih dimaksimalkan untuk mengelola surveior dan mendukung sistem benchmark indikator klinis antar RS.
10. Sistem benchmark kinerja RS secara nasional
Australia telah menetapkan indikator secara nasional yang berlaku untuk semua jenis pelayanan kesehatan di semua level. Selain ACHS yang sifatnya sukarela, juga saat ini sedang dibangun National Health Performance Authority yang mengumpulkan data tentang indikator klinik dan indikator kinerja yang membandingkan RS yang selevel (peer hospital). Program ini sifatnya wajib diikuti oleh seluruh RS (pemerintah) agar mereka bisa saling membandingkan kinerjanya dengan pencapaian nasional. Program ini akan dikelola oleh ACHS dan RS akan mendapatkan feedback untuk melakukan perbaikan.
Di Indonesia telah ada SIRS-Online yang berisi pelaporan rutin (RL 1-12), memiliki 94 indikator dalam SPM-RS, namun belum ada mekanisme untuk mengumpulkan, menganalisa dan memberikan feedback kepada sarana pelayanan kesehatan. Disisi lain, KARS telah memiliki standar akreditasi yang mempersyaratkan RS untuk mengumpulkan dan membandingkan data kinerja dengan RS lain atau database, tetapi belum ada mekanisme pelaksanaannya.
Kedepannya akan dipilih 4-5 indikator yang paling penting untuk diukur dan di-benchmark. RS-RS akan didorong untuk menggunakan SIRS-Online untuk menginput pencapaiannya sehingga data yang masuk nantinya akan dapat digunakan untuk membandingkan kinerja di suatu RS dengan pencapaian nasional.
11. Disability dalam Progam Akreditasi
Di Australia ada NGO yang berperan khusus untuk mengampanyekan kepentingan orang-orang dengan disabilitas dan mendorong pemerintah serta masyarakat untuk selalu melibatkan mereka dalam berbagai aspek pembangunan, khususnya dalam mengembangkan layanan publik. Namun pergerakan NGO ini tergantung pada regulasi lokal dan kebutuhan masyarakat dalam teritori tersebut.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada regulasi yang mengakomodir kebutuhan orang dengan disabilitas. Misalnya dalam standar bangunan yang dibuat oleh PU sudah diatur bahwa bangunan harus memiliki ramp yang memudahkan orang dengan kursi roda untuk lewat. Dalam standar akreditasi hal ini juga sudah diadopsi. Namun dalam prakteknya pedoman ini tidak digunakan oleh banyak perencana atau decision makers untuk merancang gedung yang ramah terhadap penyadang disabilitas.
Kedepannya orang dengan disabilitas akan lebih banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan perencanaan agar kebutuhannya dapat diketahui dengan jelas. Juga akan diterbitkan regulasi dan pedoman yang lebih mengakomodir kebutuhan orang dengan disabilitas tersebut. Pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan paska akreditasi.
Seluruh rencana tindak lanjut ini akan dimatangkan oleh setiap institusi sesuai dengan perannya masing-masing dan akan dibahas kembali pada workshop di Jogja yang rencananya akan dilaksanakan pada minggu kedua Oktober 2012.
[…] Dari berbagai materi yang telah disampaikan, berbagai diskusi dan presentasi, setidaknya ada sebelas butir pembelajaran yang bisa diambil dari tiga minggu di Melbourne dan Sydney ini. Selanjutnya… […]