Reportase
Workshop Pembahasan Instrumen Workload Indicator Staff Need (WISN) dan Lingkungan Kerja yang Aman di Fasilitas Kesehatan Selama Pandemi COVID-19
Pada Rabu (16/06/2021) telah diselenggarakan “Workshop Pembahasan Instrumen Workload Indicator Staff Need (WISN) dan Lingkungan Kerja yang Aman di Fasilitas Kesehatan Selama Pandemi COVID-19”. Acara berlangsung pukul 09.00 – 16.00 WIB di The Grove Suite Hotel, Jakarta dan disiarkan melalui zoom meeting. Workshop ini merupakan hasil kerja sama antara Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM dengan Direktorat Kesehatan Kerja dan Olah Raga (Kesjaor) Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO) Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan kajian penilaian beban kerja tenaga kesehatan di Indonesia dan lingkungan kerja yang mendukung selama pandemi COVID-19. Harapannya hasil akhir dari kajian ini dapat dijadikan sebagai masukan kebijakan untuk meningkatkan upaya perlindungan tenaga kesehatan. Workshop dihadiri oleh Kementerian Kesehatan, WHO, tim PKMK UGM, konsultan, asosiasi organisasi profesi, praktisi, universitas, RS, dan asosiasi RS.
Sesi 1 – Sambutan
drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH (Kasubdit Okupasi dan Surveilans, Dit. Kese.hatan Kerja dan Olahraga)
Dalam sambutannya, Dyah menyampaikan bahwa dalam situasi pandemi COVID-19 ini diperlukan ketahanan kesehatan termasuk sumber daya manusianya karena SDM Kesehatan merupakan garda pertahanan terkahir, bukan terdepan, dalam mengatasi pandemi ini. Oleh karena itu, Dit Kesjaor bekerja sama dengan PKMK UGM dan WHO mengadakan kajian penilain beban kerja tenaga kesehatan lingkungan kerja yang mendukung selama pandemi COVID-19. Ini merupakan studi yang sudah dilakukan secara global menggunakan WISN tool. Mengingat kajian ini sudah dilakukan di berbagai negara, maka Indonesia juga akan melakukan kajian dengan tool ini agar kajian dapat dilaksanakan secara objektif dengan metode yang terstandar. Tentunya nanti aka nada penyesuaian – penyesuaian sesuai dengan keadaan di Indonesia. Kegiatan ini merupakan peluang yang sangat baik terkait dengan situasi dan kondisi beban kerja nakes di negara kita. Seperti kita ketahui bahwa nakes banyak terdampak pandemi dengan tingkat kematian di tingkat nakes lebih tinggi dari pada di tingkat komunitas, sebanyak 10% dan sekitar 2% secara berturut – turut. Kegiatan ini harapannya dapat menyepakati instrument kajian yang nantinya akan digunakan dalam pelaksanaan asesmen beban kerja nakes di Indonesia. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan Kesehatan oleh kemenkes, kementerian lain, dan lembaga terkait.
Riskiyana Sukandhi Putra, M.Kes (Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga)
Riskiyana memaparkan bahwa saat ini kita menghadapi situasi yang sulit dan dapat menyebabkan peningkatan beban kerja tenaga kesehatan, baik yang bekerja di pelayanan maupun manajerial. Masyarakat juga mengalami beban tekanan secara psikologis karena banyaknya pembatasan – pembatasan. Sementara keadaan ekonomi juga belum membaik. Hal ini menyebabkan akses terhadap fasilitas – fasilitas kesehatan menurun. Angka fatalitas dalam pandemi ini lebih tinggi dari pada saat kondisi normal. Apalagi dengan varian – varian baru yang akan memungkinkan terjadinya penularan yang lebih luas sehingga fatalitas semakin besar. Dengan kejadian ini, faskes dengan BOR tinggi, maka pengukuran beban kerja ini semakin penting. Ada dua hal yang sangat penting, disatu sisi kita perlu mengukur beban kerja nakes selama pendemi, di sisi lain ada hal – hal emergensi yang juga harus ditangani. Sebagai salah satu upaya mengatasi masalah beban kerja ini, Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga bekerja sama dengan WHO dan PKMK UGM mengadakan analisis beban kerja. Selain itu, Kesjaor bersama dengan Universiatas Indonesia (UI) dan organisasi profesi juga menyusun hospital safety index.
Leo (WHO Indonesia)
Leo menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kerja sama antara WHO dan Kesjaor dalam rangka meningkatkan country covid response. Beban kerja dan lingkungan kerja selama pandemi ini memang menjadi sesuatu yang perlu untuk sangat diperhatikan. Sebagaimana kita tahu bahwa nakes kita selain meningkat beban kerjanya, juga mengalami burn out. Nakes kita tidak hanya mengalami double burden selama pandemi bahkan triple burden. Mereka selain harus mengerjakan pelayanan kesehatan esensial di fasilitas kesehatan, melakukan 3T COVID-19, juga membantu pelaksanaan vaksinasi COVID-19. Kita apresiasi kemenkes yang sudah benar – benar mengupayakan prioritas vaksinasi COVID-19 untuk nakes. Namun, jika kita lihat selama 2 – 3 minggu belakangan ini seperti kasus di Kudus, Jawa Tengah, bahwa kasus nakes yang terjangkit COVID-19 mulai naik lagi. Hal ini yang perlu kita lihat, apakah karena protokolnya, kelelahan nakes, tempat kerja, ataupun varian – varian baru. Disini kita perlu melihat beban kerja mereka dan bagaimana lingkungan kerja mereka dapat mendukung para nakes. Harapannya kegiatan kajian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan terkait Kesehatan kerja nakes.
Sesi 2 – Pemaparan Materi
Asesmen risiko morbiditas dan mortalitas COVID-19 pada tenaga dokter
Dr. dr. Telly Purnamasari A, M.Epid (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan)
Telly menjelaskan tentang hasil assessment resiko morbiditas dan mortalitas COVID-19 pada tenaga dokter. Assesment ini dilakukan berdasarkan pada kesesuaian pedoman standar perlindungan dokter di era pandemic, risiko morbiditas tenaga dokter puskesmas, pola kematian dokter meninggal akibat COVID-19, dan potensi lokasi penularan COVID-19 di rumah sakit. Hasil assessment risiko morbiditas tenaga dokter puskesmas menunjukkan bahwa dokter puskesmas manangani 5 pasien COVID-19 per hari, 73% diantaranya memberikan pelayanan secara tatap muka langsung. Meskipun telah di dukung dengan alat pelindung diri seperti sarung tangan sekali pakai, masker N95, face shield, gown, apron, dan mengganti APD sesuai protokol namun tidak semuanya menggunakan dan mamatuhi pemakaiannya sesuai protokol penanganan COVID-19. Selain itu, sebagai besar puskesmas telah melakukan mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien, sebelum dan sesudah melakukan prosedur aseptik, sesudah menyentuh benda di sekitar pasien tetapi kurang patuh melakukan dekontaminasi permukaan benda yang disentuh. Sebagian besar dokter puskesmas mengalami kelelahan fisik dan mental yang terjadi 1 – 2 hari kerja dalam seminggu dan hanya 6% yang mengalami kelelahan setiap hari.
Hasil assessment pola kematian dokter menunjukkan pola kematian tenaga dokter lebih banyak terjadi pada umur 50 tahun ke atas yang terjadi pada laki – laki. Umumnya dokter yang terpapar COVID-19 dirawat 1 – 7 hari dengan DM dan Hipertensi sebagai komorbid yang mendominasi kematian. Selain itu, masih ada kematian dokter dengan diagnose COVID-19 unconfirmed. Dokter juga bekerja antara 12 sampai 24 jam dalam sehari. Tentunya menyebabkan kelelahan kerja.
Workload indicators of staffing need (Indikator Beban Kerja untuk kebutuhan staf)
Dr. Mollent Okech (International Consultant for WISN)
Di sesi ini, Mollent menyampaikan bahwa SDM Kesehatan saat ini tidak memadai untuk sistem kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Distribusi nakes juga tidak merata dan terdapat perbedaan di daerah perkotaan dan pedesaan dan juga antara layanan primer, sekunder dan tersier. Komitmen global seperti layanan kesehatan primer dan SDGs/UHC memerlukan perubahan dalam keterampilan staf. Selain itu, meningkatnya kompleksitas sistem kesehatan menjadi tantangan manajemen baru, terlebih dengan adanya tuntutan klien yang semakin tinggi dan munculnya kondisi baru. Hal ini menjadi factor pentingnya dilakukan penilaian beban kerja nakes, terlebih pada masa pandemi ini.
Tool asesmen beban kerja yang dikeluarkan oleh WHO dan sudah digunakan di berbagai negara adalah WISN yang merupakan singkatan dari Workload Indicators of Staffing Need. WISN adalah metode berbasis fasilitas yang menggunakan standar beban kerja dan aktivitas (waktu) petugas kesehatan untuk menentukan kebutuhan staf. Metode ini memperhitungkan perbedaan layanan yang diberikan dan kompleksitas perawatan di fasilitas yang berbeda. Perhitungan WISN untuk kebutuhan staf didasarkan pada standar medis yang sama di semua fasilitas serupa. WISN dapat dipakai untuk semua staff baik klinis maupun non klinis. Secara garis besar, ada 8 langkah utama dalam proses WISN, yaitu mobilisasi komitmen untuk studi WISN, menentukan tujuan dan fokus, merancang strategi implementasi, membuat rencana operasional dan budget, menyiapkan grup implementasi, orientasi dan pelatihan grup implementasi, validasi hasil WISN, dan menggunakan hasil WISN.
Hasil studi menggunakan WISN dapat digunakan untuk membuat beberapa jenis keputusan, antara lain untuk menentukan cara terbaik untuk meningkatkan situasi staffing/kepegawaian saat ini, membantu menentukan cara terbaik untuk menetapkan fungsi baru dan memindahkan fungsi yang ada ke kader tenaga kesehatan yang berbeda. Selain itu, perhitungan WISN dilakukan berdasarkan standar professional saat ini dalam melakukan pekerjaan tertentu sehingga memungkinkan kita untuk melihat saat ini di fasilitas mana yang memiliki kinerja professional yang lebih rendah dibandingkan dengan fasilitas lain. Kegunaan lainnya yaitu untuk perencanaan tenaga kesehatan di masa depan, dan untuk menguji dampak berbagai kondisi pekerjaan pada kebutuhan staf, termasuk perubahan lama minggu kerja, penambahan cuti atau kebijakan pelatihan dalam pelayanan yang berbeda.
The New Era of Provider Safety & Productivity
Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes., MAS (Direktur PKMK FK-KMK UGM)
Andreasta mengatakan bahwa hazard rasio tenaga Kesehatan itu 11.68 kali dibandingkan populasi, jadi tinggi sekali. Terutama jika kita adjust untuk usia diatas 56 tahun. Umur di grup tertentu memiliki risiko yang tinggi. Tenaga Kesehatan di seluruh dunia mengalami peningkatan terkait angka kematian. Dengan drop out-nya (misal, sakit, meninggal) nakes dari sistem pelayanan, maka beban kerja nakes semakin meningkat. Hal ini menyebabkan rasio nakes terhadap pasien menjadi meningkat beberapa kali lipat. Jika kita tidak menghitung beban kerja dan tidak memperhatikan work safe environment, maka siklus ini akan terus berjalan. Maka yang meninggal akan semakin banyak dan rasio nakes terhadap pasien juga semakin tinggi.
Mengapa penting menghitung workload? Banyak artikel menunjukkan bahwa occupational itu merupakan eksposur yang tinggi. Semakin lama nakes bekerja di RS dengan berbagai macam aktivitasnya, maka risiko terpapar juga akan semakin tinggi. Kualitas kerja juga perlu dipertimbangkan. Kita perlu melihat bagaiman kondisi dan beban kerja akan mempengaruhi kesehatan mental nakes.
Sesi 3 – Pembahasan Instrumen
Instrumen WISN
Faisal Mansur, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
Instrumen yang akan digunakan dalam studi ini ada 2 yaitu WISN dan safe environment. Pembahasan pertama mengenai instrument WISN disampaikan oleh Faisal. Instrumen WISN dikenalkan pada dasar penggunaan, beberapa studi sebelumnya, hingga bentuk instrumennya. Model instrumen sendiri terdiri dari bentuk yaitu secara manual dan aplikasi khusus yang telah dikembangkan oleh WHO. Secara manual, instrument WISN ini akan lebih mudah diadaptasi karena menyesuaikan dengan kebutuhan dan fakta yang terjadi di lapangan. Sedangkan instrument dalam bentuk aplikasi lebih rigid dan sudah memiliki standar unit kegiatan yang lebih susah dimodifikasi.
Beberapa masukan dan pertanyaan dilontarkan oleh para peserta yang hadir dalam kegiatan ini. Diantaranya perhatian pada saat pengambilan data untuk memberikan kontrol yang baik sebab beberapa pengalaman di beberapa rumah sakit memiliki waktu kegiatan yang berbeda – beda dengan standar berbeda sehingga pengambilan data bisa menjadi kurang akurat. Selain itu antisipasi dapat dilakukan dengan meminta SOP sebelumnya pada faskes bersangkutan sebagai rujukan dalam pengambilan data.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memasukkan variabel lingkungan kerja yang mendukung, misalnya berapa banyak layanan diberikan, jumlah pasien dilayani, hingga perlatan yang mendukung kinerja tenaga kesehatan. Penelitian ini juga tidak akan mengeneralisir situasi layanan di rumah sakit, sebab karakteristik, kebijakan dan beberapa alasan lain yang tidak bisa diabaikan dalam analisa lebih lanjut.
Instrumen Lingkungan yang Aman di Fasilitas Kesehatan Selama Pandemi COVID-19
Sandra Frans, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Sandra terkait instrumen lingkungan yang aman di fasilitas kesehatan selama pandemi COVID-19. Instrumen ini diterbitkan oleh WHO pada Oktober 2020 untuk memastikan fasilitas Kesehatan yang menangani COVID-19 dapat memberikan lingkungan yang aman untuk pasien dan staf. Selain itu instrumen ini juga penting untuk memantau kapasitas struktural fasilitas dalam memastikan manajemen kasus COVID-19 yang aman, sambal tetap memberikan layanan kesehatan penting lainnya, dan memungkinkan perencanaan lonjakan. Alat peniliaian ini mencakup aspek – aspek sebagai berikut: sebaran wilayah, ketersediaan area ruangan versus perkiraan jumlah hunian, arus untuk pasien dan staf, kebutuhan ventilasi per area tertentu, area pengunjung, dan alur pengunjung serta kapasitas lonjakan. Tools ini berfokus pada kesiapan, respons dan pemeliharaan respons terhadap COVID-19 di pusat perawatan COVID-19, fasilitas layanan Kesehatan dengan bangsal/area khusus COVID-19, dan fasilitas komunitas untuk kasus ringan dan sedang. Instrumen ini berfokus pada tindakan pengendalian lingkungan yang merupakan bagian dari hierarki PPI.
Pada sesi diskusi banyak masukan dari peserta workshop. Dari PERDOSKI mengusulkan untuk mempertajam bagian instrumen untuk membedakan antara kesiapan, respon maupun maintenance response. Selain itu perlu ada kejelasan dalam metodologi pengambilan data agar memastikan proses yang terstandar. Masukan lain dari PERSI adalah untuk juga merujuk pada hasil penilaian Hospital Readiness Checklist yang juga telah dilakukan oleh Kemenkes. Usul dari WHO Indonesia adalah untuk memasukan bagian psikososial yang dialami oleh tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan dalam kajian ini. Tim peneliti menyambut baik masukan dari partisipan dan akan mencoba sebaiknya untuk mengakomodir hal – hal di atas. Tim peneliti juga menekankan bahwa timbal balik seperti ini adalah awal yang baik untuk memastikan bahwa proses kajian ini bisa diketahui dan diikuti oleh aktor – aktor yang terkait untuk mendukung dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti.
Setelah sesi diskusi berakhir, workshop ditutup dengan pembentukan Community of Practice (CoP) dalam kegiatan kajian WISN dan Safe Environment. Anggota CoP tidak terbatas pada para undangan yang hadir dalam kegiatan workshop, namun terbuka untuk semua pihak yang ingin bergabung dan berpartisipasi. Website CoP dapat diakses melalui http://manajemenrumahsakit.net/cop-nakes/. Dalam website tersebut terdapat menu-menu yang berisi overview, agenda kegiatan, arsip, anggota, referensi, kontak, dan cara mendaftar menjadi anggota CoP.
Reporter: Candra, Faisal Mansur, Sandra Frans, dan Widy Hidayah (PKMK)
Mohon share materinya. Terutama tool WISN and safe enviroment. manual dan aplikasinya.
Terima kasih
Untuk aplikasi dan panduannya bisa melalui link berikut pak Ahmad
https://www.who.int/workforcealliance/knowledge/toolkit/17/en/