Musyawarah Nasional VIII ARSADA:
Peningkatan Mutu dan Akses Pelayanan RSD melalui Peningkatan Kapasitas RSD dalam Rangka Penguatan Otonomi Daerah Bidang Kesehatan
Jakarta, 2-5 Juli 2019
Munas dibuka oleh Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Moeloek, SpM dengan keynotspeech sekaligus meresmikan pameran alat kesehatan yang berlangsung di sekitar area Munas. Dalam pidatonya, Nila banyak mengapresiasi prestasi yang telah dicapai oleh RS Daerah seluruh Indonesia, antara lain penerapan BLUD hingga akreditasi paripurna. Sebelumnya Ketua Umum ARSADA Pusat – dr. R. Heru Ariyadi, MPH – dalam sambutannya menyampaikan bahwa semakin banyak RS Daerah yang men dapatkan penghargaan nasional, bahkan internasional. Ada sesi khusus yang membahas ini secara lebih detil.
Lebih lanjut Nila berharap RSD juga memperhatikan masalah akreditasi, karena masih banyak RS yang bahkan belum terdaftar untuk survey awal, dan masalah penyerapan anggaran. Pemerintah sudah mengucurkan dana trilyunan untuk memastikan JKN berjalan dengan baik. Dari sisi penganggaran, banyaknya anggaran yang tidak terserap akan berpengaruh pada kinerja kementerian yang ada akhirnya bisa menentukan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan kedepannya.
Tantangan RS Daerah kedepan, menurut Nila, adalah akses terutama bagi masyarakat di kepulauan. Untuk itu, Kementerian Kesehatan menggandeng Kementerian Perhubungan untuk membuka akses transportasi dan ikut memfasilitasi mobilisasi nakes dari perkotaan ke daerah-daerah terpencil dan kepulauan.
Musyarawah Nasional ini diselenggarakan karena dengan telah berakhirnya tiga tahun kepengurusan ARSADA Periode 2017-2019, maka sudah saatnya untuk memilih ketua umum baru. Secara aklamasi para ketua dan perwakilan ARSADA Daerah secara aklamasi memilih kembali dr. R. Heru Ariyadi, MPH, sebagai ketua umum ARSADA Pusat Periode 2019 – 2024 dan meneruskan program-program yang belum selesai, khususnya yang terkait dengan kelembagaan RS Daerah.
Munas kali ini menarik karena mengangkat isu digitalisasi pelayanan kesehatan sejak dari pra-munas. Gojek – start up asli buatan pemuda Indonesia yang kini menjadi Decacorn (valuasi lebih dari USD 10M) – membagi pengalaman memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan bisnis jasa transportasi. Saat ini Gojek sedang merintis pengembangan usaha ke sektor kesehatan, dimana sudah mulai ada beberapa jenis layanan kesehatan yang disediakan secara daring dan jarak jauh. Prof. Laksono Trisnantoro, M.,Sc, Ph.D. – guru besar FK-KMK UGM – menegaskan bahwa era digitalisasi pelayanan kesehatan sudah tidak bisa dihindari. RS Daerah yang tidak berani masuk ke area ini akan tertinggal dan tidak mampu menjalankan misinya (memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan efisien) dengan baik. Dr. R. Kusmedi Priharto, Sp.OT, M.Kes, FICS, FAPOA memaparkan berbagai contoh pemanfaatan IT di industri lain yang bisa diadopsi untuk sektor kesehatan, khususnya rumah sakit. Menurut Kusmedi, implementasi IT di RS merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, apalagi ditengah tekanan keterbatasan biaya (JKN) dan tuntutan mutu yang tinggi (akreditasi).
Presiden mengarahkan agar RS dikembangkan menjadi smart-hospitals. Untuk itu, Kementerian Kominfo memberikan dukungan smart-RSD berupa:
- infrastruktur dan konektivitas (Palapa Ring)
- Penyiapan SDM TIK (beasiswa S2 dan DTS)
- Kelonggaran regulasi untuk aplikasi RS
- Dukungan fintech untuk e-billing
- Perlindungan data dan hukum UU ITE, RUU PDP)
- Sinergi kehumasan pemerintah
RS harus siap juga dalam mengaplikasikan fintech.
Namun disadari juga bahwa RS Daerah merupakan entitas milik Pemda yang harus mengikuti berbagai peraturan/birokrasi pengelolaan lembaga layanan publik. Meskipun sudah mengimplementasikan BLUD, RSD tetap harus mengikuti berbagai aturan yang mengikat, salah satu diantaranya adalah pengadaan barang dan jasa. Ada klasul bahwa sebagai BLUD, RSD dikecualikan. Namun, emnurut LKPP, tetap ada hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain mengenai metode pengadaan, pemisahan fungsi, threshold, daftar penyedia mampu, dan pengadaan secara elektronik.
Dari aspek sistem rujukan, pemerintah bertujuan untuk memeratakan akses pelayanan dan memenuhi dimensi mutu pelayanan kesehatan. Di era digital, RSD harus siap mengimplementasikan berbagai aplikasi yang sudah tersedia (misalnya SISRUTE) dan siap membangun aplikasi yang belum ada namun dibutuhkan (misalnya telemedicine dan aplikasi untuk lampiran resume medis elektronik). Prof. Bambang Wibowo, SpOG(K), MARS (Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes) mengakui bahwa masih ada kendala implementasi SISRUTE dari aspek infrastruktur , SDM, peralatan pendukung, dan pembiayaan. Untuk itu, Kemenkes memperluas aspek kebijakan dan regulasi, serta bekerjasama dengan Kominfo untuk meningkatkan dukungan infrastruktur. Dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, Indonesia cukup tertinggal dalam menggunakan teknologi komunikasi dan internet di sektor kesehatan. Paparan Prof. DR. Dr. Amal Chalik Sjaaf, SKM, MPH (guru besar FKM UI) menjelaskan bahwa fase maturitas Indonesia ada di level 3 dari skala 5, sama dengan Sri Lanka. Thailand dan Bangladesh ada di level 4. Di Filipina, pasien bisa memilih pathway ke layanan kesehatan dengan bantuan teknologi digital. Malaysia sudah menerapkan digitalisasi pada sistem referal dan Thailand menerapkannya untuk meningkatkan kinerja sistem pembiayaan kesehatan nasional.
Meskipun menghadapi tekanan yang berat dan masih banyak pekerjaan rumah terkait era industry 4.0 yang dihadapi, hal tersebut tidak menghalangi RS Daerah untuk berprestasi. RSD Sidoarjo Jawa Timur misalnya, dibawah kepemimpinan dr. Ato Irawan, SpP, RS yang sudah menerapkan PPK-BLUD ini berhasil meningkatkan pendapatan 123% dari tahun 2017 ke 2018 (menjadi Rp454 M), meskipun 85% pasiennya adalah peserta BPJS. Hal ini karena RSD Sidoarjo mengembangkan berbagai inovasi pelayanan, yaitu dengan mengembangkan berbagai layanan terpadu. Selain untuk mengintegrasikan layanan (patient-centered care) layanan terpadu ini juga memberikan spiritual experience pada pasien yang pada akhirnya meningkatkan quality of life pasien. Berbagai upaya ini dilakukan sejalan dengan strategi smart city yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Sidoarjo. Hal yang sama dilakukan juga oleh RSD K.R.M.T Wongsonegoro (RSWN) Kota Semarang. Banyak penghargaan yang sudah diperoleh dengan menerapkan green hospital, mulai dari penggunaan sisa material atau bekas bahan bangunan untuk menata taman, penggunaan lampu hemat energi, konservasi air, hingga pengelolaan sampah. Direktur RSWN, dr. Susi Herawati, M.Kes bahkan pernah mendapatkan penghargaan sebagai Perempuan Hebat Kota Semarang di tahun 2018 lalu. Yang tak kalah menarik adalah RSD dr. Iskak Tulungagung yang dibawah kepemimpinan dr. Suprianto Dharmorejo, Sp-B., M.Kes., berhasil memenangi berbagai penghargaan dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Penghargaan yang diraih antara lain Instansi Gawat Darurat Modern (Instagram), Layanan syndroma koronaria akut terintegrasi, terakreditasi sebagai RS Kelas B dan paripurna, serta mendapatkan penghargaan dari forum UNPSF di Azerbaijan Juli 2019 ini. Berbagai penghargaan yang diperoleh tersebut membuktikan bahwa ditengah keterbatasan anggaran, tekanan sistem JKN dan tuntutan mutu pelayanan, RS Daerah tetap bisa memberikan yang terbaik bahkan mengukir prestasi.
Banyaknya RS Daerah di Jawa Timur yang berprestasi tidak terlepas dari kepemimpinan daerah. Visi Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagaimana dipaparkan oleh Wakil Gubernur Jatim – DR. Emil Elistianto Dardak – adalah terwujudnya peningkatan akses pelayanan kesehatan melalui peningkatan kompetensi faskes, dan terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan melalui akreditas (per 2019 sudah 97% RS pemerintah se-Jatim). Strategi yang ditempuh oleh Pemprov Jatim adalah penguatan faskes, peningkatan sumber daya kesehatan, pemanfaatan teknologi informasi dan penguatan sistem rujukan. Komitmen PEMDA melalui dukungan APBD dan mengoptimalkan DAK Fisik, serta mobilisasi peran lintas sektor dalam pemenuhan SPA fasilitas kesehatan sesuai standar.
Menjawab permasalahan kelembagaan RS Daerah, Drs. Makmur Marbun, M.Si. (Direktur Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Daerah, Kemendagri) menyatakan bahwa kesehatan adalah salah satu urusan wajib dasar pemerintah daerah, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014. Polemik terkait kelembagaan RSD bermula dari UU No. 44/2009 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada masyarakat, Dinkes didukung oleh UPT, diantaranya RS, dimana RS didirikan oleh pemerintah pusat maupun daerah sebagai UPT dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan. Aturan inilah yang kemudian ditafsirkan bahwa RS Daerah merupakan UPT Dinkes. Dalam hal ini, Marbun menjelaskan bahwa dengan adanya masukan terhadap aturan mengenai kelembagaan RS Daerah, maka sedang dilakukan revisi terhadap PP 18/2016 karena bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dimana jabatan direktur RS didasarkan pada kelas RS sehingga dirketur RS Kelas A tidak bisa disejajarkan kedudukannya (eselonering) dengan direktur RS Kelas B dan Kelas C. Oleh karena itu, langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh pemerintah adalah:
- Kementerian Kesehatan menyiapkan draft perubahan PP 18/2016 terkait kelembagaan RS Daerah;
- RSD diusulkan menjadi dinas terpisah dengan Dinas Kesehatan; atau
- RSD tetap sebagai UPTD dengan kemandirian:
- Pengelolaan keuangan
- SDM
- Pemanfaatan dan penatalaksanaan barang milik daerah
- Direktorat Jenderal Keuangan Daerah akan merumuskan substansi terkait keotonomian pengelolaan keuangan, dimana RSD juga akan diberikan otonomi dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan.
Yang sudah tegas diatur dalam rancangan Revisi PP 18/2016 adalah bahwa jabatan direktur RSD merupakan jabatan struktural sesuai dengan kelas RSD, namun bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan. Otonomi yang diberikan kepada RSD adalah Pengelolaan Keuangan dan Barang &Jasa, serta Pengelolaan Bidang Kepegawaian. Dalam hal ini, direktur RS Daerah sebagai KPA dan KPB. Peraturan ini juga berlaku untuk RSD yang telah menerapkan PPK-BLUD.
Menurut Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kemenkes), RSD tidak bisa menjadi OPD dan berbentuk dinas karena bertentangan dengan UU No 23/2014 dimana fungsi Dinas berbeda dengan UPT, dan bertentangan dengan UU no. 5/2014 dimana Kepala Dinas merupakan jabatan pimpinan tertinggi pratama yang setingkat dengan eselon II.
Dengan telah hampir disepakatinya solusi untuk bentuk kelembagaan RSD; diharapkan kedepannya RS Daerah lebih siap menghadapi tantangan yang sudah tidak bisa dihindari lagi, khususnya terkait penerapan teknologi informasi. ARSADA sebagai organisasi yang menyatukan seluruh RS Daerah perlu membangun portal yang berfungsi menjalin hubungan antara asosiasi dengan anggota secara virtual. Hal ini disampaikan oleh Dr. Daryo Sumitro, Sp.BS, konsultan Analisa Bisnis TI Kesehatan. Portal ini sekaligus dapat menyediakan informasi untuk memetakan kemampuan TI seluruh RS Daerah yang menjadi anggotanya, sehingga ARSADA dapat memfasilitas advokasi ke pemeritah pusat maupun daerah dalam strategi pengembangan dan pemanfaatan TI di RS hingga untuk pengambilan keputusan di daerah itu sendiri.