Reportase
Seminar INDO HCF
Hari Pertama, 25 April 2018
Sesi Siang
Reportase Hari 1 Pagi Reportase Hari 1 Siang Reportase Hari 2
Sesi siang setelah rehat membahas mengenai Strategi Mendongkrak Pertumbuhan Industri Pelayanan Kesehatan di Indonesia yang dipaparkan oleh dr. Bambang Wibowo, Sp. OG (K), MARS, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Masalah kesehatan di Indonesia bergeser dari penyakit infeksius ke penyakit tidak menular. Di sisi lain, pertumbuhan rumah sakit semakin pesat, puskesmas juga bertumbuh namun tidak sepesat rumah sakit. Berbagai tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia antara lain ketidakseimbangan supply dan demand, akses dan mutu pelayanan, terbukanya pasar untuk negara lain, penerapan JKN, maupun pajak yang belum mengakomodir kegagalan pasar layanan kesehatan. Kesemuanya itu membutuhkan regulasi.
Selain itu distribusi kompetensi rumah sakit di Indonesia juga menghadapi tantangan. Seperti layanan radioterapi di Indonesia yang baru memiliki 62 buah mesin dengan proporsi 1 mesin untuk 4 juta jiwa. Padahal menurut WHO perbandingan tersebut 1 mesin untuk 1 juta jiwa. Perlu mengembangkan pelayanan yang memiliki potensi yang masih terbuka misalnya paliative care, home care, CAPD (haemodialisa), onkologi, bedah tulang, kosmetik, telemedicine, dan wisata kesehatan.
Untuk itulah diperlukan kebijakan di bidang fiskal seperti pembaruan pajak industri rumah sakit, pembiayaan mandiri, insentif pajak dokter, optimalisasi aset faskes, dan perbaikan tarif JKN. Sedangkan dari bidang tata kelola adalah peningkatan mutu pelayanan dan review regulasi JKN. Regulasi perumahsakitan juga memerlukan perhatian terutama dari sisi persyaratan dan perijinan.
Selanjutnya dibahas mengenai Strategi Mendongkrak Pertumbuhan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan di Indonesia yang dipaparkan oleh Roy Lembong, perwakilan dari GP Farmasi Indonesia (GPFI). GPFI sebagai stakeholder penting untuk masyarakat melalui kolaborasi antar stakeholder sehingga masyarakat Indonesia sehat sejahtera dan produktif. GPFI saat ini mensuplai 73% nilai obat di Indonesia. Kendala yang dihadapi industri farmasi saat ini ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Apabila dibandingkan terhadap industri lainnya, industri farmasi masih lebih kecil apabila dibandingkan dengan nilai 1 perusahaan. Hal ini dikarenakan pengeluaran kesehatan relatif kecil dan pengaruh lingkungan regulasi terhadap pro-health.
Apakah seluruh sektor farmasi menunjukkan pertumbuhan yang minus? Pertumbuhan nilai di sektor apotek sebesar – 4.5%, rumah sakit sebesar 4%, dan toko obat sebesar – 3.5%. Ada 2 potensi isu yang dihadapi. Pertama, apakah apotek minus double digit? Pasien beralih untuk berobat menggunakan BPJS karena “gratis” sehingga permintaan terhadap kebutuhan apotik menurun. Kedua, apakah rumah sakit juga minus? Pemborosan budget atau kapitasi menyebabkan penggunaan obat menurun. Jumlah peserta JKN bertambah namun unit obat berkurang.
Tantangan yang dihadapi pada 2018 diantaranya tender BPJS menurunkan lagi harga pada 2018, penurunan nilai penjualan industri menunjukkan bahwa rumah sakit swasta akan melakukan pembelian produk BPJS yang lebih murah, kapitasi rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah akan menurunkan volume obat resep, pengetatan peredaran dan promosi obat OTC dan suplemen karena aspek perlindungan terhadap masyarakat. Disrupsi di bidang kesehatan memunculkan potensi isu dimana sebelum diterapkan JKN mengepankan patient centric, namun setelah penerapan JKN mengedepankan budget centric.
Perlu adanya implementasi swamedika untuk promotif dan preventif seperti perluasan produk yang menunjang swamedika di outlet manapun, suplemen makanan dan obat, perluas produk yang ditawarkan sebagai produk swamedika, dan aturan periklanan lebih direlaksasi. Diperlukan kondisi ideal seperti preventif, edukatif, media, obat sesuai dengan paket kapitasi, dan prognosa sesuai dengan clinical pathway. Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut GPFI tetap mendukung program JKN dan menghadapi perubahan tantangan dari patient centric ke budget centric. Kesehatan dapat dicapai apabila masyarakat sejahtera dan produktif.
Kemudian disambung oleh drg. Tri Hetty M yang mewakili Kementerian Kesehatan memberi gambaran bahwa belanja obat meningkat seiring dengan diterapkannya program JKN. Pembelanjaan obat pada 2016 sebesar Rp. 14.5 Trilyun meningkat menjadi Rp. 17 Trilyun pada 2017, demikian pula pembelanjaan alat kesehatan. Kendala yang dihadapi adalah pemanfaatan bahan baku dimana bahan baku obat 95% sudah menggunakan bahan baku dalam negeri namun untuk alat kesehatan 90% masih menggunakan bahan baku impor. Indonesia masih melakukan impor alkes dari luar negeri seperti China sebesar 17%, Jerman sebesar 16%, US sebesar 14%, dan dari negara lainnya.
Berdasarkan Permenkes 17 / 2017 disusun rencana aksi percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan untuk persediaan farmasi dan alat kesehatan. Rencana aksi tersebut dibagi ke dalam 3 tahap yaitu 2016 -2020 mengembangkan alat kesehatan low technology, 2021 – 2024 mengembangkan alat kesehatan middle technology, dan 2025 – 2035 mengembangkan alat kesehatan high technology. Hal tersebut diperkuat dengan Inpres 6 / 2016 yang berisi instruksi presiden untuk memfasilitasi pengembangan ke arah biopharmaceutical, memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri, menyederhanakan sistem, rencana aksi, mendorong dan mengembangan R&D, mengembangkan sistem data dan informasi, serta koordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk memperluas fasilitas kesehatan.
Informasi lain terkait kegiatan dapat diakses di sini (https://www.indohcf.com/)
Reporter : Elisabeth Listyani