Tangerang Mulai Bangun RS Gratis
TANGERANG, Setelah meluncurkan program gratis biaya kesehatan bagi 1,8 juta untuk warga Kota Tangerang, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang mulai membangun Rumah Sakit Umum Kota (RSUK) Tangerang. Sarana dan prasarana yang dibangun di tempat ini akan digunakan khusus untuk melayani pengobatan gratis bagi warganya.
“Boleh jadi, Kota Tangerang yang pertama kali membangun rumah sakit umum yang melayani pengobatan gratis di seluruh Indonesia,” kata Wali Kota, Wahidin Halim seusai acara peletakan batu pertama pembangunan RSUK Tangerang, di Perumahan Moderland, Kelurahan Kelapa Jaya, Kecamatan Tangerang, Senin (17/9/2012).
Selain bisa berobat ke RSUK, lanjut Wahidin, warga juga bisa berobat ke-28 rumah sakit yang telah bekerjasama dengan Pemkot Tangerang. “Syaratnya sama, yang penting warga Kota Tangerang dan tinggal menunjukkan KTP dan atau KK saja,” kata Wahidin.
RSUK dibangun di atas lahan seluas 14.000 meter persegi (m2). Pembangunan fisik bangunan 15.630 m2 dibagi dalam dua tahap, yakni tahun anggaran 2012 dan 2013. Tahap I sebesar Rp 44 miliar dan tahap II Rp 71 miliar. Dengan total keseluruhan biaya diperkirakan mencapai 115 miliar.
Adapun bangunan meliputi 3 bagian, bagian I (5 lantai), bagian II (3 lantai) dan bagian III (2 lantai). Dengan kapasitas 30 ruang rawat inap dengan 120 tempat tidur.
Sumber: KOMPAS.com
ACHS
Kantor ACHS di Sydney
Minggu kedua diawali dengan tiga hari workshop di ACHS untuk menggali lebih dalam mengenai lembaga akreditasi Australia ini. ACHS (Accreditation Council on Healthcare Standars) adalah salah satu dari beberapa lembaga akreditasi yang ada di Australia. Lembaga yang didirikan tahun 1974 ini bersifat independen, not for profit, serta didorong oleh para stakeholder dan para pemilik industri. ACHS mewakili 30 organisasi yang terdiri dari organisasi profesi, penggunalayanan kesehatan, peak industry body dan pemerintah (yang terdiri dari 36 konselor termasuk 3 orang life members). Siapapun dapat menjadi anggota counsil asalkan memiliki fokus nasional dan mendukung tujuan ACHS. Beberapa individu bahkan diundang untuk menjadi member.
Salah satu tugas komite ini adalah menetapkan standar baru dan atau mereview standar lama. Menariknya, meskipun ACHS merupakan lembaga yang menetapkan standar dan mengakreditasi RS, namun salah satu value-nya yaitu “customer focus” ditujukan pada pengguna layanan RS. ACHS bertujuan untuk menjadi kontributor utama dalam penelitian untuk menuju ke mutu dan keselamatan dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya ACHS menyediakan banyak sekali data yang dapat diakses secara bebas sebagai sumber referensi, tanpa harus menjadi anggotanya.
ACHS telah diakreditasi oleh ISQua dan sejak tahun 2005/2006 telah mengembangkan layanan internasional berupa akreditasi untuk RS di luar negeri. Saat ini ada 400 orang surveyor yang telah direkrut dan 80 diantaranya merupakan tenaga full-timers. Surveyor ini tidak mendapatkan gaji, kecuali jika ia pensiun atau tidak bekerja ditempat lain. ACHS memiliki program pelatihan tahunan untuk surveyor. Biasanya berasal dari anggaran tahunan ACHS. Yang terpenting adalah koordinator surveyor yang harus bisa memetakan kebutuhan pelatihan dan juga kinerja setiap surveyor. Untuk melakukan kunjungan ke sebuah RS, jumlah surveyornya bervariasi tergantung pada besarnya RS yang akan dikunjungi. Rata-rata 3 orang surveyor per 100 tempat tidur, dan maksimal 25 surveyor untuk 1 RS.
Akreditasi sebagai suatu kerangka kerja untuk peningkatan mutu secara berkelanjutan
Upaya meningkatkan mutu pelayanan dapat didorong oleh tekanan eksternal maupun internal RS. Tekanan external dapat berupa regulasi, tuntutan masyarakat, maupun persaingan. Para pelaku pelayanan kesehatan juga seringkali membutuhkan informasi mengenai seberapa baik atau seberapa buruk kinerja mereka, apakah terjadi peningkatan atau penurunan dan seterusnya. Oleh karena itu perlu ada evaluasi, dimana evaluasi eksternal dapat dilakukan berbasis pada regulasi atau peer review. Setidaknya ada 3 perbedaana mendasar diantara keduanya. Regulasi berbasis pada standar minimal, investigasi dan enforcement, dilakukan dengan cara review secara keseluruhan dan jika ada komplain atau advers event kemudan dilakukan pengecekan tambahan. Peer review dilakukan berdasarkan pada standar optimum, akuntabilitas profesi, hubungan kerjasama dan akuntabilitas publik, bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan meminimalkan risiko, serta fokus pada pembelajaran dan self development. Akreditasi merupakan suatu bentuk evaluasi eksternal dengan menggunakan peer review dan standar. Namun akreditasi bukan jaminan terjadinya kualitas dan keselamatan absolut. Akreditasi merupakan komitmen untuk terus menerus berupaya mencapai pelayanan yang bermutu untuk kepentingan pasien. Yang terpenting adalah upaya untuk terus menerus mempertahankan dan meningkatkan mutu dan performance yang telah dicapai.
Peran Quality Manager
Sebagaimana dipaparkan di atas, peningkatan mutu pelayanan harus dilakukan secara terus menerus, sehingga penting untuk menjadikan quality improvement sebagai bagian dari budaya organisasi. Seorang quality manajer dapat diangkat untuk membantu memastikan berkembangnya budaya mutu ini di RS. Persyaratan seorang quality manager:
- seorang quality manager harus memahami latar belakang dibutuhkannya budaya mutu terkait dengan quality framework, hospital planning dan sebagainya
- experience; harus memiliki pengalaman dalam hal governance, area klinik tertentu, dan berbagai pengalaman lain yang akan membantu perannya sebagai quality manager
- background; quality manager bukanlah seorang “polisi” yang akan menghukum pelanggar budaya mutu melainkan orang yang akan meng-encourage people, berusaha membuat mereka menjadi lebih baik, membantu mengidentifikasi area-area yang perlu mendapatkan perbaikan dan membantu proses perbaikan itu sendiri
- special qualities; memahami metodologi, komunitas RS, dan menyediakan berbagai bantuan agar mereka mendapatkan benefit dari upaya peningkatan mutu, serta membuat semua orang berminat untuk berpartisipasi dalam berbagai program mutu.
Framework yang digunakan:
l policy framework: untuk mengurangi risiko
l risk management framework: untuk meningkatkan kepuasan, mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki
l clinical governance/quality framework: payung dari program-program manajemen mutu
l performance management framework
Semuanya ini membutuhkan upaya pengembangan kapasitas staf.
Catatan:
- bukan hanya proses akreditasi tapi juga follow up pasca penilaian akreditasi dengan pendekatan QI. Oleh karena itu salah satu sesi yang penting adalah clinical indicator
- agak sulit membandingkan dengan situasi di Indonesia karena adanya perbedaan struktur pembiayaan
- focus areas: clinical indicator, accreditation and sustaining QI
- regulation
- Yang terpenting dari sebuah lembaga akreditasi adalah transparansi ke publik/komunitas dan kredibilitas yang harus dijaga
- di Australia perawat memiliki peran yang sangat besar di RS dibandingkan dengan dokter. Contoh seorang nurse bisa membatalkan sebuah operasi
- ACHS hanya menyiapkan framework untuk meningkatkan mutu secara berkelanjutan. Dalam hal akreditasi, ACHS juga melakukan publikasi untuk mengumumkan RS yang lulus dan yang gagal (namun yang gagal jumlahnya hanya kurang lebih 1%). Ad 25 mandatory criterias, jika gagal masyarakat bisa melihat
- setelah RS dinyatakan lulus/terakreditasi, setahun kemudian ada survey lanjutan untuk memastikan bahwa quality improvement tetap dilakukan
- Australian Healthcare and Hospitals adalah salah satu anggota council
Hospital Governance
Governing body:
u non for profit hospital (misal RS yang dimiliki oleh Gereja atau community)
u for profit (private sector) yang dimiliki oleh perusahaan –> Board of drectors must comply with the corporation law
u public hospital (public sector) –> Saat ini sulit dikatakan dengan pasti siapa governing body-nya, bisa MoH atau yang lainnya
Doctors will change their behavior when people change. So, educate people (dr. Johan)
Save Practice Environment
Dalam hal sistem manajemen informasi, hal pertama yang dilihat adalah akses ke informasi dari seluruh unit yang ada di RS. Misalnya akses dari IGD ke medical record. Ada primary record, ada outside record. Juga dilihat bagaimana RS mengelola data klinik, apakah tidak mudah diakses atau dilihat oleh publik dan sebagainya. Namun dilain pihak health record juga penting untuk mudah diakses karena untuk medico legal, research, menentukan pilihan-pilihan treatment dan sebagainya. Di ACHS ada permintaan untuk clinical data misalnya, dan dengan sistem yang ada di ACHS akan mengcomply data ini sehingga akan jadi konsisten dan bisa dibandingkan antar-RS, dibuat trend dan sebagainya.
Incident Management
Sentinel events: ada 8 (lihat di website ACHS).
Workforce Planning
Sangat penting karena akan melihat kedepannya skill apa dan berapa jumlah yang dibutuhkan pada 5-10-15 tahun yang akan datang. Dulu di Australia sempat ada kebujakan jumlah dokter yang dilatih diturunkan, namun kemudian banyak dampak negatif yang muncul sehingga kebijakan ini dikembalikan seperti semula. Mengenai policies on working hours, Indonesia belum punya kebijakan yang sebaik di Australia dimana dokter junior masih harus sering jaga hingga 36 jam. Mengenai tenaga volunteer di Australia terkena aturan yang sama dengan tenaga non volunteer. Untuk pelayanan yang di-outsource-kan, RS juga harus mengevaluasi performancenya dan juga memastikan bahwa perusahaan yang bersangkutan juga melakukan quality improvement.
Performance and Outcome Service
Peran dari POS adalah mengkoordinir:
① Pengembangan standar, dengan mengumoulkan experts dari seluruh states untuk menetapkan indikator (ada 22 set indikator)
② pengumpulan
③ proses pengelompokkan data yang dilakukan dengan cermat
④ analisis data dengan melibatkan ahli statistik
⑤ pelaporan indikator klinik ACHS
Alasan utama ACHS mengembangkan indikator klinik adalah agar proses akreditasi ini semakin dapat diaplikasikan pada pelayanan klinik. Alasan lainnya adalah untuk meningkatkan ketertarikan klinisi untuk secara formal menerapkan pelayanan yang berkualitas. Jadi ada pertanyaan apakah mutu pelayanan sudah baik. Lalu ada kebutuhdan untuk mengukur outcome klinik.
Sebelum tahun 2005 ACHS masih menggunakan paper-based-process untuk seluruh proses mulai dari pengumpulan data sampai menghasilkan laporan dari 500an organisasi pelayanan kesehatan. Namun kemudian di tahun 2005 mulai diperkenalkan Performance Indicator Reporting Tool (PIRT) dengan CD ROM dan kemudian sejak tahun 2009 proses ini sudah bisa dilakukan secara online.saat ini ada rata-rata 690 organisasi pelayanan kesehatan (bukan hanya RS) yang berpertisipasi dalam mengisi/meng-update data setiap semester. Laporan yang dihasilkan sifatnya bukan me-ranking peserta tapi melihat trend dari kompilasi data seluruh peserta.dengan sistem yang terkomputerisasi ini banyak peserta program indikator klinik yang merasa kurang puaskarena sistem ini masih dirasa sulit untuk digunakan. Oleh karena itu ACHS masih terus berupaya menyempurnakan sistem agar lebih mudah digunakan dan melatih para pengguna.
Disadari bahwa lingkungan selalu berubah yang mempengaruhi proses pelayanan. Misalnya perkembangan IPTEKDOK menghasilkan medikasi baru sehingga indikator klinik harus selalu di-update. Ada 15 anggota dari pendidikan spesialis ACHSCIP yang secara reguler berkumpul untuk bekerja menggunakan worksheet untuk, meng-update clinical indicator tersebut. Saat inisalah satu tantangan bagi RS di Australia adalah kasus,-kasus di Emergency Department yang seringkali lama trtangani. Karena itu ditetapkan targe baru yaitu dalam waktu maksimal 8 jam pasien harus sudah terdiagnosa dan diputuskan untuk diteruskan ke rawat inap atau dipulangkan.
Dengan sistem PIRT peserta memiliki akses (dengan user name dan password) untuk mengentri data hasil pencapaian mereka terhadap clinical indikator yang diukur. Member juga bisa langsung membandingkan hasil pemcapaiannya dengan angka rata-rata tsnpa menunggu full-report-nya dirilis. Software ini belum link dengan sistem informasi RS, sehingga petugas yang berwenang di RS harus melakukan entri ulang untuk masuk ke sistem PIRT. Dari sekian banyak indikator klinik yang ada, RS boleh memilih akan mengukur area mana, tergantung pada besarnya risiko pada area tersebut. Misalnya RS memilih pelayanan-pelayanan yang sifatnya high volume.
ACHS Operation
Menggunakan CRM (microsoft platform) yang di- customize untuk kebuthan ACHS, untuk menjaga contact dengan klien/member. Dalam program tersebut setiap member memiliki unique number dan ada active alert jika member yang bersangkutan mengalami masalah terkait dengan pencapaian-pencapaiannya dalam pengukuran kinerja. Sistem alert ini memungkinkan ACHS untuk segera melakukan kontak dengan member yang bersangkutan melalui email, fax tau telepon, melihat laporan dari RS yang bersangkutan, dan seterusnya.
Dalam sistem ini terdapat fitur “open folder” yang berfungsi untuk mengakses database RS yang bersangkutan yang sudah dientry ke sistem. Database surveyor juga ada dalam sistem ini. ACHS memilih surveyor yang akan melakukan survey, mengirim data mereka ke RS yang akan disurvey dan jika RS sudah memberikan approval maka surveyor yang bersangkutan bisa mulai melaksanakan tugasnya. Pada Agustus 2007 ada 1100 RS di seluruh Australia, dan jika 450 diantaranya sudah terakreditasi. Jika ACHS bisa merain 700 RS sebagai member, jumlah ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan jumlah surveyor dan membership fee yang diterapkan pada member. Rata-rata dibutuhkan 3 orang surveyor untuk mensurvey sebuah RS selama 3 hari. Sehingga membership fee diteapkan sebesar AU$9000 / 3 tahun. Saat ini ada 1200 lebih member yang sudah bergabung. Surveyor sendiri dinilai kinerjanya. Salah satunya adalah dengan jumlah hari survey. Dalam setahun seorang surveyor minimal bekerja selama 10 hari meliputi training dan surveynya sendiri.
Jamsostek Perkuat Akses Kesehatan Melalui RS Pelni
15 September 2012
BANDUNG, Jamsostek terus mematangkan rencana mengakuisisi RS Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia) seperti dianjurkan Kementerian BUMN. Diharapkan, keberadaan rumah sakit itu dapat memperkuat pelayanan BUMN asuransi itu atas jaminan kesehatan pekerja.
Demikian dikatakan Dirut Jamsostek, Elvyn G Masassya usai menjadi pembicara pada seminar kewirausahaan bertajuk “Membentuk Generasi Wirausaha” di Bandung, Sabtu (15/9).
“Perkembangan Jamsostek ke depan adalah mengarah kepada pemberian total benefit bagi pekerja termasuk kemudahan dalam hal kesehatan. Jadi, kami harus memiliki jaringan layanan kesehatan,” jelasnya.
Dia mengaku belum dapat berbicara banyak terkait langkah pengambilalihan tersebut. Hanya saja, Elvyn menyebutkan bahwa rencana pengambilalihan itu ditargetkan sudah harus tuntas sebelum Jamsostek berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada akhir tahun depan.
“Prosesnya di Tahun 2013,” jelasnya. Ditambahkan, pihaknya mempertimbangkan sejumlah opsi di antaranya membentuk aliansi strategis atas keberadaan RS Pelni.
Disinggung RS milik perusahaan pelayaran nasional itu bakal disulap jadi RS khusus, Elvyn hanya menyebutkan RS tersebut memang diproyeksikan memiliki keandalan menangani pekerja.
Di antaranya RS itu bisa lebih mempermudah akses para pekerja terhadap kebutuhan layanan kesehatannya dibanding RS lainnya yang selama ini telah berkerjasama dengan Jamsostek.
Sumber: suaramerdeka.com
Menteng Health Care Boulevard Sarana Jadikan DKI sebagai Pusat Wisata Medis
Jakarta – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya yang dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk berobat di luar negeri mencapai Rp 7 triliun per tahun. Fenomena masyarakat Indonesia yang cenderung memilih berobat di luar negeri ini harus disetop.
“Stigma kualitas pelayanan kesehatan dalam negeri yang kurang baik membuat triliunan rupiah setiap tahun keluar. Stigma tersebut harus dijawab dengan adanya RS-RS dengan pelayanan berkualitas dan dukungan tenaga medis yang mumpuni” ujar Wakil Direktur Pengembangan dan Teknologi PT BundaMedik Healthcare System Dr Ivan R Sini di Jakarta, kemarin.
Untuk membangun citra pelayanan kesehatan di DKI Jakarta sekaligus menjadikan Ibukota ini sebagai pusat wisata medis (Medical Tourism Center), PT BundaMedik akan mencanangkan kawasan kesehatan terpadu Menteng Health Care Boulevard. “Kami akan bekerja sama dengan beberapa pelaku industri kesehatan di Jalan Cik Ditiro dan Jalan RP Suroso, Menteng,” tuturnya.
Menurut Ivan, kerja sama pihaknya dengan para pelaku industri kesehatan dan rumah sakit di Menteng akan menciptakan iklim kompetisi industri yang sehat dan saling melengkapi. “Nantinya secara kolektif, grup pelayanan jasa kesehatan tersebut akan aktif mempromosikan Jakarta sebagai pusat wisata medis di Indonesia,” ujar dia.
Untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat wisata kesehatan, Ivan meminta dukungan dari pemerintah dan masyarakat.Untuk mengingkatkan pelayanan kepada masyarakat, Bundamedik Healthcare System kemarin meresmikan Rumah Sakit Umum (RSU) Bunda Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat. Bersamaan itu diresmikan kawasan Menteng Healthcare Boulevard Sentra diagnostik yaitu Bunda Philips International Radiodiagnostic Center yang dibuka oleh HE Ambassador Belanda.
RSU Bunda Jakarta memiliki fasilitas kesehatan berteknologi tinggi, di antaranya tersedianya Robotic Surgery yang pertama di Indonesia dan Diagnostic Imaging termutakhir, juga memiliki Bunda Heart Center dan Bunda Neuro Center terlengkap di Indonesia.
“Sudah selayaknya kota Jakarta menjadi ikon baru dalam pelayanan perumahsakitan yang berkualitas dan menjadi sebagai pusat medical tourism seperti layaknya negara-negara tetangga, terutama untuk pasar domestik/nasional,” kata Ivan.
Sumber: pdpersi.co.id
Teknologi Mobile Merambah ke Rumah Sakit
Indonesia menghadapi tuntutan perubahan besar di jasa pelayanan kesehatan. Tak hanya di masalah mutu pelayanan, tetapi juga sistem manajemen kesehatan yang lebih baik.
Perusahaan pengembang aplikasi peranti lunak, SAP, menawarkan solusi teknologi mobile untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan rumah sakit.
Senior Vice President & Global Head of SAP Healthcare, John Papandrea, mengatakan perusahaannya menyediakan solusi SAP Collaboration E-Care Management yang memungkinkan sistem menejemen kesehatan yang lebih baik dan lebih mudah, serta rencana perawatan secara individual.
Teknologi mobile ini membantu rumah sakit untuk mengelola sistem manajemen administrasi lebih, seperti menyediakan semua informasi pasien sehingga memudahkan dokter mengakses arsip pasiennya dimana dan kapan saja, membantu penggunaan obat-obatan yang tepat sebelum kadaluarsa hingga memastikan peralatan medis yang tepat selalu tersedia.
John optimis teknologi mobile yang dikembangkan SAP ini akan disambut positif para pihak manajemen rumah sakit.
“Sudah banyak rumah sakit di luar negeri menggunakan teknologi mobile ini. Di Indonesia, beberapa rumah sakit sudah tertarik mengenai konsep ini dan mungkin dalam waktu dekat bisa teralisasi,” jelas John saat ditemui dalam SAP Healthcare Industry Briefing Forum di Intercontinental Hotel Jakarta
Sumber: okezone.net
Akreditasi RS Tidak Terkait dengan Peningkatan Tarif
JAKARTA – Tujuh RS Pemerintah ditargetkan akhir tahun 2012 mencapai akreditasi Internasional oleh badan akreditasi JCI (Joint Commission International), diantaranya RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, RSUP Fatmawati Jakarta, RSUP H. Adam Malik Medan, RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, dan RSPAD Gatot Subroto.
Akreditasi internasional penting dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit sesuai dengan standar International, sekaligus sebagai penyelamat devisa negara.
Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2004, bahwa devisa Indonesia yang keluar untuk pasien yang berobat ke luar negeri sekitar Rp 70 triliun. Jumlah devisa itu diperkirakan bertambah hingga lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
”Jumlah yang cukup signifikan, sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan tindakan, oleh karena itu kita memotivasi tujuh RS Pemerintah untuk segera terakreditasi secara internasional agar pelayanannya sesuai dengan standar internasional sehingga dapat menekan laju pasien yang berobat ke luar negeri,” ungkap Dirjen BUK, dr. Supriyantoro.
dr. Supriyantoro mengungkapkan bahwa pasien yang berobat ke luar negeri bukan mencari rumah sakit yang memiliki gedung yang bagus tetapi karena pelayanan rumah sakit yang lebih bagus, seperti komunikasi hubungan dokter dengan pasien yang baik. Saat ini Kemenkes sedang berupaya meningkatkan pelayanan rumah sakit sesuai dengan standar internasional melalui akreditasi internasional.
Direktur BUK Rujukan, dr. Chairul Radjab Nasution menambahkan akreditasi ini menambah keuntungan bagi peningkatan pelayanan rumah sakit. Sebagai contoh, standar cuci tangan bagi para dokter, pemakaian masker bedah harus sesuai dengan ketentuan.
“Jadi jangan anggap enteng untuk cuci tangan tidak cukup untuk membasuh tangan dengan air dan sabun, tetapi sudah ada mekanisme yang mengatur cara mencuci tangan. Dengan akreditasi ini maka semua harus memenuhi standar ketentuan internasional,”tambah dr. Chairul.
Dirjen BUK menegaskan pemerintah menjamin akreditasi Internasional rumah sakit sebagai upaya peningkatan pelayanan rumah sakit kepada pasien dan tidak akan menaikkan tarif pelayanan.
”Akreditasi internasional untuk pelayanan rumah sakit tidak terkait dengan tarif,” kata dr. Supriyantoro.
Sumber: depkes.go.id
Alat Cuci Darah RS BDH Mangkrak
13 September 2012
SURABAYA – Keseriusan Pemkot Surabaya untuk mengefektifkan peran RS Bhakti Dharma Husada (BDH) layak dipertanyakan. Betapa tidak, alat cuci darah senilai Rp2,4 miliar hingga kemarin mangkrak tidak digunakan.
Ironisnya peralatan vital bagi pasien cuci darah ini tak terpakai hanya karena tak ada ruang yang memadai di sana. Kemarin, pegawai pemprov melalui RSUD dr Soetomo menilai RS milik pemkot itu tidak memiliki ruangan yang memadai untuk mengoperasikan alat tersebut. Salah satunya tidak ada IPAL, tempat sterilisasi, dan sirkulasi yang baik di sana. Ketiga pertimbangan itu yang menjadikan alat yang dibeli tahun lalu itu mangkrak.
Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena ribuan pasien cuci darah di Surabaya membutuhkan penanganan segera.Hal ini terbukti dari antrean panjang pengguna alat cuci darah di RSU Soetomo. Selain menjadikan kegagalan dalam membantu warga untuk cuci darah,rencana pembelian alat serupa pada tahun ini terancam gagal.Anggaran Rp2,4 miliar untuk membeli alat cuci darah diplot sebelum keputusan tersebut keluar.
RS BDH pun akhirnya mengembalikan anggaran tersebut ke kas daerah. ”Ini yang membuat kami agak kesulitan. Kalau tetap dibeli, kami tidak mungkin bisa mengunakan alat itu,”ujar Direktur RS BDH Maya Syahria Saleh kemarin. Beberapa pihak seperti anggota dewan tetap memberikan masukan untuk membeli saja alat cuci darah. Setelah terbeli,alat itu bisa disimpan di RS BDH sambil menunggu ruang selesai.
”Kami tak bisa seperti itu,kalau disimpan tanpa ruangan memadai dan tidak dipakai dalam jangka waktu lama, kami khawatir ada yang rusak dan berpotensi hilang,” ungkapnya. Dengan keputusan itu, pihaknya menunda pengadaan alat cuci darah pada tahun ini. Tahun depan, barulah dianggarkan ulang. Sambil tetap menganggarkan revitalisasi ruangan cuci darah khusus. Harapannya, tahun depan lima unit alat cuci darah sudah berada di ruang khusus dan siap beroperasi.
Maya tidak tahu detil anggaran yang dibutuhkan untuk revitalisasi ruangan baru. Sebab, masih bakal dibahas di Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko). Kabid Fisik, Sarana dan Prasarana Bappeko Surabaya Gde Dwijaja Wardhana menuturkan, Bappeko sudah mulai melakukan pembahasan untuk pembangunan ruang khusus cuci darah di RS BDH.”Saat ini sudah mulai dimatangkan di tim anggaran,”katanya.
Pada bagian lain,Maya menjelaskan tentang target pendapatan RS BDH. Dari target Rp15 miliar, sampai bulan lalu sudah tercapai Rp5 miliar.Harapannya, realisasi pendapatan bisa mencapai 60-80% dari target. Sedangkan anggaran yang diplot untuk operasional,pembelian alat kesehatan, dan kebutuhan lain di RS BDH sekitar Rp78 miliar. Harapannya, serapan anggaran bisa mencapai 80% dari yang sudah ditentukan.
Sumber: seputar-indonesia.com
RS BUNDA BEROPERASI: Diharapkan Bisa Cegah WNI Berobat Ke Luar Negeri
JAKARTA: Pengoperasian Rumah Sakit Bunda diharapkan dapat mencegah animo masyarakat Indonesia untuki berobat ke luar negeri yang tiap tahun terus meningkat.
Menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2010 biaya yang dikeluarkan oleh mereka yang berobat ke manca negara mencapai Rp7 triliun per tahun. Sekitar 50% orang Indonesia yang berobat tadi mengambil negara tujuan Singapura, dan sebanyak 200.000 orang setiap tahunnya berobat ke Malaysia.
“Mengapa kita tidak bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, sehingga bisa menarik masyarakat kita untuk berobat di negeri sendiri?” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Rabu (12/9/2012), saat peresmian RSU Bunda Jakarta.
Untuk itu, dia meminta kepada manajemen rumah sakit di Indonesia agar meningkatkan mutu pelayanan medik secara optimal, dan memberi kepuasan kepada pasien.
Menurut Menkes, peningkatan mutu juga harus disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, yang tentunya sesuai dengan standar profesi dan kesehatan internasional.
Direktur Pengembangan PT Bunda Medik, pengelola RSU Bunda Jakarta, dokter Ivan R. Sini, mengaku miris melihat kondisi sebagian besar masyarakat modern tidak memberikan kepercayaan kepada rumah sakit di Indonesia sebagai tujuan berobatnya.
“Kami bertekad untuk membantu mengurangi biaya kesehatan yang dibelanjakan di luar negeri. Untuk itu. Kami menghadirkan RSU Bunda Jakarta yang lebih lengkap pelayanan kesehatannya,” ujarnya.
Rizal Sini, Komisaris Utama PT Bunda Medik, menuturkan sebagai warga negara yang baik, meskipun pebisnis, pihaknya memiliki tanggung jawab dan kepedulian untuk menghadirkan RS dengan kualoitas setaraf RS di luar negeri.
“Kami tidak hanya mencari keuntungan semata. Kamipun berusaha meningkatkan kualitas pelayanan jasa RS, agar masyarakat yang sesuai target market kami, merasa nyaman dan terpuaskan dengan pelayanan yang kami berikan,” ungkapnya.
Sumber: bisnis.com
Bedah Neurovaskular Makin Berkembang
Kamis, 13 September 2012 |
Manado, Teknologi untuk mendiagnosis dan mengatasi penyakit akibat gangguan pembuluh darah yang terkait otak (neurovaskular) makin berkembang. Kemajuan itu membuat penderita tidak perlu berobat ke luar negeri.
Ketua Kolegium Bedah Saraf Indonesia RM Padmosantjojo dalam Simposium Neurovascular Update di Manado, Rabu (12/9/2012), mengatakan, meski bedah saraf dilakukan di Indonesia sejak tahun 1948, hingga 1980-an operasi yang dilakukan masih sederhana, seperti evakuasi hematoma (pengangkatan gumpalan darah di luar pembuluh darah).
Penyebabnya, jumlah dokter bedah saraf dan ahli pendukung lain, seperti dokter anestesi, terbatas. Alat diagnostik dan laboratorium pendukung kurang memadai. Selain itu, sistem pendanaan untuk operasi yang mahal juga tidak mendukung.
”Kini ada 220 ahli bedah saraf di Indonesia, hampir 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan akhir 1970-an,” katanya.
Penemuan teknik endovaskular, kata Padmosantjojo, membuat operasi makin ringan, tak perlu pembedahan tempurung kepala. Ini membuat waktu perawatan lebih pendek, penanganan lebih cepat dan tepat, serta prognosis (prediksi akhir) penyakit lebih mudah ditegakkan.
Bahkan, kini ada teknologi gamma knife, misalnya di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang. Menurut dokter spesialis bedah saraf Rumah Sakit MRCCC Siloam, Made AM Inggas, teknik ini tanpa pembedahan terbuka, tetapi menggunakan sinar radiasi. Meski demikian, teknik ini mampu membasmi tumor.
Pasien yang akan menjalani terapi hanya perlu satu hari di rumah sakit dan tak perlu menginap di ruang perawatan intensif (ICU).
Belum ideal
Meski perbandingan dokter bedah saraf dan jumlah penduduk hampir mencapai 1 dokter banding 1 juta penduduk, rasio itu jauh dari cukup. Eka J Wahjoepramono, Kepala Bagian Bedah Saraf RS Siloam Karawaci yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, mengatakan, rasio ideal jumlah dokter bedah saraf dengan jumlah penduduk adalah 1:200.000.
Ahli bedah saraf yang ada masih terkonsentrasi di kota besar. Penyebabnya, kebutuhan dan keberadaan tim pendukung serta peralatan canggih yang digunakan untuk diagnostik dan operasi hanya ada di kota besar. Tanpa kelengkapan itu, sulit bagi dokter bedah saraf bekerja.
Jumlah kasus yang ditangani dokter bedah saraf di Indonesia sangat besar. Hal ini karena pusat-pusat kesehatan yang menangani bedah neurovaskular masih terbatas.
Eka mencontohkan, selama 16 tahun, ia dan timnya sudah melakukan 1.500 pembedahan neurovaskular. ”Universitas Oxford, Inggris, saja selama 40 tahun baru menangani kurang dari 1.000 pembedahan otak,” tuturnya.
Kondisi ini menunjukkan, dokter dan rumah sakit di Indonesia mampu menangani bedah neurovaskular. Pasien tak perlu pergi ke Singapura, Australia, atau Jepang untuk operasi otak. Biaya yang dikeluarkan pasien bisa jauh lebih kecil jika dibandingkan di luar negeri, dengan kualitas yang tidak kalah.
Sumber: KOMPAS.com