15 Tahun Pasca Tsunami:
Pengembangan Sistem Rujukan untuk Pemerataan Akses Pelayanan Kesehatan
Meskipun bencana Tsunami sudah berlalu (15 tahun yang lalu), namun masih lekat dalam ingatan sebagian besar masyarakat Indonesia, bagaimana bencana dahsyat tersebut memporakporandakan wilayah Aceh dan sekitarnya. Pemerintah menetapkan tiga fase mitigasi bencana, yaitu fase tanggap darurat (sampai dengan Desember 2005), fase rehabilitasi sarana dan prasarana (Desember 2005 sampai dengan Desember 2006) dan fase rekonstruksi (selama 10 – 12 tahun). Bantuan datang dari dalam dan luar negeri, umumnya untuk membantu pada fase tanggap darurat. Dana yang digunakan pada fase ini dan fase rehabilitasi diperkirakan masing – masing sebesar 1,35 Trilyun rupiah. Tahap rekonstruksi diperkirakan menghabiskan dana sebesar 10 Trilyun rupiah.
Untuk memperkuat pelayanan rumah sakit, banyak rumah sakit pemerintah yang didesain dan dibangun ulang di fase rekonstruksi. RSUD Zainoel Abidin yang merupakan RS milik Pemerintah Provinsi Aceh misalnya, mendapatkan bantuan dari pemerintah Jerman untuk mendesain dan membangun ulang kawasan rumah sakit, dan menjadikannya sebagai pusat rujukan bagi RS – RS lain di seluruh wilayah Aceh.
Pada 2012 Kementerian Kesehatan menetapkan 110 RS milik pemerintah daerah (kabupaten dan kota) di seluruh Indonesia untuk menjadi RS Rujukan Regional dan 20 RS milik pemerintah provinsi menjadi RS Rujukan Provinsi. Di Provinsi Aceh, RSU Zainoel Abidin (Kelas A) menjadi RS Rujukan Provinsi. Di samping itu, terdapat lima RS Kelas B lain yang ditetapkan sebagai RS Rujukan Regional, yaitu:
- RSUD Dr. H. Yuliddin Away (milik Pemkab Aceh Selatan)
- RSUD dr. Fauziah Bireun (milik Pemkab Bireun)
- RSUD Tjut Nyak Dhien (milik Pemkab Aceh Barat)
- RSUD Datu Beru, Takengon (milik Pemkab Aceh Tengah)
- RSUD Langsa (milik Pemerintah Kota Langsa)
Selain menjadi prioritas pada fase rekonstruksi pasca Tsunami, keenam RS di atas juga mendapat prioritas dari pemerintah pusat untuk dikembangkan agar mampu melaksanakan peran sebagai RS Rujukan Provinsi dan Regional. Artinya, anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan SDM, peralatan, sarana dan prasarana juga signifikan.
Hasil pemetaan yang dilakukan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa belum semua RS Rujukan di Provinsi Aceh memiliki layanan dengan rujukan yang spesifik dan dengan kompetensi yang layak. Data menunjukkan RS Rujukan Jantung hanya memiliki dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, namun tidak memiliki dokter spesialis bedah thoraks dan kardiovaskuler serta tidak memiliki alat Cathlab. Dua RS Rujukan Regional bahkan tidak memiliki dokter spesialis jantung.
Tabel Pemetaan Layanan Rujukan di Provinsi Aceh
No | RSUD | Rujukan | ||
Ginjal | Jantung | KIA | ||
1. | Dr. Zainoel Abidin | |||
2. | Dr. H. Yuliddin Away | – | + | NA |
3. | dr. Fauziah Bireun | – | + | NA |
4. | Tjut Nyak Dhien | – | ++ | NA |
5. | Datu Beru, Takengon | – | ++ | NA |
6. | Langsa | – | ++ | NA |
Keterangan:
– : tidak ada unggulan tersebut
+ : SpJP tidak ada, SDM BTKV tidak ada, cathlab tidak ada
++ : SDM SpJP ada, SDM BTKV tidak ada, cathlab tidak ada
NA : data tidak tersedia
Gambar Peta Rujukan Regional Provinsi Aceh
Gambar Peta Rujukan Layanan Jantung Provinsi Aceh
Hal ini menegaskan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan RS – RS Rujukan Regional dan Provinsi untuk menangani kasus sesuai dengan masalah kesehatan di masyarakat.
Menurut Laporan Riskesdas 2018, penyakit menular yang prevalensinya meningkat dibandingkan dengan Riskesdas n 2013 di Provinsi Aceh antara lain TB, Pneumonia, filariasis, sedangkan prevalensi penyakit tidak menular yang meningkat antara lain kanker, stroke, gagal ginjal kronis, diabetes mellitus. Angka prevalensi penyakit jantung koroner, hipertensi, dan obesitas Provinsi Aceh lebih tinggi dari rata – rata nasional.
(Putu Eka Andayani)