Laporan dari Ho Chi Minh City, Vietnam
Oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD
Laporan 4:
Diskusi JCI:
CEO Wanita vs CEO Laki-laki, CEO Dokter vs CEO Non-Dokter, Apakah Lebih Baik untuk RS?
Panelis:
- Ms Roberto Lipson. Director United Family Health Care China, Chindex International
- Dr. Pauline Tan. Chief Nursing Officer, MoH Singapore
- Dato’ Dr. Jacob Thomas. Chairman Ramsay Sime Darby Health Care. President Association of Private Hospitals of Malaysia
Beberapa poin dari Dr. Jacob Thomas
CEO mempunyai peran penting
dalam penanganan RS. Sistem
kesehatan semakin kompleks dan butuh
kemampuan CEO
- 7 Ciri Leadership untuk CEO RS meliputi: Servant Leadership; Communication, termasuk kemampuan mendengarkan; Mentorship; Being a Model termasuk tidak pesimistis dan jangan terlalu sering pergi; Terhubung dengan Masyarakat di lingkungan RS; mempunyai Sense of Humor; membutuhkan Keseimbangan (Balance) termasuk melayani kelompok masyarakat kelas atas dan bawah.
- Bagaimana dengan posisi CEO Wanita vs CEO Laki-laki?. Biasanya CEO laki2 lebih percaya diri, dan tidak banyak mempunyai time-constraint karena harus mengurus keluarga?. Namun ditegaskan bahwa CEO wanita atau CEO laki-laki sebenarnya bukan isu. Hal yang penting justru CEO dokter vs CEO non Dokter, bagaimana perbedaannya?
- Jika dia seorang CEO yang bukan dokter maka harus didampingi tenaga medik yang kuat. Sebaliknya kalau CEO-nya seorang dokter, harus didampingi ahli ahli manajemen.
Pendapat R. Lipson
Beberapa stereotype tidak
semuanya benar, termasuk antara
CEO Wanita dan CEO laki-laki.
- Kasus Kepemimpinan di United Family Health Care China. Apakah harus dokter, apakah harus laki-laki, apakah bukan wanita. ’Sejarah dokter di China dan di berbagai tempat menunjukkan bahwa profesi dokter banyak dilakukan oleh laki-laki. Tapi perawat lebih banyak oleh wanita.
- Di Amerika Serikat, butuh waktu lama sehingga terjadi keseimbangan genderdalam leadership organisasi. Saat ini dokter wanita lebih banyak, namun pemimpin wanita relatif lebih sedikit.
- Majalah Fortune menuliskan hanya 4.60% organisasi bisnis yang mempunyai CEO. Angka yang lebih tinggi ada RS Amerika Serikat yaitu 19%, di United Family Health China: 33%.
- Persentase Wanita di Manajemen: China (Business) 20%…di US: 51.40%, di UFH Group: 62%. Perbandingan memprihatinkan di pemerintahan China yang hanya 6%.
Poin-poin Dr. Tan:
- CEO bukanlah satu satunya penentu organisasi.
Tidak hanya CEO yang memutuskan di lembaga RS.
Hal yang penting adalah bagaimana sebuah lembaga meninggalkan dari one-man/one woman leadership?. Bagaimana caranya agar terjadi group decision making?
- Apa batasan kemampuan dari CEO?. Mereka harus mempunyai pemahaman medik, community partners, dan lain-lain. Hal ini mirip dengan ahli Diabetes yang tidak hanya ahli medik tetapi juga ahli sosial. Jadi CEO harus mempunyai berbagai kemampuan dan kapasitas across dan beyond Seorang CEO bisa non dokter dan bisa wanita. Sangat subyektif dan ini masalah perspektif saja.
- Isu ketiga adalah Growing Leadership Pipeline. Bagaimana persiapan untuk mengembangkan leader sejak muda?. Bagaimana sistem pengembangannya sehingga ketika seseorang CEO pensiun, sudah ada penggantinya yang tidak kalah baik.
Diskusi Refleksi di Indonesia:
Bagaimana jika bukan dokter yang menjadi Direktur RS. UU RS tidak memperbolehkan. Ini adalah jawaban tegas. Ada komentar?
Bagaimana direktur RS yang wanita: lebih baik atau tidak?
Silakan berdiskusi:
Tampaknya menarik diskusi soal CEO ini dan tampaknya mngkn merupakan suatu ide yang rasional dan cukup beralasan dimana seorang CEO seharusnya sudah ada kompetensi tentang hal tersebut, dimana mngkn sudah dibutuhkan organisasi profesi CEO tersendiri…yang terakreditasi…jadi tidak ada masalah lagi tentang Gender maupun latar belakang dojter atau bukan dokter…tapi kebih spesifik yaitu Manajemen Administrasi RS…
Dear Moderator,
Dalam pandangan saya, tidak ada gunanya mempertanyakan efektifitas CEO rumah sakit berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Demikian pula tidak ada manfaatnya mempertentangkan keampuhan leadership dokter atau non dokter dalam mengelola rumah sakit.
Sebab pada intinya, selama CEO rumah sakit memiliki atribut kepemimpinan yang memadai, maka jenis kelamin dan profesi tidak ada masalah lagi. Jika membaca tulisan Kumar & Khiljee (2015), maka dapat dipahami bahwa semua jenis kelamin dan profesi, bisa memiliki atribut kepemimpinan yang menjadi bekal utama untuk memimpin rumah sakit. Selain itu, tulisan Cochran dkk (2014), menegaskan perubahan yang sangat cepat di lingkungan organisasi rumah sakit, tidak dapat menunggu “keputusan” apakah CEO rumah sakit harus laki-laki atau perempuan, dan apakah harus seorang dokter atau bisa bukan dokter. Siapa yang bisa memimpin, maka seharusnya dia yang memimpin rumah sakit, tidak perlu dipersoalkan jenis kelamin dan profesinya. *AM
UU RS perlu di revisi atau di amandemen klo ingin industri kesehatan lbh maju…
Yaitu ceo rs boleh laki-laki dan atau wanita, dan bisa dokter maupun bukan dokter. Yg penting punya kemampuan & karakter kepemimpinan dibidang korporasi dan khususnya manajemen perumahsakitan