Hospital Management Asia 2025
Reportase
Hospital Management Asia 2025
Sesi Pembukaan Hospital Management Asia 2025
Ho Chi Minh City Vietnam
PKMK-Vietnam. Pertemuan tahunan HMA pada tahun 2025 diselenggarakan di Ho CHi Minh City Vietnam, 10 - 11 September 2025. Dihadiri 1200 peserta dengan 65% peserta adalah CEO RS di Asia. Saya diundang sebagai salah satu juri dalam Hospital Management Asia (HMA). Seperti diketahui HMA menyelenggarakan Award di berbagai kategori. Posisi sebagai juri ini sudah sekitar 10 tahun saya lakukan bersama HMA. Pengamatan saya memang partisipasi RS-RS Indonesia dalam Award masih kurang, walaupun saat ini sudah semakin membaik.
Sebagai latar belakang pertemuan, dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi kesehatan telah menjadi fokus perhatian di HMA. Hal ini mencerminkan transformasi digital yang pesat di berbagai rumah sakit di Asia. HMA 2025, tetap fokus ke prinsip-prinsip inti manajemen rumah sakit: kualitas dan keselamatan dan pengalaman pasien, serta kepemimpinan yang efektif. Ini adalah tema HMA 2025
Pidato Pembukaan oleh Wakil Menteri Kesehatan Vietnam:
Selamat datang untuk 1200 peserta. Pemerintah Vietnam bekerja bersama dengan RS-RS di Asia harus menjawab tantangan pelayanan seperti semakin tuanya warga, berkembangnya penyakit-penyakit tidak menular dan menular, climate change, sampai adanya kekurangan SDM. RS harus menjadi pusat inovasi pelayanan kesehatan, AI, pengembangan teknologi tapi harus tetap menjaga keberlangsungan sistem kesehatan.
Partai komunis Vietnam berusaha mengembangkan sistem kesehatan. Ada berbagai Resolusi dari Polit Biro untuk pengembangan riset, teknologi kedokteran dan juga private sector. Terdapat pula resolusi untuk pengembangan quality standard framework sesuai dengan benchmark internasional. Digital transformation dikembangkan termasuk e-MR telehealth, pengembangan SDM agar masuk lebih dalam ke daerah remote. Seluruh bagian SDM kesehatan harus mengikuti petuah Bapak Negara HoChiMinh, dan tetap menghargai perkembangan teknologi.
Kami mengakui bahwa sistem kesehatan Vietnam belum maksimal, ,masih banyak kekurangan. Daerah-daerah terpencil masih kekurangan SDM Kesehatan. Askes pemerintah dan swasta masih belum terkoordinasi, dan masih ada kekurangan koordinasi.
Oleh karena itu tema seminar saat ini sangat penting. Kami harus belajar dari kasus-kasus yang dibahas di seminar ini, agar terjadi transformasi yang lebih cepat. Saya percaya dengan adanya pembicara-pembicara ahli termasuk dari lnternasional dapat mengembangkan mutu pelayanan di Vietnam. Dengan ini saya buka secara resmi pertemuan ini. Sukses selalu.
Dirjen Pelayanan Medis Kemenkes Vietnam membahas mengenai Digital Transformation. Beberapa slidenya dapat dilihat sebagai berikut:
Penulis Laporan: Laksono Trisnantoro (UGM)
Talkshow: Yesterday’s lessons, today practice and tomorrow innovation for hospital leadership
Talkshow dibuka oleh moderator:
Apa pelajaran dari pengalaman hidup anda?
Jawaban:
Dr. Lisa menjawab bahwa dia sudah bekerja sebagai ahli bedah dan manajer RS mulai 2010-an di Florida di RS untuk anak-anak. Pada waktu itu, terjadi pengalaman buruk mengenai hasil operasi terutama pediatric cardiology outcome. Kami menemukan beberapa ahli bedah jantung yang tidak bagus proformance. Kemudian kita lakukan perbaikan dengan detil. dimana semua RS dan ambulatory-nya harus mempunyai koneksi yang baik. Kami perbaiki pillar by pillar. Budaya mutu yang masih jelek kami perbaiki.
M: Apa peran leadership?
J: Penting sekali leadership. Kepemimpinan terkait dengan orang. Para staf harus diberi tool dan insight untuk bekerja on behaltf patient. Struktur dan proses diperbaiki.Semua SDM harus melihat apakah ada masalah dan memberi tahu untuk perbaikan.
M: Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu?
J: Kita harus menemukan gap yang ada dan dari front line SDM untuk memperbaiki sistem. Kita perbaiki budaya kerja untuk melayani pasien ke seluruh SDM.
M: Wah ini merupakan pengalaman yang membutuhkan kerja keras, anda harus mengawasi tempat-tempat yang jauh banyak pegawai. Bagaimana anda bekerja sehari-hari dalam seminggu?
J: Setiap hari memang saya harus mengawasi seluruh fungsi korporasi Ini juga mencakup pelayanan dan pendidikan serta riset. Harus mengurangi friksi antar unit. Di level korporat harus mengatur semua sistem manajemen dengan baik, secara sentralisasi. Ada tanggung jawab berat. Setiap minggu saya mengunjungi berbagai titik distribusi, supply chain untuk 5 RS, kemudian juga harus melihat ke seluruh praktek. Untung saya masih sebagai dokter bedah. Ini menyangkut kepemimpinan klinik. Clinician leaders harus ada untuk melihat berbagai kekurangan. Sebagai dokter bedah saya mempunyai pengalaman operasional termasuk mendeteksi kesulitan komunikasi antar unit dan memperbaiknya.
M: Bagaimana mengembangkan SDM? Apakah sebuah perjuangan keras?
J: Ya, banyak waktu untuk mengelola SDM agar mencegah burnt out dan ada 40 ribu SDM, banyak sekali dan kita masih kekurangan banyak SDM. Kami terus senantiasa melakukan survei SDM. Para manajer harus tahu detil mengenai stafnya. Ada check list untuk melihat SDM. Juga untuk mellihat lisensi agar task-nya dapat tepat. Pendidikan staf juga harus ada proses pengembangan banyak sekali pilihan pendidikan. Ada jalur untuk pengembangan ke depan. 5 tahun ke depan harus menjadi apa, per;u direncanakan.
M: Bagaimana dengan burnt out medical staff. Juga pasien yang datang dengan Google ada paper work yang harus diselesaikan. Apa strategi untuk meringankan beban mereka?
J: Bagaimana kita bisa mengembangkan dengan sebaik-baiknya untuk mencegah burnt out. Kami ada alat bantu berupa ambience listening system. Ada 4 ribu dokter yang mempunyai akses pada sistem ini. Alat ini untuk mengurangi beban menulis laporan dan melihat layar komputer.
M: Bagaimana dengan digital AI.
J: Saat ini memang AI menjadi top-buzz para eksekutif. AI adalah obyek yang harus kita bahas sekarang dan di masa mendatang dalam konteks digital transformation. Pasien mempunyai segala pengetahuan dengan pakai Google termasuk AI. Bagaimana mereka dapat dimudahkan untuk mengatur jadwal, akses pelayanan, seluruh MR dapat diakses pasien melalui telpon.. bagaimana mereka bisa terlibat ke penanganan medik. Kita harus menyiapkan telemnedicine untuk pasien. Outside of hospital, at home. Bagaimana mendapatkan acut-care tetapi tetap di luar RS (homecare). AI selalu ada dan menjadi alat operasional untuk berbagai aspek manajemen. termasuk antara lain supply-chain management, services dan scheduling. Powerfull tool for us. AI banyak membantu untuk predicted analysis tentang overload. More patient less hospitals, bagaimana situasi over loaded ini dapat ditangani. Bagaimana schedule dapat diperbaiki. AI berguna.
M: Tentang robotic surgery bagaimana?
J: Teknologi ini bagus tapi ada beberapa kelemahan. Sebuah tambahan teknologi itu Tapi untuk jangka panjangnya ada kecenderungan mengarah ke medioker untuk para ahli bedahnya. Jadi harus hati-hati menggunakan teknologi robotik untuk bedah.
M: Apa pedoman untuk menggunakan teknologi?
J: Kami menggunakan sistem tata kelola ketat untuk pemilihan teknologi. Tidak bisa untuk 40 ribu karyawan kemudian ada 40 software. Ada semacam proses uji-coba juga dalam pelaksanaannya.
M: Untuk ke depan, apa konsep-konsep dasar untuk leadership?
J: Sistem kesehatan sangat kompleks. Konsep-konsep dasar yang harus diikuti antar lain: Mindfull...Mempunyai Visi, dapat mengartikulasikan dan mewujudkan visi, mempunyai strategi, mempunyai ketrampilan membangun hubungan baik dan kolaborasi, mempunyai komunikasi yang baik. dan mampu mengelola orang. Saya memimpin banyak orang dan hasilnya bukan hanya kinerja saya. Tapi hasil bersama sebagai tim, juga pemimpin kesehatan yang baik harus mempunyai pengaruh di masyaakat umum. Kita juga harus aktif dalam memperbaiki indikator Social Determinants untuk kesehatan. Kita sebagai pemimpin di RS harus bisa bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin di masyarakat dan juga mengembangkan kerjasama pemerintah dengan swasta.
Terimakasih
Penulis Laporan:Laksono Trisnantoro (UGM)
Keynote Presentation: Accelerating the journey to cancer survivorship
Sasa Mutic adalah President dari Radiation Oncology Solutions, Varian, sebuah unit bisnis dari Siemens Healthineers, yang bertugas untuk mengawasi research and development (R&D), manufaktur, pemasaran, dan operasional komersial untuk radioterapi eksternal, brakiterapi, dan produk perangkat lunak terkait pelayanan radioterapi.
Sesi ini banyak membahas tentang bagaimana kemajuan dalam radioterapi dapat mempercepat pengobatan, antara lain melalui perbaikan alur kerja yang dioptimalkan dengan AI untuk mempercepat perencanaan pengobatan, dan memastikan terapi yang sangat personal untuk setiap pasien.
Berdasarkan berbagai penelitian, pasien kanker sering kali menghadapi penundaan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk memulai pengobatan radioterapi. Penundaan ini tentu berdampak signifikan pada efektivitas pengobatan, kesejahteraan pasien, dan biaya perawatan hingga ke kelangsungan hidup pasien (menurunkan angka survivor rate). Sasa Mutic menegaskan bahwa setiap penundaan empat minggu dalam pengobatan kanker dapat meningkatkan risiko kematian hingga 10%.
Tantangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sistem kesehatan yang overload, kekurangan staf medis, ketersediaan teknologi radioterapi yang terbatas, dan proses manual yang rumit dalam perencanaan pengobatan. Pembicara menyampaikan inovasi dalam perbaikan alur radioterapi sebagai solusi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Inovasi dalam bentuk kombinasi perancangan ulang alur kerja dan penggunaan teknologi inovatif terutama dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk pra-perencanaan pengobatan yang dimulai sejak diagnosis.
Reporter:
Hanevi Djasri (UGM)
Sesi Paralel LEADERSHIP SUMMIT: Value-Based Care
Track Leadership pada hari pertama siang (10/9/2025) di konferensi HMA 2025 masuk ke banyak area clinical outcomes. Dr. Jamie Mervyn Liem, CEO Ren CI Hospital Singapura membawakan makalah dengan judul: Good outcomes at sustainable cost: How is that possible.
Value-based Care telah lama dibahas di sektor rumah sakit melalui 4 pendekatan stakeholders: (1) pasien dan keluarganya; (2) staf; (3) sistem dan organisasi; serta (4) donor, tenaga sukarela dan masyarakat umum.
Sebagai gambaran pendekatan pasien dan keluarganya harus memperhatikan mutu perawatan klinis dan pelayanan dan pelayanan yang terjangkau secara keuangan. Keluarga sangat membutuhkan patient-safety dan hasil klinis yang baik. Sementara jika dipandang dari sistem dan organisasi, terdapat berbagai ukuran seperti optimalisasi pelayanan dan proses, serta dana yang terpakai. Pada akhirnya dari pandangan organisasi pelayanan ada isu penting yaitu biaya memberikan pelayanan. RS Ren mengembangkan sebuah dashboard dengan berbagai kategori untuk menggambarkan indikator-indikator pencapaian value-based care. Ada berbagai alat untuk meningkatkan indikator antara lain Clinical Process Improvement Programme, Design Thinking, PDCA cycle, Production and Process Preparation, LEAN, Value Stream Mapping, Time-driven Activity Based Costing, hingga tool dari International Consortium for Health Outcome Measurement.
Pembicara berikutnya Dr. Piyaporn Thipayarat, Hospital Director and Chief Medical Officer Bangkok Hospital Pattaya Thailand membahas mengenai Taking Value-based care beyod one-size-fits-all.
Bangkok Hospital Pattaya mengembangkan sebuah praktek manajemen dengan metafora seperti NASA: Mission to the Moon. Targetnya adalah meningkatkan usia harapan hidup dan kesehatan yang lebih baik di atas 85 tahun. Program ini dilakukan dengan berbagai pendekatan pelayanan khusus, misalnya untuk jantung, otak, sampai tulang. Untuk jantung misalnya ada kegiatan yang bersifat end-to-end dari prevention & detection, manajemen medik, pre-operative, intervensi, post operative care, rehabilitasi sampai surveillance untuk survival. Dalam hal ini, ada hierarki outcome, mulai dari status klinis sampai ke fungsional. Di akhir ada gambaran futuristik mengenai masa depan dunia yang mengarah ke Value Based.
Pembicara ketiga Bastion Rackow. Global Health of Value Partnerships, Enterprise Services, Siemens Healthineers Germany tentang Comprehensive Cancer Care to improve outcomes and enhance the patient experience.
Penyakit kanker merupakan tsunami yang silent. Secara perlahan meningkat terus dengan penderita yang semakin banyak. Penanganan pasien kanker ternyata sangat rumit, mulai dari dokter umum, dokter spesialis kanker, radiologist, ahli kanker menggunakan radiasi, medical oncologist, dokter bedah, sampai radiologis intervention. Penyebab kanker juga sangat bervariasi di setiap bangsa. Misal untuk kanker hati, penyebab berbeda-beda antara negera. Hal yang menarik di negara maju terjadi perbedaan, misal angka survival dalam bulan untuk pasien-pasien kanker hati antara Amerika Serikat dan Jepang.
Perawatan kanker membutuhkan pendekatan komprehensif, termasuk mengatasi beban psikologis pasien dan keluarga. Pembicara menekankan bahwa jawaban untuk tantangan perawatan kanker melalui pendekatan komprehensif yang dilakukan dengan 2 jalur: (1) pendekatan multi disiplin yang melibatkan berbagai profesi, antara lain: oncologist, pathologist, ahli bedah, nuclear physician, radiologist, palliative care expert, nutritionis, perawat, sampai ahli psikologi; dan (2) melakukan pelayanan terintegrasi yang kontinum mulai dari prevention, early detection, diagnosis. treatment, survivorship & palliative care.
Reporter:
Laksono Trisnantoro (UGM)
Sesi Pararel LEADERSHIP SUMMIT: Succession Planning & Emerging Leaders
Technological Platforms in Change Management
Thomson Medical Group Transformation Journey
Dr. Melvin Heng
Group CEO Thomson Medical Group
Thomson Medical Group mempunyai 3 RS yang menekankan pentingnya perubahan karena meningkatnya demand for better care dan meningkatnya harapan pasien yang semakin besar. Situasi di RS selama ini masih terjadi inefisiensi operasional, sistem lama yang buruk, fragmented worklines, burnt out di kalangan dokter dan kekurangan SDM. Oleh karena itu perlu ada manajemen perubahan yang terstruktur (misalnya menggunakan ADKAR, Kotter Model).
8 Langkah Kotter adalah model manajemen perubahan yang memandu organisasi melalui transformasi dengan menguraikan delapan tahap berurutan: 1. menciptakan rasa urgensi, 2. membentuk koalisi pemandu, 3.menciptakan visi untuk perubahan, 4. mengkomunikasikan visi, 5. memberdayakan tindakan, 6. menghasilkan kemenangan jangka pendek, 7. mengkonsolidasikan keuntungan, dan 8. membuat jangkar agar terus terjadi perubahan dalam budaya. Pendekatan terstruktur ini membantu para pemimpin mengelola proses secara efektif dan memastikan bahwa perubahan berkelanjutan dan menjadi bagian dari praktik yang ditetapkan organisasi.
Sementara model ADKAR, merupakan singkatan dari Awareness, Desire, Knowledge, Ability, dan Reinforcement. Model perubahan ini kemudian dikelola melalui platform sistem informasi manajemen yang dapat digunakan oleh rumah sakit lain. Dengan demikian sistem yang digunakan merupkan sebuah produk RS. Jadi Departemen Informatika di RS ini bukan cost-centre saja. Pengembangan Hospital Management System dilakukan dengan pendekatan integrasi peralatan medik, diagnotik, manajemen data klinis secara real time, kepatuhan pada aturan, dan kesiapan untuk AI.
Dalam pengembangan ini, Clinical leaders harus aktif karena menyangkut sumber daya yang berasal dari sistem mikro.
Bridging Vision and Reality:”Where Prince of Wales Hospital Development needs Leadership for the future”
Dr. Ada Yu. CEO Prince of Wales Hospital, Shatin, Hongkong
Pada 2016 muncul kebijakan untuk membangun ulang RS Prince Williams di Hongkong. Proyek ini sangat besar dan dapat dikatakan megaproyek yang membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk pengembangan visi, perencanaan sampai konstruksi dan penggunaan. Program ini menekankan bahwa pengembangan RS harus berdasarkan perencanaan pelayanan klinis yang baik dan pengembangan arsitektur fisik sebagai cara untuk meningkatkan kinerja klinis.
Oleh karena itu dibentuk berbagai kelompok pelayanan klinis, antara lain: Cardiothoracis. Maternity and Child Health, Kidney, Gastro intestinal, Neuroscience, Muskuloskeletal. Para clinical Leaders mengkaji pelayanan dan merencanakan dengan arahan tata kelola (governance RS) yang tepat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
Step 1, Bring the Vision dengan memadukan para spesialis. Misal dalam perencanaan bagian kardiologi, ada Cardiologist Programme Floor mulai dari diagnostic imaging, interventional treatment, in-patient services, day services, sampai rehabilitation services.
Step 2: Forming Users Groups, sejak 2015 dilakukan pemetaan clinical leaders dan stakeholders mapping. Pada tahun itu juga para pemimpin klinis diminta untuk melibatkan klinisi-klinis yang lebih muda di 2-3 generasi.
Step 3 adalah Clinical Serviucie Plan, berbagai tim klinis mulai bekerja dan melakukan perubahan sejak itu dengan cara melibatkan manajer menengah.
Step 4, melibatkan para pengguna dalam perencanaan dengan cara menyelenggarakan pertemuan-pertemuan stakeholders. Dalam upaya tersebut, digunakan alat bantu yaitu Mendelows power-interest grid. Jadi bukan hanya mengelola stakeholder, melainkan juga sampai melibatkan mereka.
Step 5. Communication. Communication for the Project dilakukan dengan intensif agar terjadi pemahaman akan perencanaan yang baik selama 10 tahun. Terjadi 400-an pertemuan yang terdokumentasi dengan rapih.
Step 6, menyiapkan penyerahan operasional yang dilakukan dengan tata kelola RS (governnance) yang disiapkan secara detail. Sebagai catatan, para pemimpin RS banyak yang berganti karena proses perubahan mencapai 10 tahun. Pada 2027, program tersebut direncanakan akan selesai. Program ini memang melibatkan para pemimpin klinik dan manajemen yang muda-muda. Mereka yang antusias, penuh energi, dan selalu siap keluar dari comfort zone menjadi pelaku penting dalam proses 10 tahun ini.
Reporter:
Laksono Trisnantoro (UGM)
Patient Experience: dari Pasien menjadi Partner dalam Meningkatkan Pengalaman Pasien di RS
Tahun 2025 ini, acara Hospital Management Asia (HMA) kembali fokus pada prinsip-prinsip inti manajemen rumah sakit, yaitu: Kualitas dan keselamatan layanan; Pengalaman pasien; dan Kepemimpinan yang efektif. Teknologi digital telah menjadi sorotan utama di HMA 2024 di Bali, dan pada HMA Vietnam 2025 ini memperdalam konteks bagaimana teknologi dapat meningkatkan area-area inti tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka sesi pararel HMA 2025 dibagai menjadi 3 bagian dan beberapa sub-bagian sebagai berikut:
A. Quality and Safety
- Early Detection & Clinical Decision-Making
- Transforming Care Delivery
- Preventing Hospital-Acquired Infection (HAI)
- Addressing Safety Risks & Concerns
- Turning Data into Operations
B. Patient and Staff Experience
- Efficiency, Advocacy & Partnership (patient)
- Putting Patients First (patient)
- PREMS, PROMS, Solutions & Results (patient)
- Engagement & Collaboration (staff)
- Staff Safety & Wellbeing (staf)
- Streamlining Workflow with Connected Patient Care
C. Leadership Summit
- Healthcare Cost VS Quality
- Value-Based Care
- Succession Planning & Emerging Leaders
- Hospital @ Home
- Medical Tourism
- Risk Management & ESG
Reportase ini akan berfokus kepada sesi Patient Experience and Staf Experience dengan mengambil intisari konsep dan penerapan dari para pembicara multi nasional.
Sesi Pararel 1: Implementing patient experience programmes centred around People, Process and Design oleh Dr Maria Glenda T. Montaña, Patient Experience Division Head, Davao Doctors Hospital, Philippines
Maria membagikan perjalanan transformasi rumah sakit dalam meningkatkan pengalaman pasien. Fokus utama adalah mempercepat proses perpindahan pasien dari IGD ke ruang rawat (ER-to-admission turnaround). Sebelum 2023, pasien rata-rata menunggu 6–8 jam akibat proses manual, komunikasi antar-departemen yang terputus, serta kurangnya sistem pemantauan. Hal ini mendorong munculnya keluhan pasien yang merasa cemas, bingung, dan tidak mendapat kepastian.
Rumah sakit kemudian mengadopsi kerangka People–Process–Design:
- People: membangun akuntabilitas, kolaborasi, dan mengatasi resistensi staf melalui playbook standar, turnaround champions, serta real-time dashboard.
- Process: memperbaiki alur penempatan tempat tidur dengan sistem manajemen terintegrasi, mempercepat respon dokter, dan mengganti proses berlapis dengan sistem one-call admission.
- Design: digitalisasi antrian, pemantauan pergerakan pasien secara real-time, serta dashboard otomatis untuk memastikan integritas data.
Hasilnya, waktu tunggu berkurang signifikan menjadi rata-rata 3 jam. Lebih penting lagi, perubahan ini menciptakan pengalaman pasien yang lebih positif: komunikasi lebih jelas, perawatan lebih cepat, serta staf yang merasa lebih berdaya.
Maria menekankan bahwa tujuan utamanya bukan sekadar kecepatan, melainkan juga menciptakan sistem yang efisien sekaligus penuh empati. “Pasien harus merasa didengar, dibantu, dan dihargai sebagai manusia,” tutupnya.
Sesi Pararel 2: From Patients to Partners: A shared patient advocacy journey at SGH oleh Serena Chua, Deputy Director, Patient Experience, Singapore General Hospital, Singapore dan Ellil Mathiyan Lakshmanan, Patient Expert and Mentor, SingHealth Patient Advocacy Network, Singapore General Hospital, Singapore
(catatan editor: Sesi ini merupakan salah satu dari dua sesi yang paling menarik pada hari I HMA 2025. Dibawakan secara tandem oleh Serena yang mewakili staf RS dan Ellil yang mewakili pasien).
Elliot, seorang patient partner sekaligus mentor di SingHealth Patient Advocacy Network (SPAN), Singapore General Hospital (SGH), menekankan pentingnya melibatkan pasien secara bermakna dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kesehatan. SPAN lahir pada 2022 sebagai adaptasi dari inisiatif SingHealth (2017). Tantangan awal adalah bagaimana merekrut pasien dan keluarga yang tepat untuk menjadi partners. Solusinya adalah melalui jalur umpan balik pasien, poster rekrutmen, serta proses onboarding workshop yang memastikan mereka memahami peran, komunikasi, dan ekspektasi.
SPAN dibangun di atas empat strategi: 1) Partnership in Care – meningkatkan komunikasi pasien–tenaga kesehatan agar lebih jelas dan terpercaya. 2) Patient Safety – keterlibatan dalam Root Cause Analysis (RCA), kampanye keselamatan, dan kolaborasi dengan pusat kualitas. 3) Value-Based Care – memberi masukan agar layanan berfokus pada hal yang penting bagi pasien dan mengurangi prosedur yang tidak perlu. 4) Patient Journey – terlibat dalam setiap titik perjalanan pasien, mulai dari penamaan kampus baru hingga desain layanan.
Lebih dari sekadar memberi masukan, pasien di SPAN juga menjadi co-creators dalam kebijakan. Elliot menekankan pentingnya psychological safety: menciptakan ruang aman bagi pasien maupun staf untuk berbicara terbuka. Maskot Sora (boneka orang utan) hadir sebagai simbol bahwa suara pasien dihargai dalam setiap pertemuan.
SGH kini melihat pasien bukan hanya sebagai penerima layanan, tetapi sebagai “experiential experts” yang memperkaya perspektif rumah sakit. “Kita tidak kehilangan kendali dengan melibatkan pasien, justru kita mendapatkan kejelasan dan kebijaksanaan baru,” ujar Elliot.
Sesi Pararel 3: Centralised Intelligence, Decentralised Impact – Harnessing Command Center Technology to Drive Efficiency and Improve Patient Outcomes oleh Esther Ocrah, Senior Director, Command Center International, GE Healthcare, UK
(catatan editor: ini merupakan salah satu dari beberapa sesi yang disponsori oleh perusahaan besar teknologi kesehatan, seperti GE Healhtcare, Siemmens Healthcare, Abbot, dan sebagainya. Meski disponsori namun pembicaraan tidak terlalu terkait dengan penjualan produk, namun lebih ke arah pemaparan berbagai penelitian yang telah mereka lakukan, konsep implementasi yang mereka telah kembangkan, hingga evaluasinya)
Pada sesi ini, Esther Ocrah membahas bagaimana teknologi command center dapat menjadi jawaban atas tantangan operasional rumah sakit yang semakin kompleks. Dengan mengusung konsep Centralised Intelligence, Local Action, pihaknya menekankan bahwa integrasi data, penggunaan AI, dan desain alur kerja baru mampu meningkatkan efisiensi dan hasil perawatan pasien.
Esther menguraikan beberapa kendala utama yang sering ditemui, antara lain: Breakdown in Care Coordination: data yang terisolasi dan alur kerja manual menyebabkan keterlambatan, misalnya pada proses discharge; Lack of Systemness and Visibility: tidak adanya bahasa operasional bersama membuat rumah sakit sulit memanfaatkan sumber daya secara optimal; Staffing and Workflow Misalignment: jadwal kerja yang reaktif tanpa terhubung pada proyeksi kebutuhan pasien; Data Overload and Decision Paralysis: banyaknya dashboard yang terfragmentasi tanpa menghasilkan wawasan yang dapat langsung ditindaklanjuti.
Dalam mengatasi kendala tersebut, Esther menawarkan kerangka solusi melalui tiga pilar utama: Centralised Intelligence – integrasi data real-time lintas sistem, penggunaan AI, visualisasi, dan dashboard untuk memberikan situational awareness menyeluruh; Decentralised Impact – tim garda depan menerima alert dan wawasan langsung di tempat kerja mereka, sehingga keputusan dapat diambil cepat sesuai kebutuhan lapangan; dan Scalable System Wide – dapat diterapkan di berbagai tipe rumah sakit, baik publik maupun swasta, dengan memanfaatkan data yang sudah ada dan tanpa harus mengganti infrastruktur teknologi secara menyeluruh.
Lebih lanjut Esther menjelaskan bahwa keberhasilan command center ditopang oleh empat aspek: People: pembentukan tim, kolokasi, dan ekspeditor fokus; Process: re-engineering, manajemen perubahan, dan pekerjaan standar; Technology: transparansi real-time, prediksi, dan preskriptif; Strategy: visi strategis yang besar namun dapat dioperasionalkan. (catatan editor: diskusi saat coffee break dengan CEO dan Chief Information Officer (CIO) dari RS swasta besar di Indonesia menyatakan bahwa untuk teknologi tidak masalah, untuk strategi juga tidak masalah, yang berat adalah kompetensi dan motivasi SDM dan re-design serta kepatuhan terhadap proses).
Menurut Esther, GE Healthcare telah mengimplementasikan command center di lebih dari 300 rumah sakit, dengan capaian: Penghematan hingga USD 40 juta dari efisiensi; pengurangan 1 hari rata-rata lama rawat inap; peningkatan kapasitas untuk 500 pasien baru per tahun; penurunan 87% pembatalan operasi; dan pengurangan 50% kebutuhan tenaga kerja sementara.
Sesi Pararel 4: How AI can empower patient care in ER oleh Umar Ansari, Global Head of AI Clinical Solutions, Abbott, UAE
(catatan editor: sesi ini penuh dengan cerita pengalaman pribadi yang kemudian dimasukan ke dalam konteks pembicaraan dengan sangat tepat. Salah satu kalimat pembicara yang menurut editor sangat tajam adalah “AI tidak akan menggantikan dokter. Tapi dokter yang menggunakan AI akan menggantikan dokter yang tidak,”).
Umar memulai dengan analogi sederhana: perubahan generasi dalam cara mengemudi. Jika dulu mobil manual adalah standar, kini anak muda bahkan menganggap mobil yang dihidupkan dengan kunci (bukan dengan tombol “start”) adalah sebagai mobil “manual”. Begitu pula dengan kesehatan—generasi mendatang akan menghadapi sistem kesehatan yang sangat berbeda karena percepatan inovasi.
Perkembangan AI, ujarnya, melaju pesat. Hanya dalam hitungan bulan, kemampuan model seperti GPT-3.5 hingga GPT-5 melonjak signifikan, hingga mampu menembus skor ujian medis di atas 90 persentil. Namun, narasumber mengingatkan bahwa 97% data kesehatan dunia masih belum terpakai. Padahal, volume data mencapai 50 petabyte per hari, dengan 70% berasal dari diagnostik. “Tantangan kita adalah bagaimana menyaring data agar yang relevan bisa sampai ke tangan dokter, bukan membanjiri mereka,” jelasnya.
Sejumlah studi membuktikan dampak nyata AI. Di Amerika Serikat, algoritma sederhana berbasis biomarker berhasil menurunkan tingkat rawat ulang pasien gagal jantung dari 26% menjadi hanya 4%, sekaligus menghemat ratusan ribu dolar. Di Spanyol, pemanfaatan AI untuk pasien sepsis memangkas waktu pemberian antibiotik hingga tiga jam—selisih yang bisa menyelamatkan nyawa.
Meski potensinya besar, AI masih menghadapi tantangan: keakuratan, bias data, hingga fenomena hallucination atau jawaban keliru. Narasumber menegaskan kuncinya adalah penggunaan bijak. “AI bisa menghitung, menafsirkan, dan memberi saran. Tapi hanya manusia yang bisa merasakan emosi, empati, dan penderitaan pasien,” ujarnya.
Umar menutup sesi dengan penegasan bahwa masa depan kesehatan harus memadukan dua hal: bisnis dan kemanusiaan. “Tidak salah melihat kesehatan sebagai bisnis. Tapi jangan lupakan bahwa inti dari layanan kesehatan adalah kemanusiaan. AI harus membantu kita menjalankan keduanya.”
Sesi pararel 5: Biomarkers in the emergency department: Rapid diagnosis in the management of mild traumatic brain injury oleh Dr Maria Fuentes, ER Physician, Andaluz Health Services, Spain
(catatan editor: sesi ini sangat klinis, namun mengingatkan kepada para praktisi RS, bahwa salah satu cara meningkatkan pengalaman pasien dengan melakukan inovasi dalam teknis medis/klinis termasuk dengan mengembangkan metode/teknologi terbaru dalam diagnosa dan tatalaksana penyakit, tidak hanya perbaikan dari aspek manajerial. Disinilah peran penting dari Clincal Research Unit yang mulai banyak dikembangkan di Indonesia)
Sesi ini menghadirkan Dr. Mariola Fuentes, dokter spesialis emergensi di Rumah Sakit Granada, Spanyol, yang berbagi pengalaman klinis mengenai penggunaan biomarker dalam penilaian cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain injury atau TBI). Menurutnya, penggunaan biomarker telah mengubah praktik sehari-hari di unit gawat darurat dengan memberikan data objektif yang mendukung diagnosis cepat, efisiensi pelayanan, dan peningkatan keselamatan pasien.
Fuentes menekankan bahwa setiap menit sangat berarti di instalasi gawat darurat (IGD). Dokter seringkali harus mengambil keputusan cepat dengan informasi klinis yang terbatas. Kondisi overcrowding menambah tekanan, baik bagi tenaga medis maupun pasien yang harus menunggu lama. Selama ini, pemeriksaan fisik dan keterampilan klinis memiliki keterbatasan subjektivitas, sementara pemeriksaan pencitraan (CT scan) berisiko memberikan paparan radiasi yang tidak selalu diperlukan.
Seperti halnya biomarker troponin yang telah merevolusi penanganan nyeri dada dan infark miokard, kini muncul biomarker untuk TBI yang membantu mengurangi ketidakpastian diagnostik. Dua biomarker utama yang digunakan adalah Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) dan Ubiquitin Carboxy-terminal Hydrolase-L1 (UCH-L1). Keduanya dilepaskan segera setelah trauma kepala, spesifik pada jaringan otak, dan memberikan bukti biokimia objektif adanya cedera. Kombinasi GFAP dan UCH-L1 terbukti memiliki nilai prediktif negatif mendekati 99%. Artinya, bila hasil biomarker negatif, dokter dapat dengan aman menyatakan bahwa pasien tidak mengalami lesi intrakranial signifikan, sehingga CT scan tidak perlu dilakukan.
Fuentes memaparkan hasil implementasi biomarker di rumah sakitnya yang kini menjadi pionir di Spanyol, dengan menghasilkan dampak: Pengurangan CT scan yang tidak perlu, sehingga pasien terhindar dari radiasi berlebihan; Waktu tunggu lebih singkat, rata-rata menghemat 111 menit per pasien di IGD; Efisiensi biaya signifikan, dengan potensi penghematan sekitar 700 ribu Euro per tahun atau setara 200 Euro per pasien; Optimalisasi sumber daya, baik di IGD maupun departemen radiologi; dan Peningkatan kepuasan pasien, karena keputusan diagnosis lebih cepat dan lebih pasti.
Narasumber menutup paparannya dengan menekankan bahwa biomarker membawa pergeseran besar: dari ketidakpastian menuju keyakinan diagnostik. Inovasi ini bukan hanya meningkatkan hasil klinis pasien, tetapi juga mendukung keberlanjutan sistem kesehatan melalui efisiensi biaya dan pemanfaatan sumber daya.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
Sesi Keynote: Wellness-centred healthcare: The time to act is now
oleh: Vahe Ayvazian, Divisional Vice President, Global Marketing, Core Diagnostics, Abbott, USA
(catatan editor: sesi ini merupakan salah satu dari berbagai sesi yang disponsori oleh industri pelayanan kesehatan, presenter dan lembaga yang diwakili tidak memaparkan secara langsung produk, namun lebih kearah menawarkan konsep dan inovasi yang memang akan mengarah juga ke produk mereka)
Vahe Ayvazian, telah berkarier lebih dari 17 tahun di dunia pemasaran dan transformasi kesehatan, saat ini memfokuskan dirinya pada kolaborasi global untuk menghadirkan kinerja layanan kesehatan yang lebih baik melalui inovasi laboratorium, dengan mengatakan bahwa “diagnostik adalah benang biru yang menyatukan seluruh ekosistem kesehatan”.
Ayvazian menekankan bahwa 70% keputusan klinis didasarkan pada tes laboratorium. Namun, apakah data laboratorium sudah benar-benar dimanfaatkan untuk mendorong hasil yang lebih baik? Lebih lanut dia menyampaikan sebuah studi kasus dari Inggris yang memperlihatkan kekuatan transformasi diagnostik, dimana penggunaan high-sensitivity troponin mampu memangkas lama rawat inap hingga 58%, menurunkan rawat inap dari IGD sebesar 37%, serta menghemat hampir 800 ribu euro dalam satu rumah sakit. “Pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi lintas disiplin seperti IGD, kardiologi, perawat, hingga laboratorium,” tegasnya.
Ke depan, ia memetakan lima tren besar: kesehatan holistik, manajemen kesehatan masyarakat, integrasi teknologi diagnostik ke dalam kehidupan sehari-hari, desentralisasi layanan, serta penciptaan kesehatan (beyond not being sick). Tren ini menuntut kolaborasi semua pihak termasuk industri, pemerintah, dan sistem kesehatan, untuk mengoptimalkan peran diagnostik dalam menciptakan nilai dan hasil kesehatan yang lebih baik.
“Pasien tidak hanya ingin tidak sakit. Mereka ingin sehat, bugar, bahkan dapat berlari maraton. Laboratorium punya peran besar untuk mewujudkan itu,” pungkasnya.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
Pengembangan Hospital in the Home (sebagai bentuk khusus dari home-care)
Sejak COVID-19, penggunaan prinsip Hospital in the Home (HITH) semakin berkembang dan dipergunakan sebagai piihan yang lebih efisien untuk pasien yang memang lebih tepat berada di rumah dibandingkan di RS. Sesi ini membahas mengenai tren HITH yang terjadi. Pengalaman NUHS@Home dibahas dimana terdapat sebuah pernyataan menarik: semua pasien yang ingin dirawat di rumah dan dapat dirawat di rumah, sebaiknya dirawat di rumah. NUHS@Home sudah berjalan lama. Sesi ini dimulai dengan sebuah pernyataan menarik mengenai bagaimana kesulitan untuk meningkatkan jumlah tempat perawatan di rumah, bukan di RS. Johny Chan dari NUHS@Home Singapore. mempunyai presentasi yang menarik dengan judul: 10 reasons why you shouldn’t scale hospital at home. Dalam presentasinya dinyatakan untuk meningkatkan home care itu tidak mudah. Terdapat berbagai hal yang perlu diperhatikan. Pasien yang berada di NUHS@Home dianggap sebagai in-patient dimana cost lebih murah dipandang dari sudut RS, dan dari sudut pandang pasien juga. Namun ketika jumlah kaman perawatan di rumah semakin banyak, dari 5 ke 10, ke 50 hingga 400 tempat tidur di rumah, ternyata tidak mudah. Ketika lebih dari 400 RS, sistem logistik, servis, IT, bahkan sampai ke tata kelola sudah menjadi sebuah RS sendiri.
Pembicara kedua membahas Comprehensive care at home: Managing complex care needs and coordinating services. Dr. Anne Marie Crazier, HITH Medical Director, Sydney Local Health District, Australia menyatakan bahwa Hospital in the Home (HITH) semakin banyak dijalankan terutama di negara bagian Victoria. Sudah ada society-nya, ada World Congres, hingga jurnal sendiri, Journal of Home Medicine. Di Sydney Local Health System ada 4 RS besar dengan 750.000 populasi. Pemerintah semakin perhatian dan mendapat dana tambahan banyak. Kegiatan ini sudah berjalan 2 tahun dan saat ini sudah mulai dievaluasi termasuk outcome seperti di bawah ini.
Pembicara ke-3 dari Taiwan menggambarkan mengenai Creating a virtual hospital without walls by connecting community resources and technology. Dr. Tzu Hua Huang, Director Good Home Clinic Taiwan Society of Home Health Care Taiwan menyatakan bahwa perawatan di rumah saat ini sangat dibutuhkan. Mengapa? Masyarakat Taiwan sudah sangat tua dan ada antrian panjang untuk konsultasi ke RS. Di samping itu biaya sudah semakin besar. 20% masyarakat Taiwan adalah usia lanjut dan mengonsumsi 50% anggaran belanja kesehatan.
Klinik kesehatannya bekerja sama dengan local community dan pemerintah menggunakan prinsip public private partnership. Kemudian yang sangat penting adalah bagaimana sistem informatika yang dapat menggabungkan pelayanan yang jauh dengan di rumah sakitnya melalui on-site diagnostic, remote monitoring, dan 24/7 respon. Di sini pemerintah banyak membantu dengan berbagai fasilitas elektronik dan transportasi.
Secara keseluruhan pengembangan home care dalam bentuk Hospital in the Home (HITH) semakin mendapat perhatian. Namun masalah pendanaan masih perlu pemikiran lebih lanjut karena cukup rumit, melibatkan asuransi kesehatan, anggaran pemerintah, dan juga partisipasi masyarakat. Hal yang menjadi inti dari pengembangan ini adalah bahwa para pemimpin yang berniat melakukan, harus menyadari bahwa ketika jumlah pasien yang dirawat di rumah semakin banyak, berbagai kesulitan akan muncul sehingga membutuhkan sistem manajemen yang baik.
Reporter:
Laksono Trisnantoro (UGM)
Sesi Pleno 2: From Vietnam to the World: Building centres of excellence in Southeast Asian healthcare:
Establishing quality benchmarks in local healthcare that meet global standards; Leading a patient-centric healthcare evolution; Sustainable leadership and talent development; Positioning Vietnam as a regional medical tourism hub. Sesi ini menghairkan Dr Truong Vinh Long, Deputy Chairman, Strategic Committee of Hoa Lam Shangri-La High Tech Healthcare Park, Hoa Lam Group, Vietnam; Dr Jean-Marcel Guillon, Founder & CEO, FV Hospital, Vietnam; Le Thuy Anh, Chairwoman, Vinmec International Healthcare System, Vietnam; Huynh Bich Lien, Group Chief Executive Officer, Hoan My Medical Corporation, Vietnam Niru Rajakumar, CEO, Amalga (by McCrae Tech), New Zealand
Sesi ini dibawakan dalam sebuah diskusi panel, untuk berbagi pengalaman Vietnam dalam mengembangkan pelayanan kesehatan dengan tingkat excellence. Dibuka oleh Neeru, perwakilan dari Selandia Baru yang memiliki pengalaman luas di Asia Pasifik hingga Eropa dan Amerika, pihaknya menyoroti pentingnya kemitraan antara rumah sakit lokal dengan organisasi global. Neeru mencontohkan kasus di Vietnam, d mana kapasitas rumah sakit seringkali melebihi 150–300% hingga pasien harus berbagi tempat tidur. “Masalah ini tidak hanya terjadi di Vietnam, tapi di seluruh dunia. Kita perlu belajar dari praktik terbaik global, khususnya dalam memperkuat pencegahan dan manajemen penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung,” ujarnya.
Dari sektor swasta, Ms. Lien, pimpinan Hoan My, menjelaskan bahwa rumah sakit swasta kini menjadi pemain penting, melayani sekitar 25% dari jumlah rumah sakit di Vietnam. Hoan My, yang sudah beroperasi selama 28 tahun, terus meningkatkan kualitas layanan dengan mengadopsi teknologi terbaru seperti MRI 3.0 dari GE serta membangun laboratorium otomatis. “Kami tidak hanya memenuhi standar Kementerian Kesehatan, tetapi juga mengadopsi akreditasi internasional seperti Australian Council for Healthcare Standards,” katanya.
Ms. Han dari Greenlight Healthcare menambahkan bahwa standardisasi praktik medis dan perubahan budaya kerja menjadi kunci untuk menghadirkan kualitas global ke konteks lokal. Greenlight, dengan sembilan rumah sakit di seluruh negeri, menerapkan safety huddle harian serta Patient Reported Outcome Measures (PROMs) untuk memastikan kualitas pelayanan benar-benar dirasakan pasien. “Budaya dimulai dari kepemimpinan. Pemimpin harus menjadi teladan dalam membangun budaya keselamatan dan kualitas,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Long menekankan pentingnya kepemimpinan dan digitalisasi untuk menyatukan layanan yang saat ini masih terfragmentasi. Pihaknya menyoroti perlunya sistem rekam medis elektronik (EMR) yang terhubung lintas rumah sakit publik maupun swasta agar data pasien terintegrasi. “Masa depan kesehatan adalah menempatkan pasien sebagai prioritas utama, bukan hanya mesin atau pendapatan rumah sakit,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan pandangan Dr. Gillian mengenai potensi Vietnam sebagai hub wisata medis. Gillian menyebut bahwa transformasi layanan kesehatan Vietnam dalam dua dekade terakhir membuka peluang besar untuk menarik pasien dari luar negeri. “Vietnam punya fasilitas, tenaga dokter, dan teknologi yang memadai, ditambah biaya yang kompetitif. Namun, dukungan kebijakan pemerintah tetap krusial untuk menjadikan Vietnam sebagai destinasi medis seperti Thailand, Malaysia, atau India,” jelasnya.
Dengan semangat kolaborasi antara publik dan swasta, serta adopsi standar global yang disesuaikan dengan konteks lokal, para panelis sepakat bahwa Vietnam tengah berada di jalur penting menuju sistem kesehatan yang lebih efisien, aman, dan berorientasi pada pasien.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
Sesi Paralel I: Hospital @ Home
(catatan editor: Sesi ini sebenarnya masuk ke dalam sesi Leadership, namun ketiga pembicara menyampaikan hal teknis tentang bagaimana mengembangkan dan menerapkan konsep “hospital without wall” yang sudah lama dikenalkan, dalam sesi ini para pembicara memberikan detail pelaksanaan di rumah sakit masing-masing dan menurut editor merupakan salah satu inovasi luar biasa dalam penerapan patient experience, suatu hal yang perlu segera diterapkan oleh RS di Indonesia. Reportase ini sebagai pelangkap reportase dari Prof Laksono)
Dalam konferensi ini, tiga pembicara dari Singapura, Australia, dan Taiwan berbagi pengalaman, tantangan, dan peluang dalam mengembangkan layanan Hospital at Home (H@H) atau istilah lain Hospital in the Home (HIHT). Meskipun konteks dan pendekatannya berbeda, ketiganya menekankan bahwa H@H bukan sekadar memindahkan perawatan dari rumah sakit ke rumah, melainkan membutuhkan transformasi sistem kesehatan secara menyeluruh—mulai dari sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, hingga regulasi dan indikator kinerja.
Sesi I: 10 reasons why you shouldn’t scale Hospital-at- Home oleh Johnny Chan, Operations Lead, NUHS@Home, National University Health System (NUHS), Singapore
Pembicara dari National University Health System (NUHS) Singapura menekankan kompleksitas dalam melakukan scaling up layanan Hospital at Home. Tantangan pertama adalah keterbatasan tenaga medis, terutama perawat, yang tidak bisa direkrut secara instan. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menentukan keseimbangan antara tenaga lokal yang dipekerjakan langsung dan layanan yang di-outsourcing ke vendor.
Permasalahan lain adalah sulitnya memprediksi permintaan. Tingkat okupansi virtual ward berfluktuasi seperti grafik pasar saham, sehingga menyulitkan perencanaan jumlah tenaga dan sumber daya. Di sisi lain, meski disebut “virtual hospital”, layanan ini tetap memerlukan infrastruktur fisik, seperti command centre, ruang logistik, transit lounge, serta pusat pelatihan.
Skalabilitas juga menuntut redefinisi indikator kinerja. KPI tradisional rumah sakit seperti bed occupancy rate atau length of stay tidak sepenuhnya relevan karena setiap rumah pasien dapat dianggap sebagai “bed”. Maka, tim perlu merancang indikator baru sambil tetap bisa meyakinkan manajemen rumah sakit dengan bahasa KPI yang familiar.
Singapura juga menghadapi hambatan teknologi. Sistem informasi rumah sakit tidak dirancang untuk proses di luar dinding rumah sakit. Misalnya, tidak ada “pneumatic tubes” untuk mengirim sampel laboratorium dari rumah pasien, sehingga harus mengandalkan kurir. Oleh karena itu, sistem harus terus direkayasa ulang agar sesuai dengan skala layanan.
Pembicara menekankan bahwa scaling up H@H bukanlah proses linear, melainkan serangkaian breakdowns yang mengharuskan perombakan struktur, pembagian peran yang lebih spesifik, inovasi teknologi, dan manajemen perubahan di level staf. Kesimpulannya, HaH hanya dapat berkembang jika tenaga kesehatan dan manajemen berani “membangun ulang rumah sakit tanpa dinding” dan siap melakukan transformasi total.
Comprehensive care at home: Managing complex care needs and coordinating services while ensuring patient safety in the home oleh Dr AnnMarie Crozier, HITH Medical Director, Sydney Local Health District, Australia
Pembicara dari New South Wales (NSW), Australia, menyoroti sejarah panjang Hospital in the Home (HITH) di negaranya, khususnya di Victoria yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun. COVID-19 mempercepat adopsi model ini, karena banyak pasien memilih dirawat di rumah bersama keluarga. Pemerintah Australia, baik federal maupun negara bagian, kini aktif mendukung HITH melalui pendanaan signifikan: AUD 31 juta dari NSW dan AUD 56 juta dari pemerintah pusat, serta AUD 140 juta untuk perawatan lansia.
Dengan dana tersebut, layanan HITH diharapkan tumbuh 10–15% per tahun, dengan target minimal 5% dari seluruh rawat inap di rumah sakit publik NSW. Pemerintah juga mendorong agar 50% rujukan datang langsung dari layanan primer (dokter umum, klinik spesialis, atau ambulans) tanpa harus melewati instalasi gawat darurat.
Tim HITH di NSW terdiri dari dokter umum, geriatricians, spesialis penyakit infeksi, perawat berpengalaman di ICU atau gawat darurat, serta tenaga allied health. Selain perawatan medis akut, tim juga menilai kebutuhan sosial, dukungan keluarga, dan menghubungkan pasien dengan layanan aged care atau disabilitas.
Inovasi terbaru di NSW adalah Emergency Hospital in the Home—layanan berbasis mobil dengan dokter dan perawat yang bisa langsung datang ke rumah membawa peralatan medis lengkap (IV therapy, USG portabel, EKG, hingga point-of-care testing). Dalam 2,5 tahun, layanan ini menerima lebih dari 1.300 rujukan, dengan 90% pasien tetap dapat dirawat di rumah. Pasien dan keluarga menyatakan sangat puas karena perawatan diberikan di lingkungan rumah sendiri.
Sesi 3: Creating a virtual hospital without walls by connecting community resources and technology oleh Dr Tzu-Hua Huang, Director, Good Home Clinic (Taiwan Society of Home Health Care), Taiwan
Pembicara dari Taiwan menghadirkan perspektif unik karena berasal dari sebuah klinik komunitas, bukan rumah sakit besar. Huang mendirikan HealthSoul Clinic pada 2020, yang kini memiliki tim 60 orang dan fokus pada perawatan di rumah, rehabilitasi pasca-akut, hingga perawatan terminal. Taiwan menghadapi tantangan besar karena mengalami penuaan populasi tercepat di dunia: 20% penduduk berusia lanjut tetapi menyerap lebih dari 50% anggaran kesehatan.
Program Hospital at Home di Taiwan baru dimulai pada 2023. Dalam enam bulan, 2 ribu pasien terdaftar, dengan hasil positif: lama rawat lebih singkat (40% lebih pendek) dan biaya hanya setengah dari rawat inap di rumah sakit. Namun, tingkat partisipasi masih rendah (25% dari target) karena keterbatasan sumber daya.
Solusi yang dikembangkan adalah pembentukan regional home care support centers yang didukung pemerintah dan asosiasi profesi. Pusat ini menyediakan pelatihan, dukungan on-call 24 jam, logistik, perangkat medis portabel, serta koordinasi antara rumah sakit dan penyedia komunitas.
Kunci lainnya adalah digitalisasi. Taiwan sedang membangun platform data terstandarisasi berbasis FHIR, DICOM, LOINC, dengan integrasi EMR dan perangkat monitoring. Data terstruktur ini memungkinkan penggunaan AI, misalnya untuk optimasi rute kunjungan atau ringkasan catatan medis berbasis suara. Pemerintah akan berinvestasi lebih dari USD 30 juta per tahun selama empat tahun untuk mengembangkan teknologi ini.
Pembicara menutup dengan visi bahwa H@H pada akhirnya bukan sekadar “hospital to home” (dari rumah sakit ke rumah) atau “hospital from home” (berbasis komunitas), melainkan “hospital is home”—layanan kesehatan yang sepenuhnya melebur dengan kehidupan sehari-hari pasien.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
Sesi Paralel II: Staf Experience
(catatan editor: sesi ini merupakan sesi terakhir pada rangkaian patient-staff expereince, dan menampilkan salah satu pembicara yang berasal dari Indonesia, meskipun delegasi peserta Indonesia termasuk yang terbanyak, lebih dari 100 orang, namun hanya ada 2 pembicara yang berasal dari Indonesia, diharapkan di tahun-tahun mendatang akan lebih banyak pembelajaran yang akan berasal dari negara kita)
Sesi 1: Integrating and managing total workplace safety and health: Tan Tock Seng Hospital’s strategic approach oleh Dr Pauline Yong, Director, Operations (Workplace Safety & Health), Tan Tock Seng Hospital, Singapore
Pembicara dari Tan Tock Seng Hospital (TTSH), Singapura memaparkan perjalanan panjang rumah sakit yang telah berdiri sejak 1844 dengan kapasitas 2.500 tempat tidur dan menangani lebih dari 700 ribu kunjungan rawat jalan serta 8 ribu kasus ambulans setiap tahun. Dengan ukuran yang besar dan sejarah panjang dalam penanganan penyakit menular, TTSH menjadi pusat utama pencegahan dan manajemen penyakit infeksi di Singapura.
Sebelum pandemi, sistem keselamatan kerja dan kesehatan di rumah sakit bersifat terpisah-pisah: fasilitas, kesehatan okupasi, komunitas, dan revenue berjalan sendiri-sendiri. Namun pada 2020, ketika COVID-19 merebak, terbentuk Local Safety Council yang menyatukan semua pihak. Krisis tersebut menekankan pentingnya resource management non-finansial, khususnya tenaga kerja, serta perlunya pergeseran mindset dari melihat staf hanya sebagai karyawan menjadi melihat mereka sebagai bagian dari workforce yang harus dijaga.
Tantangan besar muncul terkait penggunaan APD, terutama masker. Rumah sakit harus membuat keputusan cepat: apakah menyediakan untuk semua staf, termasuk tenaga kontrak, atau hanya sebagian. Hasilnya, TTSH mengedepankan prinsip “workforce safety first” dengan kalibrasi berbasis risiko. Rumah sakit juga memperkuat sistem pemantauan siapa saja yang masuk dan keluar area rumah sakit, serta memperkenalkan program staff protection yang melibatkan kontrak formal dengan vendor penyedia tenaga.
Selain itu, TTSH membentuk Office for the Protection of Employees (OPE) untuk menangani isu kekerasan di tempat kerja, termasuk pelecehan verbal maupun fisik yang sering dialami staf medis. Pendekatan yang dilakukan antara lain memberikan written reminder kepada pelaku, bahkan jika pasien atau keluarga melakukan pelecehan, untuk menekankan bahwa tindakan tersebut mengganggu keselamatan staf dan kualitas layanan.
Strategi lain yang diperkenalkan adalah penggunaan model CREST: Cultivating a Culture of Safety; Risk stratification; Engagement; Surveillance; Training. Pendekatan ini menekankan bahwa setiap staf, dari yang paling junior hingga senior, memiliki peran dalam keselamatan kerja. Melalui survei berkala setiap enam bulan, terlihat peningkatan resiliensi staf dan keterlibatan dalam membangun lingkungan kerja yang lebih aman. Dengan kata lain, krisis COVID-19 menjadi katalis untuk membangun budaya keselamatan yang lebih terintegrasi di TTSH.
Sesi 2: Using wellness as a business strategy to increase hospital staff productivity oleh Dr Jack Pradono, CEO, RS Islam Jakarta Cempaka Putih, Indonesia
Presentasi oleh CEO RS Islam Jakarta ini menyoroti bagaimana wellness program dijadikan strategi bisnis untuk meningkatkan produktivitas staf rumah sakit. Latar belakangnya, sejak menjabat pada 2020, CEO melihat masalah serius: banyak dokter dan perawat mengalami obesitas, kelelahan, stres, pola makan buruk, dan gaya hidup tidak sehat, meski mereka bekerja di sektor kesehatan.
Melalui pemeriksaan kesehatan tahunan, ditemukan pola bahwa semakin tinggi jabatan staf, semakin meningkat pula masalah obesitas dan penyakit metabolik (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi). Kondisi ini berdampak pada kehilangan dokter spesialis produktif di usia muda karena penyakit yang dapat dicegah.
Untuk mengatasi hal tersebut, RS Islam Jakarta meluncurkan program wellness dengan fokus pada lima aspek: stress management; sleep quality; sports/exercise; sustenance (pola makan sehat); smoking reduction. Program ini menargetkan 10% staf dengan obesitas tertinggi, memberikan fasilitas seperti: konseling gizi dan pendampingan oleh nutrisionis; penyediaan makanan sehat dari kantin (menggantikan uang makan tunai); olahraga kelompok wajib dua kali seminggu; monitoring berat badan dan KPI mingguan; kompetisi antar tim dengan sistem penghargaan; grup Whatsapp untuk pendampingan harian dan peer pressure positif.
Hasilnya cukup signifikan: dalam 30–90 hari, peserta mengalami rata-rata penurunan berat badan 2,6 kg, penurunan BMI, serta peningkatan kualitas tidur dan energi. HR mencatat peserta program lebih jarang sakit dan memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. CEO menekankan bahwa dengan kesejahteraan staf, maka produktivitas meningkat, pelayanan pasien membaik, dan pada akhirnya berdampak pada kinerja bisnis rumah sakit.
Sesi 3: Integrating safety, efficiency, and sustainability in modern healthcare workforces, oleh
Dr Jasperine Ho, Former Medical Director, Medical Innovation & Technology, CUHK Medical Centre, Hong Kong
Dr. Jasperine Ho, mantan Medical Director, Medical Innovation and Technology, CUHK Medical Center (Hong Kong), membagikan pengalaman membangun rumah sakit dengan pendekatan keselamatan, efisiensi, dan keberlanjutan sejak awal berdiri.
Hong Kong menghadapi krisis tenaga kesehatan: meningkatnya permintaan akibat penuaan populasi dan penyakit kronis, sementara terjadi ketidakseimbangan antara sektor publik (menangani 70–90% pasien rawat inap) dan sektor privat. CUHK Medical Center hadir sebagai jembatan dengan model unik: rumah sakit privat milik universitas publik, yang menawarkan layanan dengan harga transparan, cepat, dan aman.
Sejak awal, tim perencana bertanya: “Bagaimana jika kita tidak hanya membangun rumah sakit baru, tapi rumah sakit yang lebih pintar, hijau, dan humanis?” Hasilnya, dibangunlah infrastruktur modern berbasis digital dan keberlanjutan, namun tetap menekankan budaya (culture) dan perilaku (behavior) staf.
Dr. Ho menjelaskan kerangka 360-star complex dengan tiga pilar utama: 1) Trust, respect, and inclusion agar semua staf (profesor, perawat senior, porter, staf umum) mempunyai suara yang didengar; 2) Cultural ambassadors untuk membangun transparansi, pembelajaran, dan akuntabilitas; 3) Continuous improvement melalui daily huddles di tiap departemen, dashboard kinerja, serta menjadikan pembelajaran sebagai DNA organisasi.
Selain budaya, dibangun pula operating system yang meliputi: proses standar berbasis clinical pathways agar perawatan bisa diprediksi dan diajarkan; keterlibatan pasien dan keluarga dalam rapat dewan, serah terima pasien, hingga keputusan klinis; Star Contracts untuk membangun kesepakatan non-legal yang menegaskan akuntabilitas tim manajemen dan staf untuk menjaga keselamatan, kualitas, dan keberlanjutan.
Dalam strategic workforce planning, CUHK Medical Center memanfaatkan afiliasi dengan Chinese University of Hong Kong untuk berbagi tenaga spesialis, serta mengembangkan riset bersama para start-up teknologi, termasuk AI. Hal ini membuat rumah sakit menarik bagi talenta baru. Presentasi ditutup dengan penekanan Dr. Ho bahwa integrasi culture, system, dan sustainability tidak datang otomatis, tapi memerlukan konsistensi, keberanian, serta dukungan top manajemen.
Sesi 4: Beyond Compliance: Leadership-driven safety culture in hospitals oleh Dr Kumaran Krishnan, Head of Unit (Occupational Safety and Health), Hospital Kuala Lumpur, Malaysia
Pembicara dari HKL yang mmemiliki 12.500 staf dengan 56 departemen dibuka dengan pernyataan pentingnya kepemimpinan rumah sakit dalam membangun budaya keselamatan dan kesejahteraan staf. Lebih lanjut, Kumaran menyampaikan bahwa keselamatan staf tidak bisa hanya berbasis regulasi (compliance), tetapi harus ditanamkan sebagai budaya (culture).
Direktur rumah sakit harus memberi contoh nyata kepemimpinan dengan: mempublikasikan laporan setiap 100 hari dengan indikator utama kesejahteraan staf; turun langsung ke lapangan, misalnya ke IGD saat penuh, untuk melihat situasi staf; dan memimpin rapat Occupational Safety and Health (OSH) dan clinical governance round secara rutin. Pendekatan ini berhasil membangun kepercayaan bahwa staf diperhatikan, sehingga berdampak pada peningkatan kualitas layanan pasien.
Beberapa inisiatif utama yang dijalankan antara lain: klinik khusus staf (melayani 100–120 staf per hari) dengan program imunisasi, screening, dan layanan kesehatan kerja; sistem QR code untuk melaporkan masalah langsung ke tim OSH dan manajemen; pelatihan keselamatan kerja yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan (dokter, lab staff, perawat); audit keselamatan rutin, dengan pendekatan kolaboratif sehingga staf nyaman menyampaikan masalah.
Pesan utama dari sesi ini adalah bahwa kepemimpinan aktif direktur rumah sakit—dengan turun langsung, mendengar, dan menindaklanjuti—menjadi faktor kunci terciptanya budaya keselamatan, kesejahteraan staf, serta kualitas layanan pasien.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
LEADERSHIP SUMMIT Medical Tourism
Sesi ini membahas Medical Tourism yang di masa pasca COVID-19 menjadi industri dengan perkembangan sangat pesat.
Sesi diawali dengan presentasi tentang Healthcare without borders: Expanding Access to Quality care in a connected world, oleh Dr. Kamal Amzan, CEO IHH Health Care Malaysia. Hal ini dinyatakan bahwa Malaysia sudah berhasil menjadi tujuan medical tourism global dengan CAGR post COVID-19 sebesar 78%. Dengan rasio 20.1 tempat tidur per 10.000 penduduk, pemerintah Malaysia tidak ragu-ragu untuk mencanangkan medical tourism sebagai kebijakan nasional. Pada 2024, terdapat 1.6 juta medical tourist yang mengunjungi Malaysia dengan pertumbuhan sekitar 16-17%. Menariknya sekitar 65% pengunjung berasal dari Indonesia, 4.8% dari Tiongkok, 3.1% dari India, 2.3% dari Singapura, dan 24.3% dari negara-negara lainnya. Medical Tourism terutama dikerjakan oleh RS-RS swasta di Malaysia dengan dukungan klinisi yang terlatih dari Inggris, Irlandia, dan Australia. Kemudian, untuk pelayanan kesehatan masyarakat Malaysia banyak dilakukan oleh RS pemerintah secara gratis. Terdapat kebijakan pembebasan visa, dengan dukungan staf yang multietnik. IHH group mempunyai market share sebesar 25% dari Medical Tourism di Malaysia. Kinerja ini didukung oleh pelayanan klinis yang excellence melalui monitoring mutu yang ketat. IHH juga mulai menerapkan prinsip Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) dan efisiensi pelayanan. Lebih dari 98% pasien puas.
Gambaran berbeda disampaikan pembicara dari Jepang. Paper-nya berjudul: How Japan unique approach to medical tourism bridges culture and care in patient journeys.
Chie Igarashi, Project Manager, International Medical Centetr. The University of Tokyo Hospital Japan bersama Hiroe Kayanagi, Ass. Prof. Fujita Health University menyampaikan bahwa medical tourism di Jepang dilakukan dengan prinsip seimbang antara memenuhi kebutuhan pelayanan dalam negeri dengan pasien dari luar negeri. Hal yang tidak boleh terjadi ada terlalu banyak pelayanan untuk pasien asing yang mengurangi akses warga Jepang untuk pelayanan di daerah masing-masing. Ada RS privat dan nasional yang menyelenggarakan pelayanan internasional. Untuk RS nasional (pemerintah) memang saat ini sedang mengalami dilema. Berada dalam posisi mengalami kerugian yang trennya terus meningkat. Untuk itu dibutuhkan pasien-pasien luar negeri untuk meningkatkan pendapatan dengan catatan tidak boleh mengganggu pelayanan dalam negeri, juga harus tetap mengacu ke prinsip Universal Health Coverage. Caranya dengan menggunakan jembatan berupa partner, Medical Travel Assistance Companies. Merekalah yang bertugas membawa pasien-pasien luar negeri. Untuk itu sistem penetapan hargapun dirancang agar dapat dijangkau oleh pasien dari luar negeri.
Artirat Charukitpipat, CEO, Bumrungrad International Health membawakan paper yang berjudul: The next frontier: Integrating clinical care, wellness and digital health. RS Bumrungrad di Bangkok mempunyai prinsip bahwa RS tidak hanya untuk merawat orang sakit. RS saat ini juga untuk mengembangkan longevity yang berkualitas. Dengan perkembangan teknologi digital pelayanan clinic and wellness dapat dilakukan secara selaras. Dinding-dinding pemisah dirobohkan agar terjadi pelayanan yang mulus.
Di dalam RS adalah unit Vitallife yang mengembangkan preventive care. Informasi di Phuket yang dapat diklik di sini: klik informasi
Jalur ke masa depan adalah konvergensi antara pencegahan, penanganan klinik dan personalisasi. Silo-silo antara penanganan klinik dan wellness, serta dengan kemajuan teknologi akan dihubungkan dengan bantuan teknologi digital.
Reporter:
Laksono Trisnantoro (UGM)
Tags: SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 9: Industri, Inovasi dan Infrastruktur