Diskusi
Implikasi Penerapan PP 18/2016 dalam Pengelolaan RSD dan Beban Kerja Dinas Kesehatan
Yogyakarta, 27 Oktober 2017
Diskusi ini diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM dan diikuti oleh beberapa rumah sakit serta Dinas Kesehatan melalui webinar. Dengan demikian, peserta diskusi cukup mewakili para aktor yang terpengaruh langsung oleh terbitnya PP No. 18/2016 tersebut. Diskusi dipimpin oleh Direktur PKMK, Dr. dr. Andreasta Meliala, MKes, MAS sebagai moderator dengan dua orang narasumber utama, yaitu dr. Heru Ariyadi, MPH (Ketua Umum ARSADA Pusat) dan dr Trisa Wahyuni Putri Indra (Kementrian Kesehatan).
Diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi fitur-fitur rumah sakit daerah yang akan hilang atau menjadi terbatas sebagai dampak dari penerapan PP 18/2016, mengidentifikasi kemungkinan kesinambungan status otonomi dan BLUD rumah sakit setelah penerapan PP 18/2016, mengidentifikasi tantangan dinas kesehatan untuk mengampu rumah sakit daerah sebagai UPT yang baru, dan menetapkan topik yang akan dibahas dalam serial diskusi berikutnya.
dr. Heru Ariyadi, MPH memaparkan pandangan ARSADA Pusat mengenai perubahan fundamental yang terjadi pasca terbitnya PP 18/2016 ini, yang dapat dikelompokkan ke dalam lima aspek, yaitu kelembagaan, pengelolaan keuangan, direktur RSD, tata hubungan kerja, dan beban dinas kesehatan. (File presentasi dapat diunduh disini). Menurutnya, ARSADA tidak dalam posisi menyetujui ataupun tidak menyetujui regulasi ini karena sudah ditetapkan. Hal yang penting adalah mutu pelayanan rumah sakit daerah (RSD) tidak menurun akibat dari perubahan ini. Kekhawatiran RSD seluruh Indonesia sangat beralasan karena kita mempunyai sejarah dimana RS pemerintah dulu sudah pernah mengalami bentuk sebagai RS non swadana dan mutu pelayanan sulit dicapai dalam kondisi seperti itu. RS pemerintah saat itu dikenal dengan RS yang kumuh, kotor, kasar, kurang profesional, sehingga sulit bersaing dengan RS lain. Saat ini banyak RSD yang sudah memperbaiki diri dan mampu menunjukkan prestasi. Diharapkan terbitnya PP 18/2016 ini tidak membawa RSD kembali ke masa non swadana.
Menurut dr Trisa, filosofi PP 18/2016 ini sebenarnya baik sekali, yaitu ingin mendudukkan RSD sebagai lembaga yang professional dan mengurangi unsur birokrasinya. Dengan menjadi UPT Dinas Kesehatan, maka urusan birokrasi akan menjadi tanggung jawan dinas kesehatan sehingga RSD dapat fokus pada pengembangan mutu pelayanan klinis dan profesionalisme. Selain itu, regulasi tersebut untuk menghindari adanya dikotomi antara UKM dan UKP serta istilah “matahari kembar” di daerah, dimana dinas kesehatan dan rumah sakit daerah sama-sama menjadi leader di sektor kesehatan di daerah masing-masing. Namun pendapat ini disanggah oleh dr. Heru. Menurutnya tidak ada istilah matahari kembar, melainkan matahari (dinas kesehatan) dan rembulan (RSD), dimana RSD hanya dapat bersinar jika ada dinas kesehatan, dan RSD posisinya adalah bersinar saat gelap (yaitu memberikan pelayanan pada orang sakit).
Beberapa RSD yang mengikuti diskusi melalui webinar diberi kesempatan untuk memberikan pandangannya. Secara umum, semua RSD berpendapat bahwa PP 18/2016 ini belum dilengkapi dengan perangkat hukum yang lebih teknis sebagai pedoman pelaksanaannya sehingga terjadi ketidakjelasan di daerah. Ada RSD yang sudah terlanjur “di-UPT-kan”, misalnya RSD di kota Makassar. Kemudian ada banyak masalah teknis yang terjadi, misalnya karena ketidakjelasan hak dan kewajiban maka saat ini RSD masih dibebankan tanggung jawab untuk memikirkan masalah kebijakan di rumah sakit, yang semestinya itu adalah tanggung jawab SKPD terkait yaitu dinas kesehatan. RSD lain masih menunggu keluarnya Perpres sebagai aturan teknis dari PP 18/2016 tersebut. Semua RS sepakat bahwa aturan teknis dari PP ini perlu segera dibuat agar RSD sebagai pelaksana merasa lebih jelas dengan batasan tugas dan wewenang serta ada solusi untuk berbagai masalah yang muncul saat ini.
Dinas Kesehatan memiliki pandangan yang berbeda. Perubahan ini harusnya dapat dilihat sebagai peluang bagi RS untuk meningkatkan profesionalisme, karena RS bisa lebih fokus pada urusan pelayanan klinis dan tidak lagi dibebani dengan tanggung jawab birokrasi dan administratif. Namun kelompok Dinkes juga mengakui bahwa aturan teknisnya harus disiapkan sejelas mungkin agar tidak ada multi tafsir di lapangan. Saat ini dinas kesehatan ada yang merasa siap untuk menjadikan RS sebagai UPT-nya, namun lebih banyak yang mengaku tidak siap.
Dinas Kesehatan yang merasa sudah siap, misalnya Dinkes Kota Yogyakarta, menganggap sudah memiliki pengalaman dalam mengelola 18 puskesmas BLUD ditambah dengan 1 RS Pratama. RBA BLUD sudah terintegrasi di dinkes. Dari pengalaman ini, Dinkes Kota Yogyakarta optimis akan masa depan RSUD Kota Yogyakarta jika menjadi UPT Dinkes, yaitu bisa lebih fokus dalam urusan klinis dengan direktur RSD yang memiliki kompetensi manajerial. Namun hal ini perlu dipertimbangkan lebih jauh mengingat RSD lebih kompleks dibandingkan puskesmas. Misalnya RSD boleh memiliki utang, sedangkan dinkes tidak boleh. Pada sebuah RSD yang telah menjadi UPT Dinkes, utang tersebut akhirnya diakui sebagai pendapatan dan saat pembayaran utang diakui sebagai biaya sehingga secara akuntansi hal tersebut menjadi tidak tepat.
Dinas kesehatan yang merasa belum siap, antara lain karena kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan belum disiapkan oleh daerah. Selain itu, tahun ini adalah tahun politik bagi beberapa kabupaten yang akan melaksanakan pilkada sehingga masalah ini bukan menjadi prioritas daerah. Namun semua sepakat bahwa RSD harus diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk mengelola sumber daya agar mutu pelayanan tinggi.
Untuk melaksanakan PP 18/2016, daerah seyogyanya menunggu keluarnya Perpres sesuai dengan amanat PP tersebut. Namun beberapa daerah tampaknya sudah secara proaktif mengambil langkah untuk meng-UPT-kan RSD-nya. Bagi RSD yang sudah terlanjur menjadi UPT, ARSADA menyarankan dua alternatif untuk ditempuh:
- Dengan belum terbitnya Perpres, sebenarnya saat ini ada kekosongan hukum, sehingga RSD bisa kembali ke LTD (bentuk semula).
- Tetap menjadi UPT, namun meminta Dinkes dan Pemda untuk membuat surat tertulis yang berisi sejauh mana pendelegasian kewenangan diberikan kepada RSD. Hal ini penting untuk mencegah adanya tuntutan hukum kepada direktur RS yang sebagai pejabat fungsional namun menandatangani dokumen-dokumen keuangan RS.
Diskusi ini juga mencatat adanya pertanyaan, masalah yang sudah maupun potensial akan muncul dan usulan-usulan agar penerapan PP ini menjadi lebih baik.
Pertanyaan:
- Jika direktur adalah dokter umum, maka harus bekerja dimana?
- Bolehkah pejabat fungsional menjadi PA atau KPA?
- Bagaimana mungkin pejabat fungsional menjadi direktur? Di era JKN hal tersebut akan berat sekali untuk dilaksanakan khususnya bagi dokter umum yang memiliki tugas jaga di IGD.
- Mengapa ada kebijakan baru sehingga RS harus start over padahal saat ini kondisinya sudah baik.
- Sejauh mana keterlibatan ARSADA dalam penyusunan PP 18/2016?
- Siapa yang bertanggung jawab pada fase transisi: dinas kesehatan, pemda atau RS itu sendiri?
- Sehubungan dengan tugas-tugas yang saat ini sangat banyak sebagai RS rujukan regional dan RS rujukan utama, apakah nanti tetap struktural atau fungsional?
- Bagaimana implikasi dari struktural ke fungsional?
- Jika direktur RS adalah jabatan fungsional, bagaimana dengan jabatan-jabatan lain dibawahnya?
Masalah:
- RBA RS yang BLUD diminta rinci untuk bisa dikonsolidasikan ke RKA Dinkes
- Fleksibilitas keuangan RSD yang BLUD akan terkebiri jika RBA RS dikonsolidasikan dengan RKA Dinkes. Awal 2017 sudah pernah dicoba konsolidasi perencanaan, namun jenis-jenis obyeknya berbeda sehingga Dinkes tidak mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan perencanaan RS.
- Tugas tambahan sebagai direktur RS jauh lebih berat dibandingkan dengan tugas utama sebagai dokter (fungsional).
- RS memesan obat di e-catalog, namun karena Satkernya adalah Dinkes maka supplier mengirim pesanan tersebut ke Dinkes. Di sisi lain, Dinkes tidak mau menerima karena merasa tidak memesan. Akibatnya pelayanan di RS terhambat. Siapa yang bertanggung jawab?
- Ada kekhawatiran program-program yang sudah direncanakan oleh RSD tidak terlaksana dengan baik jika RBA dikonsolidasikan ke RKA dinas kesehatan
- Konsep governance akan sulit berjalan karena regulator dan pemain jadi satu, padahal di sisi lain dinkes harus berlaku adil terhadap RSD maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya termasuk faskes swasta.
- Filosofi dinkes dan RSD sangat berbeda, dimana yang satu adalah lembaga birokrasi dan yang lainnya adalah lembaga usaha.
Usulan:
- Hak dan kewajiban RS diatur secara lebih jelas
- Perpres lebih detil dalam mengatur tata kelola RS hingga ke Permenkes-nya sehingga ada acuan yang jelas bagi RSD
- Percepat pelaksanaan BLUD di Indonesia
- Kapasitas dinkes (leadership, sistem pengawasan dan sebagainya) ditingkatkan agar bisa menjadi leader sektor kesehatan di daerah.
Masih banyak hal yang abu-abu dan memerlukan pemikiran bersama untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak. Oleh karenanya, PKMK FK UGM bersama dengan ARSADA Pusat berencana akan melanjutkan diskusi ini ke sesi-sesi berikutnya dengan pengerucutan pada topik-topik prioritas. Sebuah komunitas praktisi (Community of Practice) Kelembagaan RS Daerah juga akan dibentuk melalui website www.manajemenrumahsakit.net untuk mengintensifkan diskusi di luar sesi webinar sehingga masukan-masukan dapat dikumpulkan tanpa batas.
Bagi individu maupun lembaga yang tertarik untuk menjadi anggota CoP Kelembagaan RS Daerah, dapat melakukan registrasi dengan mengisi formulir pendaftaran (tidak dipungut biaya). Anggota akan dapat berinteraksi dengan narasumber, fasilitator maupun sesama anggota lain dan melakukan urun rembug melalui website tersebut di atas. Selain itu, anggota juga akan mendapat notifikasi segera jika sesi webinar akan diselenggarakan dalam waktu dekat (PEA).