MEDICAL TOURISM: DIMANA INDONESIA?
5. MENGAPA INDONESIA BELUM BISA MENJADI TUJUAN MEDICAL TOURISM PILIHAN?
Medical tourist atau biasa di sebut juga sebagai medical travel atau health tourism menurut wikipedia merupakan istilah yang biasa di gunakan oleh biro perjalanan atau media massa untuk menggambarkan perjalanan melewati batas negara yang dilakukan dalam rangka mencari pelayanan kesehatan. Perjalanan seperti ini menunjukkan peningkatan yang signifikan khususnya dalam 10-15 tahun terakhir.
Sebagaimana telah dibahas pada tulisan sebelumnya, medical tourism menjadi fenomena yang terjadi secara global. Berbagai negara khususnya di kawasan Asia berlomba-lomba mempromosikan inovasi pelayanan kesehatannya untuk menarik “wisatawan medis asing”. Besarnya mobilitas masyarakat dunia terkait dengan kegiatan medical tourism ini bahkan dipercaya oleh para pakar telah menggerakkan perekonomian negara tujuan. Thailand, Singapura, dan Malaysia adalah tiga dari 10 negara tujuan medical tourism terbaik menurut versi MTQUA (Medical Travel and Tourism Quality Alliance). Bahkan Malaysia juga menjadi salah satu dari lima negara tujuan favourite versi Nu Wire.
Malaysia bisa mencapai peringkat ini karena sejak akhir tahun 1990-an pemerintah sudah melakukan upaya dan menggalang dukungan untuk mengembangka medical tourism. Tahun 1998 pemerintah membentuk Komitee Nasional Promosi Kesehatan Wisata, yang diketuai oleh Dirjen kesehatan dan anggota intinya terdiri dari Kementrian Kesehatan, Kementrian Budaya, Seni dan Wisata, Tourism Malaysia, Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI), Malaysian External Trade Development Corporation (MATRADE), Asosiasi RS Privat Malaysia (APHM) dan Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Malaysia (MATTA). Komite yang didukung juga oleh berbagai stakeholder lain ini memiliki dua tujuan utama yaitu meningkatkan standar pemberi layanan kesehatan dan standar tenaga kesehatan. Dengan demikian diharapkan memberi dampak berupa positioning RS di Malaysia dalam peta medical tourism dunia dan perputaran ekonomi di dalam negeri Malaysia.
Bumrungrad Hospital di Thailand sering menjadi tujuan benchmarking paramanajer dan mahasiswa manajemen RS dari Indonesia yang ingin belajar tentang bagaimana menjadikan RS mampu menerapkan standar internasional. Sebelum adanya Permenkes No 659/MENKES/PER/VIII/2009 tentang RS Indonesia Kelas Dunia banyak RS di Indonesia menggunakan label “Internasional” pada namanya meskipun label ini belum berarti RS yang bersangkutan diakui secara internasional. Bandingkan dengan Bumrungrad Hospital di Thailand yang 60% pasiennya adalahorang asing. Artinya secara internasional RS ini sudah diakui meskipun namanya tidak memuatkata „internasional“. Bahkannama RS ini sangat lokal. Ini berarti bahwa nama RS hanyalah salah satu „kemasan“ yang akan menegaskan citra yang ingin dibangun. Namun yang terpenting adalah bagaimana proses pelayanan itu sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan dan kriteria sehingga menjadi pilihan bagi masyarakat internasional.
Malaysia danIndonesia memiliki karakteristik budaya dan kekayaan alam yang serupa. Namun Malaysia sudah jauh lebih dulu memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk menarik minat dan kepercayaan pangsa pasar medis dunia. Potensi yang sebenarnya juga ada di Indonesia tersebut menjadikan Malaysia memiliki alternatif paket wisata kesehatan yang tak terbatas jumlahnya. Ini menjadikan Malaysia sebagai kekuatan yang sanga tbesar dalam industri wisata kesehatan. Perkembangan ini rupanya cukup menggelitik Eropa sehingga kemudian di akhir tahun 2000-an Perancis dan Jerman juga muncul bahkan sebagai nomer 1 dalam petatujuan wisata medis Eropa menurut versi Economist Intelligent Units (EIU).
Kembali ke Malaysia, kini banyak mahasiswa kedokteran asal Malaysia yang belajar di fakultas-fakultas kedokteran terkemuka di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah agar semakin memahami karakteristik masyarakat Indonesia yang menjadi pangsa pasar terbesar medical tourism mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Saat negara negara tetangga dengan sangat gencar mempromosikan kehebatan pelayanan kesehatannya untuk menarik wisatawan kesehatan – dan dibuktikan dengan sejumlah sertifikasi internasional serta masuk dalam daftar tujuan medical tourism dunia, publik Indonesia mempertanyakan kualitas pelayanan RS-RS di dalam negeri.
Jakarta Globe pada awal Agustus lalu menulis bahwa kualitas pelayanan RS di Indonesia bukan merupakan masalah utama yang melatar belakangi banyaknya orang Indonesia – termasuk Presiden RI dan keluarganya – berobat keluar negeri. Media ini mengangkat kasus Prita Mulyasari sebagai contoh, dimana publik Indonesia mempertanyakan apakah RS lebih tertarik untuk mengeruk uang pasien dari pada memahami masalah mereka dan kemudian memberi terapi yang tepat. Transparansi biaya pelayanan di RS, menurut penulis artikel ini, merupakan masalah utamanya. Tulisan ini mendapat tanggapan dari pembacanya. Ada yang mengkritisi masalah standar kompetensi tenaga medis, penyebaran tenaga dokter yang tidak merata di seluruh Indonesia, hingga waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan yang sangat panjang dan tidak pasti dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh RS-RS dinegara tetangga.
Jika kompetensi yang dianggap masalah, sepertinya hal ini kurang tepat. Banyak tenaga kesehatan Indonesia memiliki kemampuan yang hebat, bahkan melebihi kemampuan dokter asing. Contoh, jika kita berada di daerah terpencil, banyak tenaga medis di sana dipaksa harus mampu menegakkan diagnosa dan melakukan tindakan medis dengan menggunakan peralatan sederhana. Kondisi ini memaksa dokter- dokter Indonesia untuk mengasah feeling dan skill agar dapat menolong pasien. Beda dengan di Singapura misalnya, dimana semua alat tersedia sehingga yang diperlukana adalah kemampuan dokter dalam menggunakan alat tersebut. Meskipun ini tidak berlaku secara general, namun bisa dikatakan bahwa dokter Indonesia masih bisa disejajarkan dengan negara lain di Asia.
Masalahnya mungkin lebih keaspek sistem pelayanan di RS maupun suprasistem RS yang belum mendukung untuk terciptanya situasi yang dapat diterima sebagai standar pelayanan berkelas internasional. Contoh lain yang kerap terjadi terkait hal ini adalah biaya pelayanan. Seringkali pasien tidak mengetahui berapa uang yang harus disiapkan untuk menjalani suatu prosedur medis. Informasi ini baru isa didapat setelah prosedur dan proses pelayanan selesai dilakukan. Padahal salah satu syarat yang dibuat oleh pemerintah negara-negara maju untuk masyarakatnya bisa mencari pelayanan di luar negeri adalah terjaminnya biaya pelayanan sampai pasien kembali ke negaranya, sehingga informasi biaya kesehatan tersebut sangat penting untuk diketahui di awal.
Syarat lain yang juga mutlak adalah RS yang bersangkutan telah terakreditasi oleh lembaga akreditasi yang sudah mendapat pengakuan internasional. Di Indonesia sampai dengan saat ini hanya ada 5 RS yang sudah terakreditasi secara internasional, yaitu RS Sentosa Bandung, RS Siloam Karawaci, RS Premier Jatinegara, Eka Hospital dan RS Premier Bintaro. Seluruhnya terakreditasi denganstandar JCI. Meskipun saat ini Kemenkes sedang memacu RS-RS Pusat untuk memenuhi standar akreditasi KARS versi 2011 yang mengadopsi standar JCI, namun hal itu tidak sertamerta menjamin masyarakat internasional percaya dan mau menjadikanIndonesia sebagai alternatif tujuan wisata medis. Mengapa? Karena untuk menjadi wisata medis diperlukan kerjasama dan hubungan yang kuat antar lintas sektoral, seperti yang sudah dilakukan oleh Malaysia. Dari aspek keamanan dan risiko tertular penyakit infeksius kita harus mengakui bahwa Indonesia masih kalah dengan Malaysia.
Indonesia masih menghadapi PR besar; disatu sisi membenahi sistem pelayanan kesehatan (termasuk berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti supply tenaga profesional, distribusi dan harga obat/alkes dan sebagainya), disisi lain bagaimana membuat berbagai sekto rterkait berjalan dengan langkah yang sama dan harmonis untuk menjadikan pelayanan medis di Indonesia sebagai tujuan wisata. [pea]
2. Murah, Biaya Pelayanan Kesehatan di Asia dan Afsel
3. Potensi Pasar Medical Tourism
4. Yang Mendukung Indonesia Menjadi Tujuan Tourism
6. Seberapa Siapkah RS-RS di Indonesia?
[…] Kesehatan di Indonesia; sudahkah menjadi alternatif tujuan wisata? Pelayanan Kesehatan di Indonesia; sudahkah menjadi alternatif tujuan wisata? Libur panjang baru saja berlalu. Arus mudik dan arus balik dengan segala konsekuensinya sudah […]