Jakarta – Klinik Tong Fang, satu tempat pengobatan ala Cina yang populer di Jakarta, telah menjadi perbincangan publik beberapa pekan ini. Pembicaraan soal iklan klinik yang terkesan bombastis ini ramai di blackberry dan obrolan di linimasa Twitter.
Meski mendadak tenar, tapi Klinik Tong Fang di Kelapa Gading, Jakarta Utara ini, memiliki sejumlah masalah. Misalnya soal izin pengobatan. Menurut Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara Bambang Suheri, Klinik Tong Fang telah memiliki izin praktek. “Keberadaan dan izin klinik dan obat-obatannya sudah ada,” kata Bambang kepada Tempo, Ahad, 12 Agustus 2012. Tapi Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal, Budi Sampurna, punya pendapat berbeda.
Menurut Budi, belum ada peraturan yang tegas mengenai pendirian klinik pengobatan tradisional Cina. “Kami tidak pernah memberikan izin, melainkan hanya meregistrasi,” ujar Budi Sampurna seperti ditulis Majalah Tempo edisi 10 Juni 2012.
Pemberian nomor registrasi hanya berguna untuk memantau kinerja klinik, hasil khasiat, dan mengetahui efek samping atau bahaya dari praktek pengobatan itu. Pada realitanya, banyak klinik pengobatan tradisional mengklaim registrasi sebagai izin mendirikan klinik, bahkan menjadikannya sebagai satu elemen iklan. Padahal untuk mendapatkan izin, harus ada uji klinis lebih dulu dari klinik itu.
Permasalahan tak cuma di soal izin operasi saja. Bagi pasien, pengobatan Cina menimbulkan problem baru: biaya. Misalnya saja Endang, pasien klinik Tong Fang yang mengidap diabetes selama lima tahun. Kata Endang, ia datang ke Tong Fang karena penasaran dengan iklannya di televisi.
Di kunjungan pertamanya, 12 Agustus 2012, Endang mendapat arahan dari shinshe–panggilan untuk ahli pengobatan tradisional Cina–tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, serta obat untuk 10 hari. “Saya sudah mengeluarkan duit Rp 13 juta untuk pengobatan ini. Entah pengobatannya bakal berhasil atau tidak,” kata Endang.
Tira Regina, seorang pasien di klinik Cina lain di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, juga punya pengalaman serupa. Pengobatan Cina untuknya memakan biaya besar. Untuk penyakit wasirnya, Tira ditarik bayaran sampai Rp 9-12 juta. Ia sendiri datang ke sana karena tergiur iklan di televisi dan media cetak. “Waduh, saya kira ambeien tidak semahal ini,” ujar Tira.
Perempuan 30 tahun itu dikenakan biaya belasan juta untuk menebus obat herbal. Karena uang di kantong hanya Rp 500 ribu, Tira pun ambil paket mini guna pengobatan tiga hari.
Mahalnya ongkos berobat ala Negeri Gingseng itu tak hanya dikeluhkan pasien. Ahli pengobatan tradisional Cina juga mengakuinya. Misalnya saja Cim An, ahli pengobatan tradisional Tionghoa yang sudah 32 tahun membuka praktek. Kata Cim An, seharusnya harga yang diberikan itu manusiawi karena Tuhan memberi ilmu untuk menolong orang. “Bukan untuk tujuan komersial,” kata Cim An.
Tapi di sini lain dia juga memahami kenapa harga obat Cina mahal. Bahan baku obat herbal, kata dia, tak mudah dicari. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan di pegunungan Tibet dan lainnya cuma dapat diolah pada dua musim. Misalnya, tung cung xiao cao yang berbentuk ulat tanaman di musim dingin, dan berbentuk rerumputan di musim panas. “Harga tung cung xiao cao, untuk penyakit paru-paru, sekitar Rp 10 juta per 30 gram,” ujar sinse yang tidak beriklan ini.
Menurut perintis pengobatan Timur dalam dunia medis Indonesia, Dr. Dharma Kumara Widya, satu-satunya metode pengobatan Cina yang dapat diterima logika medis dan dibuktikan secara empiris adalah akupunktur.
Soal metode pengobatan Cina lainnya, Kepala Departemen Akupunktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini menyatakan hal itu belum bisa dibuktikan secara medis. Tapi dia juga meminta masyarakat tidak apriori terhadap pengobatan tradisional Cina. Karena meski susah dibuktikan secara medis, pengobatan tradisional Cina jauh lebih tertata daripada pengobatan tradisional lain.
“Kalau tidak bermanfaat, bagaimana mungkin pengobatan tradisional itu bisa bertahan hingga ribuan tahun dan terus ada dan dipakai hingga saat ini?” katanya.
Kalau ada yang dipermasalahkan, lanjut Dharma, adalah iklan yang berlebihan. Terutama dengan berbagai testimoni. “Kalau benar hasilnya, sih, tidak apa-apa. Tapi kalau tidak itu, kan, namanya membohongi publik,” ujar Dharma.
Soal iklan inilah yang menjadi masalah klinik Tong Fang. Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara Bambang Suheri mengatakan Tong Fang menyalahi Peraturan Kementerian Kesehatan RI Nomor 1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Tradisional.
“Kekurangan iklan itu ada pada kata-kata yang terlalu memuja. Padahal perlu ada pembuktian di testimoni para pasien yang memuja kebaikan klinik itu,” kata Bambang.
Mengenai iklan itu, Tong Fang menolak berkomentar. “Kami tidak bisa menanggapi,” kata petugas yang tak mau menyebutkan namanya kepada Tempo, Ahad, 12 Agustus 2012. Ia mengaku tidak berwenang memberikan keterangan apa pun kepada media massa. Saat hendak mengkonfirmasi kepada atasannya, petugas tadi mengaku bosnya sedang keluar kota.
Sumber: TEMPO.Co