Rasanya seperti memasuki dunia lain ketika melihat kehidupan masyarakat di Waa Banti (Kampung Waa), Kabupaten Mimika, Papua. Deretan pegunungan dan hutan lebat yang mengelilingi desa seolah menjadi benteng bagi masuknya peradaban luar. Masyarakat hidup dengan sangat bersahaja. Kemana-mana hampir selalu ditempuh dengan berjalan kaki. Sesekali tampak kendaraan PT. Freeport Indonesia yang mengangkut karyawan atau penduduk melintasi jalan desa yang berbatu.
Kabupaten Mimika yang berdiri tahun 2000 terdiri dari 12 distrik, yaitu Mimika Barat, Mimika Barat Jauh, Mimika Barat Tengah, Mimika Timur, Mimika Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila, dan Jita. Distrik Tembagapura merupakan satu wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Menurut sesnsus penduduk 2010, penduduk Distrik Tembagapura berjumlah 16.477 jiwa. 68,53% penduduk tinggal di Kelurahan Tembahapura, 12,03% di Waa Banti, , 6,4% di Arwandop, dan sisanya tersebar di kampung-kampung lain (Tsina, Jagamin, Banigogorn, Opitawak dan Dolingingokngin).
Waa Banti sendiri terletak pada ketinggian kurang lebih 1500 m dpl. Dengan ketinggian ini suhu rata-rata mencapai 15 – 18 derajat Celcius dan hampir selalu berkabut siang dan malam.
Masyarakat Papua yang bermukim di Waa Banti kebanyakan merupakan warga suku Amungme, salah satu suku terbesar di Papua. Selain Amungme, ada juga suku lain yang bermukim di Waa Banti sebagai pendatang, misalnya warga suku Dani.
Rumah tradisional penduduk Papua disebut honai. Rumah ini berbentuk lingkaran seperti tabung dengan atap yang berbentuk kerucut, biasanya tidak berjendela sehingga di dalam rumah gelap dan udara hampir tidak tersirkulasi. Seluruh aktivitas rumah tangga dilakukan di dalam rumah, seperti memasak (dengan kayu bakar), berkumpul dengan kaluarga, tidur, bahkan hingga memelihara ternak (babi). Satu rumah bisa dihuni oleh lebih dari 10 orang, tergantung pada jumlah anggota keluarga.
Meskipun ada sebagian kecil penduduk Distrik Tembagapura yang tinggal di rumah-rumah yang lebih sehat, namun sebagian besar mereka yang tersebar di kampung-kampung masih tinggal di honai. Dengan kondisi ini tidak mengherankan jika penyakit TB, diare, pneumonia dan kecacingan dengan mudah menyebar diantara penduduk. Kondisi malnutrisi pada ibu hamil dan anak juga biasa terjadi.
Tradisi masyarakat Papua adalah hidup dalam keluarga besar. Seorang kepala keluarga bisa memiliki 4 – 5 istri. Program KB sulit dijalankan disini khususnya di Banti karena masyarakat punya kecenderungan untuk memiliki banyak anak. Sering kali seorang ibu yang masih dalam masa menyusui hamil lagi sehingga bayi yang disusui tidak lagi mendapatkan ASI. Selain itu ibu-ibu juga tidak terbiasa menyuapi anaknya. Anak-anak dibiarkan makan sesuai dengan keiinginannya, sehingga tidak kebutuhan gizi anak tidak terjamin. Kondisi malnutrisi sering menyebabkan proses penyembuhan mereka lama, ketika mereka menderita malaria atau penyakit lainnya.
Banyak masalah kesehatan yang dapat dicegah seandainya masyarakat bisa menjaga kebersihan diri dan lingkungan, membuat rumah menjadi lebih sehat, dan membiasakan pola makan yang baik khusunya bagi kelompok yang rentan terhadap penyakit seperti ibu hamil, bayi dan anak-anak. Namun petugas kesehatan dari Rumah Sakit (Banti dan Tembagapura) maupun Puskesmas dan Posyandu (binaan PTFI) harus berkali-kali memberikan penyuluhan tentang satu topik – misalnya tentang pentingnya cuci tangan sebelum makan – agar dapat dipahami oleh mayarakat. Padahal kegiatan seperti ini yang sangat diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan meningkatkan hari-hari produktif masyarakat. Beberapa anggota masyarakat yang potensial menjadi agent of change – karena kemampuannya mempengarui masyarakat sekitar – diangkat menjadi kader posyandu. Namun karena mereka buta huruf, perannya sebagai kader menjadi tidak optimal. Dibandingkan dengan kondisi di daerah lain – apalagi di Jawa – kondisi masyarakat di Banti khususnya dan Kabupaten Mimika serta Provinsi Papua pada umumnya masih jauh dari sentuhan pembangunan.
Pemerintah pusat perlu memberi perhatian lebih terhadap masalah ini. Pendekatan yang digunakan untuk membangun sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lainnya, tidak bisa sama dengan pendekatan yang dilakukan di Jawa. Masyarakat Papua adalah juga masyarakat Indonesia yang berhak mendapat perhatian dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Meskipun Indonesia sudah merdeka selama 67 tahun, namun dampak kemerdekaan ini belum banyak dirasakan masyarakat selain berupa kibaran merah putih di berbagai sudut kota dan daerah. Terkait dengan masalah tersebut, baru-baru ini presiden SBY menyatakan bahwa pembangunan di Papua dan Papua Barat akan dipercepat, dan triliunan dana akan dialokasikan untuk itu. Yang terpenting adalah pendekatan yang digunakan, karena alokasi dana saja tidak cukup. Perlu kearifan untuk melihat masalah di Papua secara lebih dekat dan lebih obyektif sehingga strategi pembangunan yang dipilih bisa tepat mengenai sasaran.
Disisi lain, pemerintah daerah perlu lebih proaktif dalam memberdayakan potensi-potensi daerah yang ada. Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap kualitas hidup masyarakat, tingkat pendidikan yang mereka peroleh dan kemajuan peradaban mereka. Promosi kesehatan dan upaya preventif terbukti dapat mengurangi angka kunjungan pasien ke RS. Upaya ini perlu dilakukan secara lebih intensif oleh pemerintah dnegan mengaktifkan puskesmas dan posyandu, mendidik dan memberdayakan kader-kader kesehatan, serta menggunakan pendekatan budaya untuk mengubah pola hidup tidak sehat penduduk menjadi pola yang lebih sehat.
RS Waa Banti Mengabdi Untuk Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat Mimika, Papua
[…] langsung dari kegiatan pertambangan, yaitu suku Amungme yang merupakan penduduk asli wilayah Waa (Kampung) Banti dan kampung lain yang ada disekitarnya. Karena tuntutan kebutuhan pelayanan, pada tahun 2002 Klinik […]
[…] di Provinsi Aceh, sangat berbeda dengan yang berada di Jawa, juga berbeda dengan yang ada di Papua. Meskipun sudah banyak liputan dan analisis yang membahas hal ini, namun tetap saja kita mengahdapi […]