SIMRS: harus ada dan fungsional
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) merupakan salah satu subsistem penting dalam pelayanan rumah sakit. Keberadaan dan fungsionalitas SIMRS akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi seluruh pelanggan rumah sakit, baik pasien, dokter, perawat, seluruh SDM lainnya, pihak manajemen, mitra RS sampai dengan pemangku kepentingan. Melalui SIMRS, setiap transaksi akan dicatat, diolah dan digunakan untuk mendukung pelayanan yang tepat. Data yang terkumpul selanjutnya diolah sesuai dengan kaidah pengetahuan agar dapat membantu para pengambil keputusan (baik klinis maupun manajemen) dalam membuat keputusan terbaik bagi pasien dan manajemen rumah sakit.
Seiring dengan perkembangan teknologi, istilah SIMRS selalu berasosiasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Hampir tidak mungkin menerapkan SIMRS di era seperti sekarang tanpa investasi perangkat keras, perangkat lunak, sistem basis data, jaringan, SDM yang handal serta manajemen RS yang komitmen dalam mengembangkannya. Di era JKN, rumah sakit yang tidak memiliki SIMRS tidak dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Mulai dari verifikasi peserta sampai dengan pembuatan transaksi klaim, rumah sakit harus memiliki infrastruktur agar dapat mengakses server kepesertaan BPJS Kesehatan serta menggunakan aplikasi klaim InaCBG.
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan RS, teknologi SIMRS juga akan semakin maju dan kompleks. Di sinilah akan bermunculan tawaran penggunaan berbagai subsistem lain seperti misalnya LIS (laboratory information system), RIS(radiology information system), PACS (Picture Archiving and Communication System), electronic prescribing dan lain sebagainya. Pada titik inilah, era electronic medical record (rekam medis elektronik) atau lebih jauh lagi electronic health record (rekam kesehatan elektronik) mulai hadir. Oleh karena itu, kunci utama untuk memasuki era EMR/EHR adalah keberadaan SIMRS. Lalu, bagaimana kondisi SIMRS di Indonesia saat ini?
Data yang dikumpulkan oleh Kemenkes melalui SIRS (sistem informasi rumah sakit), pedoman bagi rumah sakit untuk melakukan pencatatan dan pelaporan rutin, sampai dengan akhir November 2016 melaporkan bahwa 1257 dari 2588 (atau sekitar 48%) rumah sakit di Indonesia telah memiliki SIMRS yang fungsional. Berarti ada yang tidak fungsional, alias sudah memiliki SIMRS namun tidak dapat dijalankan? Ada 128 rumah sakit (5%) yang melaporkan sudah memiliki SIMRS namun tidak berjalan secara fungsional. Ternyata, masih terdapat 425 rumah sakit (16%) yang belum memiliki SIMRS. Namun demikian, masih terdapat 745 rumah sakit (28%) yang tidak melaporkan apakah sudah memiliki SIMRS atau belum.
Berdasarkan gambar 1, kita bisa melihat bahwa secara jumlah SIMRS fungsional banyak ditemukan di RS tipe C (597 RS) disusul oleh RS tipe B (267). Namun dari sisi proporsinya, SIMRS yang fungsional lebih banyak ditemukan di RS tipe A (79%) dan RS tipe B (73%).

Implikasi kebijakan
Dengan memperhatikan fakta di atas, apa implikasinya bagi kebijakan kesehatan? Yang pertama, informasi di atas merupakan data dasar penting bagi kebijakan pengembangan rumah sakit Indonesia yang perlu terus dipantau perkembangannya. Kementerian Kesehatan harus berani menerapkan target keberadaan SIMRS fungsional pada 100% rumah sakit di Indonesia. Yang kedua, kelas RS menentukan kecepatan adopsi dan keberhasilan menerapkan SIMRS. Rumah sakit tipe A dan B, dengan asumsi memiliki sumber daya (finansial dan SDM) yang lebih baik akan memiliki peluang untuk memiliki SIMRS yang fungsional. Pada kelompok ini, kebijakan untuk mendorong RS tersebut memasuki era EMR/EHRperlu digalakkan. Gawai Sehat juga memelihara halaman yang diharapkan dapat memuat perkembangan terkini adopsi rekam medis elektronik di rumah sakit.
Yang ketiga, Kelompok rumah sakit tipe C dan D adalah populasi rumah sakit yang terbesar di Indonesia. Pada kelompok inilah juga ditemukan lebih besar SIMRS yang tidak fungsional. Diperlukan kebijakan efektif agar dapat menjamin RS menerapkan SIMRS secara berhasil. Berbagai tantangan pada kelompok ini perlu diidentifikasi untuk selanjutnya dicarikan solusi. Solusi bisa berasal dari berbagai jurusan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemilik rumah sakit, mitra akademis, vendor, LSM dan lain sebagainya. Yang keempat, masih banyak rumah sakit yang belum memiliki SIMRS fungsional karena statusnya memang belum berkelas. Melekatkan keberadaan SIMRS dengan sistem akreditasi dan registrasi rumah sakit bisa menjadi alternatif agar pencapaian 100% SIMRS fungsional dapat terwujud.
Sumber: gawaisehat.com