Community of Practice for Health Equity
Jaminan Kesehatan Nasional dan Keadilan dalam Kesehatan di Masa Pandemi
Iuran BPJS Kesehatan akan Dinaikkan Kembali Mulai 1 Juli 2020
Pada 2019, presiden membuat kebijakan untuk menaikkan iuran BPJS dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Kenaikan tersebut terjadi tidak tanpa protes dari masyarakat. Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) adalah salah satu dari kelompok dari masyarakat yang merasa jika perubahan tersebut membebani warga secara finansial. Dalam upaya untuk menurunkan iuran BPJS, KPCDI menggugat pemerintah atas kebijakan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Alhasil, pada 31 Maret 2020, MA menerima gugatan yang diajukan dan membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang mendasari kenaikan iuran tersebut. Dua bulan dari pembatalan, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 yang menaikkan kembali nominal iuran BPJS.
Menanggapi kebijakan baru yang diterbitkan pada 5 Mei 2020, sekjen KPCDI Petrus Hariyanto mengatakan, “KPCDI melihat hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA tersebut”. Walau kenaikan tersebut hanya berlaku pada kelas I dan II, mulai dari tahun 2021, kelas III juga akan dikenakan kenaikan iuran BPJS walau tidak sebesar persentase kelas yang lainnya.
Jalan Tengah
Berbagai pihak dari pemerintah telah memberikan pernyataan bahwa perubahan dilakukan untuk memastikan jaminan kesehatan dapat mencakup semua warga dan dapat dijalankan secara berkesinambungan. Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa Dasa mengatakan bahwa jika mengikuti perhitungan aktuaria, besaran iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) mandiri kelas I bisa mencapai Rp. 286,000, kelas II mencapai lebih dari Rp 184.000, dan kelas III Rp. 137,000. Akan tetapi, pemerintah tidak menetapkan besaran tersebut dan lebih disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
Disisi lain, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang salah satu ketentuannya mengatur mengenai besaran iuran akan membuat pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak defisit pada tahun 2020. Fachmi menerangkan BPJS Kesehatan menanggung tunggakan klaim ke rumah sakit untuk tahun anggaran 2019 yang dibebankan pada tahun 2020 sebesar Rp. 15.5 triliun. Fachmi menjelaskan kewajiban pembayaran klaim tersebut perlahan-lahan telah dilunasi oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit hingga tinggal menyisakan utang yang jatuh tempo sebesar Rp. 4.8 triliun. Dirut BPJS Kesehatan menerangkan apabila pemerintah tidak menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang memperbaiki struktur iuran peserta, dikhawatirkan bisa terjadi defisit keuangan pada BPJS Kesehatan yang akan berdampak pada keberlanjutan program JKN-KIS. Selain itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika ada peserta PBPU dan BP kelas I dan II yang merasa keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, peserta tersebut bisa turun kelas menjadi peserta kelas III.
Menurut pemerintah, prinsip BPJS adalah gotong royong, yang mampu menolong yang tidak mampu dan yang muda menolong yang tua, serta yang sehat mampu menolong yang sakit. Jadi dengan struktur ini tentu saja masyarakat tidak mampu akan sangat terbantu untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan mereka yang mampu diberi beban yang lebih tinggi sedikit. Namun apakah kenaikan iuran BPJS tersebut sudah sesuai dengan prinsip keadilan dalam kesehatan?
Pada 2014, World Report on Knowledge for Better Health mendefinisikan keadilan dalam kesehatan sebagai prinsip dari bersikap adil kepada semua orang, dengan mengacu pada serangkaian nilai yang ditentukan dan diakui. Sedangkan ketidakadilan dalam kesehatan sebagai perbedaan sistematis dan berpotensi dapat diperbaiki dalam satu aspek atau lebih kesehatan lintas populasi yang ditentukan secara sosial, ekonomi, demografis, atau geografis grup atau subkelompok. Kelemahan inheren dari pendekatan keadilan dalam kesehatan adalah kurangnya pendekatan yang jelas dan diterima secara luas.
Apalagi di saat ini dengan adanya pandemi COVID-19 merupakan ancaman universal terhadap kesehatan dan kesejahteraan kita semua, karena itu memerlukan tindakan perlindungan universal. Harapan terbaik adalah mengembangkan vaksin yang efektif dan harus diberikan kepada semua orang, untuk menghentikan penyebaran wabah di masa depan dan berpotensi memberantas penyakit ini. Dengan penyakit mematikan yang selalu ada dan dapat menyebar dengan cepat, merupakan kepentingan bersama bahwa ada akses yang benar-benar universal ke berbagai layanan kesehatan yang diperlukan untuk mengatasi penyakit ini.
Jika tujuannya adalah untuk menjamin akses universal ke layanan kesehatan, penting untuk menghilangkan hambatan masyarakat untuk mengakses layanan dan mulai menghilangkan hambatan finansial, layanan harus dibiayai untuk umum dan disediakan secara gratis. Solusi kebijakan untuk situasi ini sederhana. Negara harus menghapus semua biaya pengguna di fasilitas kesehatan publik dan menggantikan pendapatan yang hilang dan memenuhi meningkatnya permintaan untuk layanan dengan tingkat pembiayaan publik yang lebih tinggi. Penting bahwa menjamin akses ke layanan gratis di sektor publik tidak berarti bahwa penyedia layanan swasta juga harus memberikan layanan gratis. Di negara-negara dengan sistem publik yang bebas universal, lazim bagi anggota masyarakat yang lebih kaya untuk memilih sendiri dan membayar di sektor swasta, untuk meningkatkan subsidi publik bagi orang miskin.
Kelompok konsultatif WHO untuk Keadilan dan Cakupan Kesehatan Universal mengusulkan tiga strategi yaitu (a) Kategorikan layanan ke dalam level prioritas. Kriteria yang relevan termasuk yang terkait dengan
efektivitas biaya, prioritas bagi masyarakat miskin, dan perlindungan risiko keuangan; (b) Memperluas cakupan layanan prioritas tinggi bagi semua orang, termasuk menghilangkan pembayaran out-of-pocket sambil meningkatkan pembayaran progresif dengan pengumpulan dana; (c) Selagi melakukan hal tersebut, pastikan bahwa kelompok yang kurang beruntung tidak tertinggal termasuk kelompok berpenghasilan rendah dan populasi pedesaan.
Jika semua harus dilindungi, negara harus membiayai sistem kesehatan secara publik dan menyediakan layanan gratis bagi semua orang. Hal tersebut akan menjadi langkah penting dalam hidup dengan ancaman coronavirus yang sedang berlangsung, dan dalam mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan jangka panjang dari cakupan kesehatan universal. (Eugeu Yasmin)
Referensi
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
- Anchoring universal health coverage in the right to health: What difference would it make? Policy brief, WHO.
- https://finance.detik.com/moneter/d-5015554/bela-jokowi-dirut-bpjs-ungkap-alasan-iuran-naik
- https://www.kompas.tv/article/81295/iuran-bpjs-kesehatan-naik-sri-mulyani-jika-peserta-kelas-i-dan-ii-tak-kuat-turun-saja-ke-kelas-iii
- https://finance.detik.com/moneter/d-5015554/bela-jokowi-dirut-bpjs-ungkap-alasan-iuran-naik
- https://nasional.kompas.com/read/2020/05/15/10194671/berbagai-alasan-dan-klaim-pemerintah-naikkan-iuran-bpjs-kesehatan?page=all
- https://kalteng.antaranews.com/nasional/berita/1491212/dirut-perpres-642020-agar-bpjs-kesehatan-tidak-defisit?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antaranews
- https://nasional.kompas.com/read/2020/05/15/22003741/istana-sebut-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-sesuai-prinsip-keadilan?page=2.
- https://www.chathamhouse.org/expert/comment/covid-19-era-healthcare-should-be-universal-and free?utm_source=Chatham%20House&utm_medium=email&utm_campaign=11546133_CH%20Newsletter%20-%2015.05.2020&utm_content=Health-CTA&dm_i=1S3M,6VH1X,VOEA6M,RLAKN,1