Penerimaan Pasien Terhadap Personal Health Record System Berbasis Web: Studi Empiris Di Taiwan
CEO sebuah Medical Record Institute, C. Peter Waegemann, membagi tahapan penerapan electronic medical record di institusi pelayanan kesehatan kedalam empat, yaitu: rekam medis otomatis, rekam medis yang terkomputerisasi, Electronic Medical Records, electronic patient record, dan Electronic Health Records (HERs). Tahap kelima menekankan pada partisipasi aktif pasien dalam mempertahankan Personal Health Records (PHRs). Disisi lain, telehealthcare yang sering ditukar-tukar penggunaan istilahnya dengan telemedicine, telehealth dan telecare, merupakan penggunaan informasi medis yang secara elektronik dipertukarkan dari satu lokasi ke lokasi lain untuk meningkatkan status kesehatan klinis pasien. Metode ini memberikan empat manfaat fundamental, yaitu akses yang lebih baik, efisiensi biaya, kualitas yang lebih baik serta memenuhi keinginan pasien. Namun pasien dapat saja sengaja menginput data yang keliru atau menyebabkan ketidakakuratan karena mengedit data yang diperoleh entah dari mana. Oleh karenanya, penting untuk menentukan fungsi mana yang harus tersedia dan format apa yang dapat digunakan untuk data yang diinput oleh pasien, untuk kesuksesan implementasi sebuah sistem PHRs.

Pasien infertil dapat menjadi sebuah indikator penggunaan PHRs klinis yang baik, karena pada umumnya pasien-pasien tersebut masih berusia muda, berpendidikan cukup dan fasih menggunakan internet. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 60% pasien mencari informasi medis tentang infertilitas di internet. Manfaat lain dari terapi infertility melalui PHRs adalah data pribadi dan detil mengenai temperatur basal tubuh dan aktivitas seksual pasien dapat dicatat dan direview. Pasien akan merasa jauh lebih nyaman mengentri sendiri kondisinya dibandingkan dengan harus menyampaikannya secara lisan ke dokter atau perawat.
Agar mampu mengoptimalkan strategi pengembangannya, penting bagi RS untuk memiliki rasa kebutuhan terhadap teknologi komunikasi informasi, mengembangkan perilaku dokter-pasien tertentu, memahami bahwa PHRs adalah investasi yang mahal dan memahami faktor yang memperngaruhi motif pasien dalam menggunakan PHRs. Studi ini merupakan kerjasama antara ahli psikiatri dan infertilitas dengan asosiat penelitiinformasi manajemen kesehatan untuk mengidentifikasi berbagai faktor tersebut.

Salah satu literatur yang digunakan dalam studi ini menyebutkan bahwa ada kriteria tertentu yang telah dikembangkan dalam mengevaluasi lima fungsi sistem PHRs, 1) yaitu menyediakan akses informasi medis pribadi berbasis web, 2) menyediakan ringkasan informasi kesehatan personal bagi penyedia layanan kesehatan, 3) sebagai portal bagi informasi kesehatan yang spesifik untuk kebutuhan pasien, 4) menyediakan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan penunjang dan 5) berperan sebagai database informasi bagi pasien dalam melakukan monitporing mandiri dan pengelolaan penyakitnya.
Studi ini menemukan bahwa 15% pasangan yang telah menikah mengalami infertilitas. Padahal penanganannya membutuhkan waktu yang panjang. Informasi pribadi seperti dengan siapa pasangan ini tinggal, frekuensi hubungan seksual dan suhu basal tubuh tdiak selalu bisa didapat pada sesi kunjungan ke poliklinik. Selain itu, pasien juga sering mengalami gangguan tekanan jiwa yang tinggi, pikiran negatif, kepercayaan diri yang menurun hingga gangguan emosi selama proses penanganan infertilitasnya. Oleh karena itu, sistem PHRs ini menyediakan juga fitur yang memungkinkan pasien mencatat data pribadi mereka sambil melakukan latihan relaksasi (melalui media audio online), serta merekam persepsi mereka pada setiap akhir sesi latihan.
Dalam hal hubungan antara dokter dengan pasien, tidak diragukan lagi bahwa hal ini secara signifikan mempengaruhi kualitas pelayanan. Sebuah focus group discussion menemukan bahwa komunikasi yang didorong oleh pasien dan adanya rasa saling percaya antara dokter dengan pasien adalah dua penentu penting bagi persepsi pasien terhadap kegunaan EMRs online. Faktor yang dapat membentuk dan memelihara hubungan dokter-pasien serta implementasinya, menurut Ventres dkk., adalah persepsi dokter dan pasien itu sendiri terhadap EHRs serta efek dari persepsi tersebut dalam penggunaan EHRs. Oleh karena itu, studi ini menggunakan hipotesis: ada hubungan positif antara PPR (Physician-Patient Relationship) dengan BI (Behavioral Intention) dalam konteks PHR (Patient Health Record).
Metode penelitian ini yaitu dengan megembangkan website untuk tujuan terapi bagi pasien infertil, yang didesain oleh seorang psikiater, ahli infertil dan peneliti sistem informasi manajemen kesehatan. Homepage dari website ini menampilkan menu utama, fungsi mencari history, dan fungsi menulis pesan. “Menu utama” berisi informasi terkait saran terapis terhadap pasien berdasarkan hasil training relaksasi mandiri terakhir, hal-hal yang sudah tercatat dan dievaluasi serta hal-hal yang sudah tercatat namun belum dievaluasi oleh terapi sehingga masih memerlukan follow up. Fungsi “mencari history” akan memungkinkan pasien untuk membuka kembali catatan, penjelasan dan saran-saran dari terapis yang sudah pernah diberikan sebelumnya. Fungsi “Menulis Pesan” memungkinkan pasien dan tim kesehatan (dokter, terapis) saling berkomunikasi (bertanya, meninggalkan pesan, membuat notifikasi). Alamat email dan nomer telepon tim kesehatan juga dicantumkan dalam website agar dapat dihubungi sewaktu-waktu oleh pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini.

Untuk alasan privacy dan kerahasiaan pasien, sistem PHRs ini sudah dirancang sedemikian rupa sehingga pasien tidak perlu menggunakan nama asli untuk login. Sebaliknya, mereka diberikan nomer kode yang terhubung sedemikian rupa dengan rekam medis yang hanya dapat dilihat oleh dokter yang merawat. Pengguna website lainnya (para peneliti) hanya dapat melihat secara anonym. Partisipan pada penelitian ini adalah mereka yang berusia antara 25-45 tahun, terdiagnosis infertil, tidak atau belum mengadopsi anak, tidak atau belum menerima layanan terapi perilaku kognitif setidaknya dua bulan sebelum terapi dan dapat mengakses internet dari rumah, serta bersedia berpartisipasi dalam studi ini. Bagaimanapn juga sistem ini membatasi bahwa jika partisipan tidak mengisi data harian mereka dalam kurun waktu lebih dari tujuh hari berturut-turut, maka sistem akan menutup akses mereka selanjutnya. Dari mekanisme ini, akhirnya ada 50 partisipan yang secara lengkap mengisi data dan dapat dianalisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien memiliki motif yang cukup tinggi untuk menggunakan PHRs. Mereka juga merasa bahwa sistem ini bermanfaat jika mudah digunakan. Pasien berharap bahwa mereka dapat meningkatkan status kesehatannya (meningkatkan akses terhadap terapi infertilias dan mengurangi stres) melalui penggunaan fungsi-fungsi pada sistem di web tersebut. Studi ini menyarankan agar desain PHR dibuat dengan mengutamakan fungsi yang dapat memenuhi kebutuhan pasien, misalnya membantu dalam melengkapi catatan medisnya secara mandiri, yang kemudian dapat dicek oleh tenaga medis yang kemudian dapat berinteraksi dengan pasien dan memberikan terapi yang sesuai dan tepat waktu.
Hubungan dokter-pasien juga mempengaruhi perilaku dalam menggunakan PHRs, dimana pasien cenderung akan mengikuti saran dokter dalam menggunakan PHRs secara intensif. Menariknya adalah selama periode studi, selain mencatat rekaman kesehatan pasien, sistem ini juga mencatat bagaimana respon petugas kesehatan terhadap pasien.
Bagaimanapun juga, penelitian ini masih merupakan awal dari pengembangan sistem PHRs berbasis web. Ada beberapa kelemahan, antara lain jumlah dokter yang hanya satu orang untuk melayani seluruh pasien, jumlah sampel yang relatif kecil dan penelitian dilakukan pada satu RS, dapat menghalangi upaya untuk mengeneralisir hasil studi pada konteks yang lebih luas. Oleh karena itu masih diperlukan studi-studi lebih lanjut untuk mengeksplorasi penerimaan pasien terhadap teknologi sejenis dalam rangka meningkatkan outcome pelayanan kesehatan.
Anda dapat mengklik link berikut untuk mendapatkan full text dari artikel ini: http://www.mdpi.com/1660-4601/10/10/5191 (pea).

Rumah sakit di seluruh dunia, umumnya merupakan salah satu pengguna energi yang sangat besar, karena memiliki jam operasi selama 24/7 dengan berbagai jenis peralatan dan infrastruktur. Energi yang digunakan terutama meliputi gas, air dan listrik. Semua aktivitas berdampak pada pelepasan gas buang (emisi CO2) di udara, yang berkontribusi pada meningkatnya suhu global, perubahan cuaca serta mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan. Banyak negara yang kemudian berinisiatif untuk mengeluarkan kebijakan terkait penggunaan energi secara lebih bijaksana sembari mengurangi inefisiensi anggaran.
SPP pada RS mencapai 5,3 tahun, sedangkan pada sekolah mencapai 12, 8 tahun. Hal ini disebabkan karena RS memiliki jam operasi 24/7, jauh lebih panjang dari jam operasi sekolah, sehingga RS memerlukan payback period yang jauh lebih pendek dari sekolah.
Pengantar
Pengertian Layanan Unggulan
Pasien yang dirujuk biasanya merupakan kasus dengan berbagai komplikasi, membutuhkan penanganan khusus dan LOS tinggi, sehingga cost pelayanan juga tinggi. Sebagai RS publik, pangsa pasar RS ini sebagian besar adalah mayarakat tidak mampu. Disamping itu, pemilik RS tidak setuju apabila tarif RS terlalu tinggi, karena akan bertentangan dengan misinya sebagai RS publik. Manajer RS berpendapat tidak mungkin menjadikan perinatologi sebagai layanan unggulan, karena pasti tidak akan mendatangkan revenue yang cukup untuk menutupi biaya operasional RS. Kepala divisi perinatologi juga merasa keberatan jika harus menjadikan aspek finansial sebagai salah satu indikator kinerjanya, karena itu akan membuatnya menolak banyak pasien miskin.
Kesimpulan
UU No 40 tahun 2004, bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (pasal 3). Di dalamnya, terkandung asas keadilan sosial, yaitu seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan. Mau ataupun tidak, sesuai amanat UU program BPJS ini akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014. Tentunya, pelaksanaan program ini tidak serta merta langsung dapat meng-cover kebutuhan seluruh ratyat Indonesia. Namun, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, hingga pada 2019 seluruh Rakyat Indonesia telah menjadi peserta BPJS.
Sampai saat tulisan ini diturunkan proses monev masih berlangsung. Hasil sementara yang didapat menunjukkan adanya variasi progress kegiatan dan pencapaian tujuannya. Sebagai contoh, beberapa RS menggunakan kontainer air kecil yang dilengkapi dengan keran sebagai pengganti wastafel untuk cuci tangan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan instalasi wastafel dan juga kekurangan air yang menjadi masalah umum di Provinsi NTT. Dengan inovasi ini, tidak ada alas an bagi petugas kesehatan di RS untuk tidak menjalankan prosedur hand hygiene untuk keselamatan pasien. Namun sayangnya fasiiltas pengering tangan masih menggunakan handung yang dipakai bersama dan berkali-kali, bukan handuk yang sekali pakai.

—-






