2009, Health Informatice, University of Wollongong
2003-2005, Medical Doctor, Universitas Gadjah Mada |
2009, Health Informatice, University of Wollongong
2003-2005, Medical Doctor, Universitas Gadjah Mada |
JAKARTA – Kartu Jakarta Kesehatan atau KJS yang sudah diluncurkan, membuat peningkatan jumlah pasien di berbagai rumah sakit pemerintah. Seiring berjalannya waktu, peningkatan pasien juga dialami beberapa rumah sakit swasta, salah satunya di Rumah Sakit Haji, Jakarta Timur.
Menurut Dini, Kepala Humas Rumah Sakit Haji, peningkatan pasien memang terjadi cukup signifikan dari awal November khususnya setelah KJS diluncurkan. Selain itu, pasien Keluarga Miskin (GAKIN) juga cukup banyak. “Loket pendaftaran dengan kaca sampai harus dibongkar, karena peningkatan pasien yang ingin berobat dan saat ini mengalami peningkatan dua kali lipat dari biasanya,” kata Dini kepada Kompas.com saat ditemui di RS Haji, Senin (17/12/12).
Dirinya juga memaparkan, saat ini terjadi peningkatan biaya terhadap pasien Gakin dan KJS. Saat bulan Oktober biaya yang harus dikeluarkan untuk pasien Gakin sebesar Rp 900 juta. Untuk bulan November dan Desember sejak KJS diluncurkan belum terdapat data signifikan untuk pengeluaran biaya terhadap pasien KJS yang berobat.
Selain itu jumlah pasien yang berobat di RS Haji mencapai 1.200 orang dalam satu bulan. Terjadi peningkatan dua kali lipat dari biasanya, terlebih setelah masyarakat dapat menggunakan KJS dengan syarat yang cukup mudah. Dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga DKI dapat berobat dengan gratis.
Dini mengatakan, tidak ada pembedaan pelayanan untuk pasien umum ataupun dengan KJS. Dalam beberapa waktu ke depan pihak rumah sakit merencanakan akan menambah ruangan, khususnya kelas III, agar dapat menampung jumlah pasien KJS yang kian meningkat.
Sumber: megapolitan.kompas.com
Mataram – Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi meminta pemerintah daerah memperhatikan kebutuhan rumah sakit jiwa di wilayahnya.
“Ini milik daerah jadi tentu inisiatif dan planning (perencanaan) dari daerah, kami akan memberi bantuan teknis dan ide-ide pengembangan seperti bantuan dana dan tenaga,” kata Nafsiah setelah meninjau Rumah Sakit Jiwa Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu.
Dia juga mengatakan bahwa peningkatan status rumah sakit jiwa sangat tergantung pada kondisi fisik, mutu pelayanan, dan kualitas sumber daya manusia pengelolanya.
Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa Mataram, Elly Rosila W, jumlah pasien gangguan jiwa di rumah sakit yang dia pimpin cenderung bertambah dalam enam tahun terakhir.
Pasien Rumah Sakit Jiwa Mataram, yang berkapasitas 100 tempat tidur untuk pasien rawat inap, berkisar antara 85 sampai 90 orang setiap hari. Kadang jumlah pasien rawat inap melebihi daya tampung rumah sakit.
“Bahkan kami sering menggunakan ruang gawat darurat untuk ruang inap karena jumlahnya telah melebihi kapasitas tampung,” katanya.
Menurut dia, kebanyakan pasien Rumah Sakit Jiwa Mataram mengalami gangguan skizofrenia, depresi, kecemasan dan phobia.
“Yang dominan karena faktor ekonomi, ada juga karena terlalu lama menganggur dan tak kunjung mendapat pekerjaan, akibat PHK dan penyebab ekonomi lainnya,” kata Elly.
Sumber: antaranews.com
JAKARTA: Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengimbau rumah sakit swasta untuk ikut dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) bidang kesehatan pada 1 Januari 2014. Caranya dengan memperbanyak layanan kelas 3.
“Rumah sakit swasta sebenarnya sifatnya sukarela dalam SJSN bidang kesehatan. Kalau mau ikut silakan, terutama pada layanan kelas 3,” kata Menkes Nafsiah Mboi saat meresmikan Rumah Sakit (RS) Bethsaida, di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, akhir pekan lalu.
Makin komersialnya bisnis rumah sakit dan makin minimnya layanan buat masyarakat lapisan bawah membuat Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, prihatin. Dengan keikutsertaan rumah sakit swasta, lanjut Nafsiah, akan memudahkan masyarakat untuk berobat. Terutama yang dekat dengan rumah sakit swasta, dibanding rumah sakit milik pemerintah pusat atau daerah.
“Selain juga bisa mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah dan pemda,” ujarnya.
Untuk mempersiapkan pelaksanaan SJSN ini, lanjut Nafsiah Mboi, saat ini pemerintah terus membangun rumah sakit di berbagai daerah. Selain juga mendukung swasta membangun rumah sakit berstandar internasional untuk membendung orang Indonesia yang berobat ke luar ngeri.
Preskom Bethsaida Hospital, Elisabeth Sindoro menuturkan, meski tergolong rumah sakit baru pihaknya berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan SJSN. Salah satunya adalah menggunakan sisa lahan yang dimiliki untuk mendukung program pemerintah itu.
Hal senada dikemukakan Tanto Kurniawan, Preskom RS Bethsaida Serpong. Menurutnya yang membedakan antara rumah sakit di dalam dan luar negeri sebenarnya adalah persepsi pasien.
“Kebanyakan orang Indonesia masih menganggap kalau berobat ke luar negeri lebih besar tingkat kesembuhannya. Apalagi pelayanan dokter di tanah air juga ada yang masih kurang ramah,” ujar Tanto.
Sumber: suarakarya-online.com
IOWA CITY- Hospital admissions for acute heart attacks fall about 20 percent 36 months after restaurant, bar and workplace smoking bans, U.S. researchers say.
The researchers investigated the association between U.S. smoking bans targeting workplaces, restaurants and bars passed from 1991 to 2008 and hospital admissions for smoking-related illnesses — acute myocardial infarction and chronic obstructive pulmonary disease — among Medicare beneficiaries age 65 or older.
In addition, to fewer heart attack admissions, admission rates for chronic obstructive pulmonary disease fell 11 percent where workplace smoking bans were in place and 15 percent where bar smoking bans were present.
However, there was very little effect found for hospitalization for gastrointestinal hemorrhage and hip fracture — two conditions largely unrelated to smoking and examined as points of comparison.
The researchers — Mark W. Vander Weg and Gary E. Rosenthal of the University of Iowa Carver College of Medicine and Mary Vaughan Sarrazin of the Iowa City Veterans Affairs Research Enhancement Award Program, Midwest Veterans Affairs Rural Health Resource Center and Carver College of Medicine — said their findings provide further support for the public health benefits of laws that limit exposure to tobacco smoke.
The findings were published in the journal Health Affairs.
Sumber: m.upi.com
Latar belakang keilmuan, Sarjana and Accounting Professional Education, Gadjah Mada University, Yogyakarta,
Master in Accounting Science, Gadjah Mada University, Yogyakarta dan
mengambil Doctor in Business Management,Majoring in Accounting. Padjadjaran university, Bandung
Merauke – Semua orang kaget melihat bocah yang lahir dengan posisi jantung melengket dengan kulit di sekitar leher serta gumpalan usus di sekitar perut. Kejadian tersebut adalah pertama kali terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis anak, mereka pun ‘angkat tangan’ dan tidak bisa menangani bayi tersebut, lantaran peralatan yang sangat minim.
Kendari, Benar. Transformasi dari hal lama ke yang baru selalu menimbulkan resonansi, positif dan negatif. Reaksi seperti itu pulalah yang kini bernada, dilontarkan masyarakat pasca beroperasinya Rumah Sakit Umum (RSU) Bahteramas di Baruga, menggantikan RSUD Sultra di Mandonga. Hampir dua bulan terakhir, sentra pelayanan kesehatan yang diklaim berkelas internasional tersebut difungsikan dengan segala kekurangannya. Sayang, konstruksi megah yang belum rampung itu berubah menjadi sembilu sinis penuh keluhan.
Dominasi warna eksterior padu putih dan biru sebenarnya bisa menjadi lambang kesejukan bagi para pencari pemulihan kesehatan. Belum lagi desainnya yang megah penuh “taste” arsitektur berkelas. Namun semua itu tak ada artinya. Masyarakat tak mau tahu, pelayanan harus maksimal tanpa toleransi argumen petugas medis yang meminta pasie sabar dengan kondisi volume proyek RSU yang memang belum 100 persen.
Sejak 21 Oktober lalu, RSU Bahteramas telah resmi beroperasi menggantikan fungsi RSUD lama. Sebenarnya, ada banyak hal baru yang ditawarkan, seperti ruang baru dengan berbagai fasilitas yang juga serba baru. Pasien bisa menikmati ruang perawatan ber-AC yang sebelumnya tak dirasakan di RSUD lama, seperti di gedung IGD dan perawatan bayi. Instrumen pengecekan kesehatan berteknologi canggih dan lainnya. Kondisi ruang perawatan lain yang dirasa nyaman juga ada di ruang Melati. Tempat ini memang didesain sebaik mungkin, sebab pasien yang dilayani diruang ini adalah bayi. Namun, kebijakan yang hanya membolehkan ibu bayi yang menemani, membuat bagian lain dari gedung melati menjadi “pemukiman baru”.
Seorang ibu muda yang datang dari luar kota bersama bayi dan kedua orang tua mengungkapkan, ayah dan ibunya semalam harus tidur di teras gedung. “Yah karena mareka tidak diperbolehkan masuk, terpaksa menginap di sini,” katanya. “Kan tidak mungkin juga Dia (Ibu bayi) datang membawa anaknya sendiri, makanya kami temani. Eh..ternyata sampai di sini kami tidak boleh ikut menjaga bayi di dalam. Terpaksa nginap di luar walaupun dingin. Kalau siang dan kencang angin, luar biasa debunya berhamburan,” sambung Kakek Si Bayi itu.
Keluhan lain soal bentangan jarak antar ruang satu dengan lainnya ke sentra informasi yang lumayan jauh. “Capek harus bolak-balik antara gedung administrasi dengan gedung mawar. Ujung pukul ujung.Gedungnya banyak sekali tapi banyak juga tak terpakai. Di gedung mawar saja masih banyak yang kosong. Baru di sini panas sekali,” gerutu pengunjung lainnya. Lain ruangan, lain pula keluhan yang terlontar. Di ruang perawatan Anggrek berkelas I itu pun tetap saja panas. Mesin pendingin ruangan yang baru tak berfungsi maksimal dan tak ada tirai pelindung matahari. Kertas berhelai lebar pun menjadi alternatif menutupi polosnya sekat kaca. Untuk mengatasi hawa panas, keluarga pasien tetap saja harus membawa fasilitas kipas angind ari rumah masing-masing.
Namun dari banyaknya intonasi kritik, sebagian pengunjung juga mengaku puas dengan pelayanan di ruang IGD yang dinilai lebih baik.
Krisis air bersih adalah item keluhan lainnya. Sayangnya, tak ada jawaban dan tanggapan memuaskan dari para pejabat dari semua masalah yang membuat RS bertaraf internasional itu jatuh pamor berasa tradisional. Humas RSU Bahteramas, Masyita, M.Kes yang begitu proaktif promosi dan memublikasikan aktivitas rumah sakit, enggan berkomentar banyak. Argumennya, saat ini Ia sedang dibebastugaskan dari jabatan Humas karena sedang mengikuti pendidikan dan latihan. “Jangan sampai saya komentar, lantas menyalahi wewenang. Karena sudah beberapa hari ini saya tidak bertugas, jadi tidak tahu kondisi lapangan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/12) lalu.
Sementara itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSU Bahteramas, dr Asniati yang ditemui langsung pun menyiratkan nada penolakan untuk memberi penjelasan. Ia tak mau berkomentar sebelum mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit, dr. Nurdjajadin Aboe Kasim. “Wah maaf sekali, Saya tidak bisa. Nanti tunggu Dokter Jaya (sapaan akrab Nurdjajadin Aboe Kasim) saja,” tampik Pelaksana Direktur RSU Abunawas karena pimpinan tertinggi saat ini sedang berada di Bandung, Jawa Barat.
Sebelumnya Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Sultra sudah membeber hasil monitoringnya pada sentra pelayanan publik tersebut. Dari penilaian yang dilakukan Sabtu (1/12) lalu, lembaga tersebut menemukan adanya pelayanan yang tidak memenuhi standar. Dari 14 item yang disyaratkan dalam UU No. 25 Tahun 2009, baru dua poin yang terpenuhi. Kepala ORI Perwakilan Sultra, Aksah mengatakan, dalam rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU No 25 tahun 2009 pada pelayanan publik, diatur 14 komponen standar pelayanan, antar lain, dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, tarif, produk pelayanan, sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran, dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan dan evaluasi kinerja Pelaksana. “Dari pantauan langsung kami di RS Bahteramas, baru dua komponen pelayanan yang terpenuhi, yakni prosedur mekanisme pelayanan dan tarif pelayanan, lainnya belum tampak,” ungkap Aksah.
ORI akan melakukan koordinasi dengan pihak penyelenggara RS, dengan harapan seluruh standar pelayanan publik dapat terpenuhi. “Kami berupaya mendorong terpenuhinya asas-asas pelayanan publik yang sesuai standar yang sudah diamanahkan undang-undang. Apalagi rumah sakit merupakan obyek pelayanan publik yang sangat vital. Jadi tidak ada alasan untuk menunda-nunda standar pelayanan publik dimaksud,” tegasnya.
Sumber: sultrakini.com
Kendari, Setelah aktivitas pelayanan, poliklinik dan ruang perawatan RSUD Sultra dipindahkan ke RSU Bahteramas, muncul beragam wacana mengenai alih fungsi eks gedung. Para penentu kebijakan di Sultra mulai berargumen dengan “kepentingan” masing-masing. Sebagai eksekutif, Pemprov Sultra dengan dalih optimalisasi pemanfaatan aset daerah bersikukuh agar pengelolaan gedung yang terbengkalai diserahkan saja ke pihak ketiga melalui kebijakan ruislag (tukar guling) atau istilah lain, BOT.
Disatu sisi kebijakan ini bertolak belakang dengan wacana Komisi IV DPRD Sultra yang ingin menjadikan eks gedung RSUD lama sebagai rumah sakit rujukan kelas III. Untuk mewujudkan hal itu, Komisi IV beberapa waktu lalu telah “berguru” ke provinsi tetangga Sulawesi Selatan terkait mekanisme prosedur pelaksanaannya. Meski mendapat penolakan dari sebagian besar anggota DPRD namun anggota dewan dari partai pemerintah tetap setuju dengan kebijakan ruislag itu. Alasan yang dijadikan senjata bagi kelompok yang setuju ruislag, bahwa telah ada RS Bahteramas yang lebih lengkap dan bertaraf internasional apalagi sentra layanan baru itu juga melayani pasien Jamkesmas, Bahteramas, Askes dan kartu pengobatan lainnya.
Sehingga keberadaan RS rujukan kelas III terkesan mubasir. Legislator PAN, Nasrawaty Djufri mengatakan pengoperasian RS rujukan kelas III selain membebani APBD juga tak akan berjalan efisien. Permasalahannya, untuk membuka RS baru butuh anggaran yang tidak sedikit dalam menyediakan fasilitas dan alat-alat medis pengobatan. Namun jika RS itu tetap menggunakan fasilitas medis yang tersedia di RSU Bahteramas maka kinerja pelayanan pun tetap tak akan maksimal, sebab dibatasi oleh jarak. Biaya operasional juga akan bertambah.
“Intinya, selain membuang anggaran rencana tersebut akan berimplikasi pada kebijakan yang telah ada. Misalkan, bila RSUD rujukan kelas III didirikan, bagaimana dengan RSU yang telah ada dan lebih representatif dan lengkap peralatan medisnya,” ulang Anggota Komisi IV itu, menegaskan. Sebelumnya, pada berbagai kesempatan Pemprov selalu membeberkan rencana ruislag itu bahkan telah ada komunikasi dengan beberapa investor yang mengarah ke proses pengalihan. Gubernur Sultra, H. Nur Alam saat membuka rapat koordinasi PKK provinsi mengatakan, aset daerah yang terabaiakan adalah bekas RSUD Sultra akan dijadikan hotel dan kompleks KONI nantinya diubah sebagai kawasan perumahan yang didalamnya tersedia fasilitas rekreasi, sarana olah raga dan pusat perbelanjaan.
Penjelasan itu menguatkan statemen Kepala Bappeda Sultra, Nasir Andi Baso, sebelumnya yang mengatakan sudah ada investor asing maupun domestik yang berminat mengelola sejumlah aset terbengkalai itu, termasuk eks RSUD Sultra. “Selain sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan aset, rencana ini merupakan bagian dari grand design Kota Kendari ke depan,” versinya. Sementara itu di gedung wakil rakyat, beberapa anggota dewan tetap menyuarakan nada penolakan atas gagasan tersebut. Ketua dan Sekretaris Komisi IV, Abu Bakar Lagu bersama Ryha Madi, Ketua Komisi III, La Nika dan Slamet Raidi Tombili serta anggota dewan lainnya menolak keras rencana ruislag eks gedung RSUD.
Saat ditemui kemarin, Anggota Komisi IV DPRD Sultra, dr. La Ode Muhammad Izat Manarfa kembali menyampaikan hal senada. Menurutnya, alangkah baiknya wacana meruislag RSUD Sultra dikaji ulang, apakah kebijakan itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sultra saat ini atau hanya karena ada kepentingan tertentu. “Kehadiran RS rujukan kelas III masih diperlukan, apalagi ruang perawatan pasien level itu di RSU Bahteramas masih sangat terbatas. Khusus ruang perawatan kelas I dan II memang sudah cukup, sehingga untuk menampung pasien pihak RSU Bahteramas menempatkan ruang-ruang yang belum terpakai dijadikan ruang perawatan. Itu akan menimbulkan kesan kumuh padahal RSU Bahteramas yang telah berlabel internasional,” datarnya. RS rujukan kelas III juga bisa dijadikan RS Pendidikan sebagai sarana praktik bagi mahasiswa kedokteran Unhalu. Langkah itu sekaligus menindaklanjuti bentuk kerjasama antara manajemen Rumah Sakit dengan Universitas Haluoleo yang belum terlihat jelas.
“Namun bukan berarti pasien dijadikan bahan percobaan. Maksudnya, mahasiswa kedokteran dapat belajar dengan mendampingi dokter-dokter yang bertugas ketika menangani pasien dan meneruskan tugas penanganan yang dilakukan dokter senior. Seperti bagaimana dokter merawat dan membalut luka pasien, bagaimana melakukan penanganan penyakit tertentu dan lain sebagainya. Di situ mereka bisa terjun langsung dalam membantu tugas dokter sebab selama ini belum ada ruang atau fasilitas bagi mahasiswa melakukan praktik yang kebanyakan hanya teori. Sama seperti mahasiswa keperawatan dan kebidanan yang praktei di RS lainnya termasuk RSU Bahteramas,” terang mantan Kadis Kesehatan Sultra itu.
Sumber: sultrakini.com