Pandemi COVID-19 dan Memburuknya Angka Pekerja Anak:
Timpangnya Sistem Kesehatan dan Perlindungan Sosial
Community of Practice for Health Equity
Child labor atau pekerja anak adalah salah satu bentuk eksploitasi anak dan merupakan pelanggaran hak – hak anak. Berdasarkan survei dari ILO bersama Badan Pusat Statistik pada 2009, ditemukan bahwa sekitar 38 persen anak di Indonesia bekerja kurang dari 16 jam per minggu, 31 persen antara 16 – 30 jam, 10 persen antara 31 – 40 jam dan 21 persen lebih dari 40 jam per minggu. Pekerja anak sangat berdampak terhadap kesejahteraan dan masa depan anak. Maka dari itu, penghapusan pekerja anak sangat penting untuk dicapai. Berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs), negara – negara yang tergabung dalam United Nations menargetkan akan menghapuskan pekerja anak pada 2025. Jumlah pekerja anak di seluruh dunia telah menurun drastis selama dua dekade terakhir, yaitu hampir mencapai 40 persen. Namun, dengan adanya perubahan kondisi pada pandemi COVID-19, jumlah pekerja anak di seluruh dunia terancam meningkat drastis.
Pekerja anak disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kemiskinan, norma sosial yang permisif terhadap pekerja anak, kurangnya kesempatan kerja yang layak bagi orang dewasa dan remaja, migrasi, dan keadaan darurat. Ketidakpastian kondisi pada pandemi COVID-19 menyebabkan hilangnya pendapatan rumah tangga dan meningkatkan tingkat kemiskinan, sehingga anak – anak dari keluarga dengan kondisi sosioekonomi yang kurang terpaksa berkontribusi secara finansial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kenaikan satu poin persentase dalam kemiskinan menyebabkan setidaknya peningkatan 0,7 persen pekerja anak. COVID-19 tidak hanya menyebabkan peningkatan jumlah pekerja anak saja, tetapi juga mendorong anak – anak untuk bekerja lebih lama atau dalam kondisi yang lebih buruk. Ketidaksetaraan gender juga dapat menjadi lebih parah dalam keluarga. Banyak anak perempuan di dunia dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah lebih dan dieksploitasi untuk bekerja di bidang agrikultur dengan upah yang rendah.
Selain faktor ekonomi, penutupan mayoritas sekolah di seluruh dunia juga meningkatkan pekerja anak. Peniadaan kegiatan sekolah dan akses tidak merata terhadap pembelajaran jarak jauh secara daring memberi kesempatan bagi keluarga yang terdampak COVID-19 untuk mengalokasikan waktu anak – anak dengan cara lain, diantaranya dengan memperkerjakan anak. Beberapa anak juga berinisiatif untuk putus sekolah karena keadaan dan memilih untuk bekerja, meskipun pekerjaan yang tersedia bagi mereka berupah rendah dan berbahaya. Pemberhentian pendidikan anak sangat berdampak pada kualifikasi mereka di masa depan saat ingin mencari pekerjaan formal. Beberapa anak dapat melanjutkan pendidikan mereka kembali setelah krisis pandemi berakhir, namun beberapa lainnya mungkin tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan.
Faktor lain yang berdampak pada peningkatan pekerja anak adalah ketimpangan sistem kesehatan dan perlindungan sosial. Banyak keluarga yang tetap terpaksa bekerja selama pandemi ini dan meningkatkan risiko mereka terjangkit penyakit. Biaya kesehatan yang mahal menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga-keluarga yang salah satu anggotanya jatuh sakit. Terlebih lagi, di saat orang dewasa yang menjadi tulang punggung keluarga sakit atau meninggal, maka anak-anak terpaksa untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan mereka dan keluarga. Adapun anak perempuan dapat mengambil peran yang lebih besar dalam merawat anggota rumah tangga yang sakit.
Pekerja anak menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kesejahteraan anak, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Anak – anak yang bekerja tidak dapat berkembang dengan baik sesuai tahap perkembangan anak normal karena pekerja anak mengganggu sekolah dan berbahaya bagi perkembangan fisik, mental, sosial dan/atau moral anak. Sedangkan secara jangka panjang, pekerja anak memperkuat kemiskinan antar generasi dan mengancam kualitas sumber daya manusia yang merupakan salah satu tonggak ekonomi nasional.
Untuk menanggulangi peningkatan dari pekerja anak selama pandemi COVID-19, diperlukan intervensi yang dirumuskan dalam kebijakan pemerintah. Beberapa intervensi terpenting meliputi (1) memberikan bantuan keuangan bagi keluarga yang paling terpukul oleh krisis; (2) menyediakan lapangan pekerjaan yang layak untuk orang dewasa dan mengalokasikan uang pensiun, cuti sakit, asuransi pengangguran, dan melindungi hak pekerja; (3) memastikan sekolah dasar dan menengah benar – benar gratis dan membangun rencana untuk membuka kembali sekolah termasuk bagi anak – anak yang tinggal di daerah rural; (4) mencari cara inovatif untuk memantau pekerja anak, termasuk pelaporan jarak jauh, untuk meminta pertanggungjawaban pemberi kerja pekerja anak.
Anak – anak adalah masa depan bangsa. Oleh karena itu, hak-hak mereka untuk berkembang secara layak harus diperjuangkan. Krisis pandemi ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengeksploitasi anak. Marilah kita membangun dunia yang lebih indah bagi anak – anak bangsa dan anak – anak di seluruh dunia. (Giovanna Renee Tan)
Referensi
Badan Pusat Statistik dan International Labour Organization. (2010). Pekerja Anak di Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik. Dari: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf (Diakses pada: 26 September 2020).
Human Rights Watch. (2020). Covid-19 Pandemic Threatens Progress on Child Labor. Dari: https://www.hrw.org/news/2020/06/12/covid-19-pandemic-threatens-progress-child-labor (Diakses pada: 26 September 2020).
International Labour Organization and United Nations Children’s Fund. (2020). COVID-19 and Child Labour: A time of crisis, a time to act. New York: ILO and UNICEF.
International Labour Organization and United Nations Children’s Fund. (2020). COVID-19 may push millions more children into child labour. Dari: https://www.unicef.org/press-releases/covid-19-may-push-millions-more-children-child-labour-ilo-and-unicef (Diakses pada: 26 September 2020).
Lokadata.ID. (Agustus 2020). Pekerja anak di Indonesia masih jauh dari nol. Dari: https://lokadata.id/artikel/pekerja-anak-di-indonesia-masih-jauh-dari-nol (Diakses pada: 26 September 2020).