Reportase:
Study Visit ke Lembaga-Lembaga Think Tank di Tiongkok
Reporter: Putu Eka Andayani*
Pengantar
KSI (Knowledge Sector Initiative) memfasilitasi 16 lembaga penelitian dan think tank di Indonesia (salah satunya adalah PKMK) untuk melakukan study visit ke lembaga-lembaga think tank di Tiongkok (Beijing dan Shanghai). Tujuan kunjungan adalah untuk mempelajari bagaimana proses penyusunan kebijakan berbasis bukti di Tiongkok dan bagaimana lembaga think tank memberikan peran dalam proses mulai dari penelitian hingga evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Kunjungan yang berlangsung mulai tanggal 5 – 7 Mei di Beijing dan tanggal 11 Mei mendatang di Shanghai merupakan rangkaian dari kegiatan penguatan kapasitas 16 lembaga penelitian dan advokasi (think tank) di Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 2013. Kami akan menyajikan laporan secara harian untuk Anda.
[restabs alignment=”osc-tabs-left” responsive=”false” tabcolor=”#efefef” tabheadcolor=”#0143b5″ seltabcolor=”#ffffff” seltabheadcolor=”#000000″ tabhovercolor=”#ffffff”]
[restab title=”Day – 1 (5 Mei 2015)” active=”active”]
Clinical Pathway Project and Policy Shaping
China National Health Development Center berdiri sejak tahun 1991 dibawah Ministry of Health secara struktural namun memiliki independensi dalam menentukan topik penelitian yang akan dilakukan. Lembaga ini terdiri dari empat klaster penelitian (Service System Research, Integrated Research, Financing System Research dan Elements of Development Research) yang secara total terbagi kedalam 15 Divisi. Masing-masing Divisi dipimpin oleh seorang direktur yang dapat membawahi puluhan peneliti full-timer dan part-timer. Selain Divisi dan Klaster, lembaga ini juga memiliki Academic Advising (termasuk di dalamnya ada Komite Etik), Post Doc Research Station, Functional Departments (terdiri dari General Office, Keuangan dan Department of Research Management) dan Affiliated Institutions.
Health Promotion dan Disease Preventive Program
Program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok merupakan salah satu bentuk kebijakan berbasis bukti (hasil penelitian) yang diterapkan di Tiongkok. Dalam satu satuan masyarakat tertentu (di Indonesia mungkin hal ini setara dengan kelurahan/desa) ada fasilitas publik berupa satu area terbuka yang dilengkapi dengan berbagai peralatan olah raga. Masyarakat bebas memanfaatkan fasilitas tersebut untuk olah tubuh, untuk menjaga agar mereka memiliki aktivitas fisik yang cukup sehingga tetap bugar. Dananya berasal dari pemerintah daerah, maka kelengkapan dan teknologi yang diterapkan pada fasilitas publik ini tergantung pada kemampuan finansial pemerintah setempat. Misalnya ada beberapa tempat yang dilengkapi dengan fasilitas pemeriksaan tekanan darah otomatis. Namun ada juga yang tidak memiliki teknologi tersebut sehingga pemeriksaan tekanan darah dilakukan oleh tenaga medis hanya pada waktu-waktu tertentu. Setiap fasilitas juga dilengkapi dengan flyer (brosur dan sejenisnya) yang berisi informasi kesehatan, terutama tentang asupan garam dan gula harian yang sehat.
Contoh lain dari kebijakan yang merupakan hasil advokasi lembaga think tank adalah infrastruktur transportasi di kota Beijing. Hampir setiap ruas jalan, baik jalan utama maupun bukan jalan utama) dilengkapi dengan trotoar yang lebar (hampir tidak ada orang berjualan di trotoar) untuk pejalan kaki yang umumnya menggunakan subway (kereta bawah tanah) atau bus sebagai moda transportasi utama. Dengan transportasi umum yang baik dan nyaman, masyarakat Beijing terbiasa berjalan kaki ratusan meter atau bahkan beberapa kilometer sehari dari rumah atau tempat kerja menuju stasiun kereta atau halte bis. Selain trotoar untuk pejalan kaki, hampir setiap ruas jalan juga memiliki jalur khusus untuk pesepeda. Adanya jalur khusus ini membuat aktivitas berjalan kaki dan bersepeda menjadi sangat nyaman.
Suasana Politik dan Kebijakan Nasional
Salah satu perbedaan mendasar antara Tiongkok dan Indonesia adalah bentuk pemerintahannya. Tiongkok menerapkan bentuk pemerintahan yang sentralistik, sehingga penetapan kebijakan nasional dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah (di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan) tinggal menerapkan dan dapat melakukan sedikit penyesuaian dengan kondisi lokal. Meskipun tersentralistik, dalam banyak hal, pemerintah pusat hanya mengeluarkan kebijakan, namun pendanaan untuk implementasinya di daerah merupakan tanggung jawab masing-masing pemerintah daerah. Contohnya pada kebijakan mengenai pembangunan fasilitas publik sebagaimana telah dibahas di atas. Hal yang memudahkan pengambilan keputusan nasional adalah karena hanya ada satu partai politik di Tiongkok sehingga pemerintah memiliki satu suara.
Namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara Tiongkok bagian timur dan tengah dengan Tiongkok bagian barat, dari aspek kekuatan finansial masyarakat dan pemerintah. Pada Tiongkok bagian timur dan tengah, perekonomian berkembang pesat sehingga kapasitas fiskal Pemda dan daya beli masyarakat cenderung lebih tinggi. Secara alamiah area ini menarik sumber daya manusia yang skillful dan memiliki kapasitas tinggi untuk menetap dan bekerja disini. Sebaliknya, Tiongkok bagian barat memiliki lebih banyak sumber daya alam namun lebih sedikit SDM yang berkualitas. Akibatnya perekonomian di area ini tidak dapat berkembang seperti di area tengah dan timur, sehingga kapasitas fiskal pemda dan kemampuan ekonomi masyarakat lebih rendah.
Kondisi tersebut berpengaruh pada kemampuan pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan nasional. Misalnya pada kebijakan pembiayaan kesehatan, pemerintah menerapkan kebijakan kapitasi untuk pelayanan kesehatan masyarakat dasar. Pelayanan ini antara lain meliputi pelayanan kesehatan dasar untuk ibu dana anak, KB, dan promosi kesehatan serta screening pada kelompok yang berisiko tinggi untuk hipertensi dan diabetes. Secara nasional, pemerintah menetapkan besarnya kapitasi adalah RMB 25 hingga RMB 30 (sekitar Rp 52,500 – Rp 63.000) per kapita per tahun. Namun, wilayah barat mampu menerapkan RMB 60 (sekitar Rp 126.000) per kapita per tahun dengan beberapa benefits tambahan.
Manajemen Lembaga Think Tank dan Jenjang Karir Peneliti
CHNDRC menghasilkan sekitar 200 penelitian tahun lalu dengan jumlah total dana yang dikelola sebesar RMB 30 juta atau sekitar Rp 63 milyar. CHNDRC memiliki 81 peneliti full-timer dan lebih dari 30 orang peneliti part-timer (termasuk akademisi dari universitas yang bekerjasama dengan CNHDC) dan staf. Para peneliti ini memiliki jenjang karir yang telah diatur secara nasional, yaitu peneliti junior, middle dan senior. Setiap tingkatan dibagi lagi menjadi tiga sub tingkatan. Ada indikator kinerja yang diterapkan untuk mengukur kinerja individu peneliti, termasuk jumlah publikasi (pada jurnal peer-review) yang dihasilkan, untuk bisa naik ke tingkat berikutnya.
Para peneliti mendapatkan fixed-salary sesuai dengan tingkatannya yang berlaku secara nasional. Selain itu, para peneliti juga bisa mendapatkan semacam insentif jika melakukan penelitian lain (tambahan) di luar dari uraian tugasnya. Salary ini berasal dari pemerintah pusat (karena CNHDC berada di bawah MOH), sedangkan insentif dapat berasal dari kontrak-kontrak kerjasama antara CNHDC dengan pemerintah daerah atau lembaga asing yang membutuhkan jasa penelitian untuk membuat suatu kebijakan, atau mengadvokasi kebijakan baru. (pea)
*Peneliti dan Konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
[/restab]
[restab title=”Day – 2 (6 Mei 2015)“]
NICE (The National Institute for Health and Care Excellence) dan Peluang Partnership
NICE didirikan tahun 1999 oleh Pemerintah Inggris dan merupakan lembaga yang berwenang untuk mengembangkan standar pelayanan kesehatan serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan pada masyarakat. Pada strukturnya, NICE terdiri dari:
- Center for Clinical Practice yang mengembangkan clinical guidelines termasuk penggunaan obat dan formularium
- Center for Public Health yang mengembangkan guideline untuk public health services (misalnya terkait isu rokok, kesehatan anak dan sebagainya), termasuk briefings untuk advokasi bagi pemerintah lokal
- Center for Health Technology Evaluation mengembangkan guidance termasuk appraisal terhadap penggunaan teknologi terkini maupun teknologi lama, misalnya pengobatan, peralatan medis, teknik operasi dan sebagainya.
- Communications Directorate yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran seluruh stakeholders terkait dengan pekerjaan dan hasil-hasil kerja NICE, melalui publikasi, diseminasi, website dan public enquiries.
- Health and Social Care Directorate bertanggung jawab untuk menghasilkan berbagai produk untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, termasuk diantaranya standar mutu, efektifitas biaya, akreditasi program beasiswa sebagai penghargaan (reward) bagi profesional kesehatan
- Evidence Resources Directorate yang mengelola database terkait farmasi dan bukti-bukti ilmiah lainnya termasuk best practices.
- Business, Planning and Resources Directorate yang bertanggung jawab untuk mengelola bisnis, keuangan, SDM, tata kelola, layanan IT serta berbagai fasilitas dan infrastruktur di NICE
Staf yang direktur untuk bekerja di NICE dapat berasal dari profesi kesehatan, masyarakat, akademisi yang bekerja bersama untuk menghasilkan guidelines dan standar mutu pelayanan yang harus dipatuhi oleh seluruh RS di Inggris. Scara khusus NICE mengamati dan mengawasi penerapan teknologi baru di RS. Misalnya sebuah RS hendak menerapkan sebuah prosedur baru, maka RS tersebut harus mendaftarkan prosedurnya kepada NICE sehingga ada database mengenai hal tersebut. Selain itu, RS juga harus memastikan melalui informed consent khusus bahwa pasien mengetahui mengenai prosedur baru ini dan menyadari berbagai risikonya.
Jika ada masalah serius yang menimbulkan skandal di rumah sakit dan Menteri Kesehatan tidak menaruh perhatian serius terhadap hal tersebut, menteri bisa diberhentikan. Pada suatu skandal yang menimpa sebuah RS, Menkes turun langsung ke RS untuk menyelidiki masalahnya, menghentikan direktur RS dan bahkan menutup RS tersebut. Pasien dipindahkan ke RS lain yang lebih layak. Hasil investigasi menunjukkan bahwa RS tersebut sebenarnya kekurangan staf perawat di bangsal dan OK, sedangkan RS merasa sudah merekrut cukup staf. Perbedaan ini terjadi karena belum adanya standar rasio antara dokter dan perawat. Follow up dari skandal tersebut adalah NICE mengembangkan standar untuk menentukan rasio dokter : perawat di rumah sakit.
NICE juga melakukan quality clinical audit. RS harus mengisi form (dalam bentuk software yang sudah di-install ke sistem informasi RS) mengenai berbagai hal yang diamati dan menjadi indikator mutu pelayanan. Data tersebut kemudian dianalisis untuk melihat apakah ada RS yang menjadi out-layers (misalnya jumlah kematian jauh lebih tinggi dibanding RS lainnya). Hal tersebut akan menjadi dasar bagi NICE untuk melakukan investigasi lebih lanjut ke RS yang bersangkutan untuk mengetahui apa yang terjadi. Diakui bahwa sebagian RS di Inggris belum menerapkan sistem informasi manajemen yang baik dan terintegrasi, sehingga tidak ada satu sistem informasi yang secara otomatis menghubungkan antara RS dengan pemerintah pusat. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan pelaku pelayanan kesehatan di Inggris.
Tiap RS memiliki Direktur Medis yang bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan klinis, termasuk memastikan setiap orang memiliki kualifikasi yang tepat untuk melakukan tugas-tugas pelayanan klinis. NICE tidak melakukan cek terhadap kualifikasi orang-per-orang di RS, namun jika terjadi masalah serius terkait dengan hal tersebut, NICE dapat melakukan investigasi. Kadang kala seorang tenaga kesehatan sudah lama tidak melakukan praktek, kemudian masuk lagi ke industri pelayanan kesehatan untuk menjadi praktisi. RS harus memastikan bahwa tenaga kesehatan tersebut masuk qualified untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya.
NICE tidak dapat mengontrol dan mengatur profesi/tenaga kesehatan, namun dapat mengatur RS. Sejak 2010, RS di Inggris tidak boleh lagi menarik bayaran dari pasien. Seluruh biaya kesehatan termasuk di RS swasta (kecuali untuk immigrant yang tidak mampu menunjukkan bukti domisili di Inggris) ditanggung oleh negara. Jika RS tidak mengikuti standar – berdasarkan pada pengawasan reguler maupun hasil investigasi yang dilakukan oleh NICE – alokasi anggaran kesehatan akan dikurangi. Dengan sistem DRG, tarif pelayanan sama di seluruh RS. Hal ini mendorong RS untuk menerapkan strategi cost leadership, yaitu menghasilkan pelayanan dengan mutu terbaik sambil menekan biaya produksi.
Untuk mengurangi korupsi, registrasi dilakukan secara online dan mengurangi kontak secara face-to-face antara lembaga registry dengan pihak yang akan melakukan registrasi (RS maupun personal tenaga kesehatan). Dengan demikian, mereka tidak akan saling mengenal sehingga mengurangi kolusi, korupsi dan nepotisme.
Saat ini NICE sedang menjalin kerjasama dengan berbagai institusi di luar Inggris, termasuk dengan CNHDRC. NICE melakukan capacity building dan memberikan technical assistance bagi CNHDRC dalam melakukan riset serta melakukan advokasi kepada pemerintah berbasis pada hasil riset tersebut. Pada kegiatan hari kedua ini, seorang wakil dari Kementerian Kesehatan dan Keluarga Berencana sebagai policy makers berkunjung ke kantor CNHDRC untuk berkonsultasi mengenai peran pengawasan pemerintah, juga mengenai reformasi kebijakan obat yang baru-baru ini diterapkan. Delegasi Indonesia diberi kesempatan untuk mengamati proses tersebut, bahkan ikut berinteraksi dalam diskusi tersebut.
Diskusi yang dilakukan pada hari kedua ini memunculkan ide untuk melakukan kerjasama lebih lanjut antara Tiongkok, Indonesia dan Inggris. NICE akan memfasilitasi sebuah workshop bagi anggota legislatif di Indonesia dan meningkatkan kapasitas lembaga think tanks kesehatan agar dapat berkomunikasi secara lebih efektif dengan legislatif. Workshop ini akan diselenggarakan pada Bulan September di Jakarta, dimana Universitas Atmajaya dan Universitas Gadjah Mada akan menjadi host-nya. (pea)
*Peneliti dan Konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM[/restab]
[restab title=”Day – 3 (7 Mei 2015)“]
Changing of Research Findings into Health Policy
Hongwei Yang adalah Deputy Director pada CNHDRC. Yang mengawali karirnya sebagai peneliti di CNHDRC bersama dengan 25 orang lainnya yang direkrut oleh pemerintah (MOH). Saat itu World Bank memiliki andil besar dalam pendirian lembaga ini. Namun karena MOH kekurangan staf, 9 orang dari CNHDRC ditarik ke MOH sehingga lembaga penelitian tersebut selama beberapa tahun pertama hanya mampu melakukan dua penelitian besar dalam setahun. Dengan produktivitas yang sangat kecil ini, CNHDRC tidak akan mampu menghasilkan riset yang dapat di-recognize oleh policy makers.
Di sisi lain, sebelum tahun 2005 Pemerintah Tiongkok kurang menaruh perhatian terhadap sektor kesehatan. Lingkungan ini menyebabkan CNHDRC kurang dapat berperan optimal dalam pengembangan sekot kesehatan, khususnya dalam mendorong pemerintah untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti. Tahun 2005, saat terjadi wabah SARS, setidaknya 7000 warga Tiongkok terinfeksi sehingga meningkatkan awareness pemerintah untuk mereformasi sistem dan kebijakan kesehatan. CNHDRC menjadi lembaga yang dipercaya untuk melakukan berbagai riset terkait dengan reformasi tersebut.
Setidaknya ada tiga hal kunci menurut Yang untuk bisa menjadikan research center sebagai lembaga think tank yang “didengar” oleh policy makers.
- Para leaders dalam lembaga tersebut harus memiliki sense yang kuat mengenai apa yang akan dibutuhkan oleh klien (misalnya pemerintah) di masa mendatang. Ini akan mendorong dikembangkannya kebijakan dan arah jangka menengah-panjang lembaga dalam hal research agenda. Dengan demikian, saat klien membutuhkan, lembaga telah siap dengan kerangka konsep, metodologi bahkan experiences.
- Reputasi sebagai lembaga penelitian yang independen sangat penting untuk menjaga kepercayaan klien. Dalam dunia research, reputasi dapat ditentukan oleh obyektivitas hasil penelitian. Oleh karenanya, dalam melakukan lembaga harus mampu menjaga independensi termasuk dari potensi intervensi pemberi dana. CNHDRC sebagai contoh memperoleh dana dari pemerintah namun memiliki independensi untuk menentukan topik penelitian. Perusahaan juga memberikan sumbangan dana penelitian, namun tidak bisa memanfaatkan kerjasama tersebut untuk melakukan lobby kepada pemerintah misalnya.
- Sumber daya manusia dalam jumlah dan kualifikasi yang cukup. CNHDRC menambah jumlah peneliti (kini ada 81 full-timers) agar dapat melakukan penelitian dalam range yang lebih luas dan jumlah yang lebih banyak. Peneliti senior yang menduduki posisi pada struktur organisasi menyisakan 20% waktunya untuk melakukan penelitian (dan juga mengajar sebagai dosen tamu). Namun sebagian besar waktunya digunakan untuk memikirkan keberlangsungan hidup lembaga, termasuk sumber pendanaan. Dengan demikan, middle dan junior researchers fokus hanya pada kegiatan penelitian. Organisasi juga memiliki divisi khusus yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi pengelolaan sumber daya (bukan dilakukan oleh peneliti).
Selain ketiga hal yang terdapat pada lembaga tersebut di atas, komitmen pemerintah Tiongkok terhadap sektor kesehatan cukup tinggi. Pemerintah merespon rekomendasi dari berbagai hasil riset menjadi kebijakan. Hal ini juga diakui oleh Dr. Kalipso, Direktur NICE Internasional yang telah bekerjasama sejak awal berdirinya lembaga ini.
Namun demikian, belum semua penetapan prioritas menggunakan hasil riset sebagai basisnya. Hal ini terungkap dari Li Ping Ma, peneliti dari National Institute of Hospital Administration (salah satu lembaga riset di bawah MOH selain CNHDRC) yang mengkhususkan diri pada area manajemen rumah sakit. Menurut Ma, pemerintah belum melihat kebutuhan untuk memperbaiki regulasi pada manajemen rumah sakit sebagai hal yang urgent. Berbeda dengan dengan isu HIV-AIDS misalnya, dimana pemerintah menaruh perhatian penuh. (pea)
*Peneliti dan Konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM[/restab]
[restab title=”Day – 4 (11 Mei 2015)“]
Peran Lembaga Think Tank di Tiongkok dalam Pembuatan Kebijakan
Workshop Internasional Shanghai Academic of Social Science
Chinese Economic Reform and Social Development
Prof. Yang Yuli dari Institute of Economic, SASS merupakan narasumber pertama yang membahas tentang reformasi ekonomi dan pembangunan sosial di Tiongkok. Menurut Yang, ekonomi Tiongkok pada awalnya dibangun dari pertanian, dimana tahun 1999 terjadi peningkatan produksi jagung yang luar biasa besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu 100 juta ton. Hal ini menyebabkan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk dari yang awalnya hanya seperempat dari pendapatan perkapitan Rusia (tahun 1978) menjadi lebih dari lima kali lipat pendapatan Rusia saat ini. Setelah reformasi tersebut, Tiongkok bukan lagi sekedar negara agraris melainkan menjadi negara yang memanfaatkan teknologi dan sektor jasa pun berkembang.
Salah satu point penting yang disampaikan oleh Prof. Yang dalam proses reformasi di Tiongkok adalah penghargaan terhadap sejarah sebagai negara agraris. Seandainya Tiongkok tidak memperhitungkan asal muasalnya sebagai negara agraris dan hanya meng-adopt proses reformsi dari negara lain, dapat dipastikan proses reformasi di Tiongkok tidak akan sesukses saat ini.
Dalam proses reformasi ini, SASS memainkan peran penting sebagai lembaga think tank yang:
- mengadvokasi pemerintah terkait dengan isu-isu sosial ekonomi yang berkembang, dengan memanfaatkan saluran khusus yang dibangun untuk itu. Salah satunya dengan melakukan indepth discussion secara terus menerus dengan aktor kunci di policy makers.
- SASS selalu berupaya untuk mampu melayani kebutuhan pengambil kebijakan di bagian selatan (yang besarnya 3x dari Tiongkok bagian utara) dalam hal supply informasi dan bukti-bukti pendukung untuk pengambilan keputusan.
- SASS berupaya untuk selalu mengamati perkembangan pasar untuk dapat menangkap isu-isu yang berkembang, sebagai topik penelitian, sehingga dapat memberikan rekomendasi dan melakukan advokasi yang up-to-date kepada pembuat kebijakan.
Menurut Prof. Yang, faktor kunci sukses SASS antara lain:
- Dalam proses reformasi ekonomi dan sosial, SASS secara aktif mendiseminasi hasil penelitian
- SASS tidak hanya melakukan riset dibalik meja melainkan juga move-around, mendekati local communities dan local authorities. Jadi SASS merekomendasikan sesuatu yang actionable sebagai advice profesionalnya.
Menurut hasil penelitian Professor Lu Xiaowen dari Institute of Sociology, Shanghai Academy of Social Science, Shanghai yang merupakan kota terbesar di Tiongkok memiliki 20 juta penduduk dengan komposisi pendatang yang cukup besar. Ini merupakan pasar tenaga kerja yang potensial, sehingga pendapatan perkapita penduduk kota ini juga merupakan yang tertinggi di Tiongkok. Secara alamiah, social security dan social service-nya juga paling bagus. Kebutuhan hidup mendasar dijamin oleh pemerintah. Ukuran rumah terkecil adalah 80 sqm2 dengan anggota keluarga rata-rata 3,5 orang per keluarga. Ini membuat kepadatan per rumah tinggal lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata rumah di negara berkembang. Kota Shanghai juga memiliki layanan dan fasilitas publik terbaik di Tiongkok, antara lain sistem transportasi dengan subway yang memiliki line yang sangat banyak. Sistem ini mampu mengangkut 10 juta penumpang per hari.
Namun ada masalah penting yang dihadapi oleh Shanghai, antara lain:
- Akibat membaiknya fasilitas publik dan kualitas hidup masyarakat, maka angka harapan hidup juga meningkat, sehingga proporsi penduduk lansia meningkat. Penduduk lansia yang bermukim di pinggiran kota membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dari yang telah ada saat ini.
- Rendahnya angka kelahiran membuat kota ini kekurangan angkatan kerja, sehingga tergantung pada angkatan kerja dari daerah lain. Untuk itu, isu utama adalah bagaimana social security untuk warga pendatang yang menetap sementara di kota Shanghai.
- Konsentrasi pemukiman penduduk pada kota seluas 6.500 sqm2 ini memunculkan isu terkait dengan fasilitas kesehatan, pendidikan dan permukiman.
Professor Lu menekankan bahwa transparansi dalam proses decision making sangat penting. Kontribusi yang telah diberikan oleh SASS menurut Prof. Lu antara lain:
- menyediakan framework dalam pengambilan keputusan
- penelitian jangka panjang terkait populasi sebagai basis pengambilan keputusan. Saat ini ada penelitian yang telah berjalan selama tiga tahun mengenai gaya hidup, pekerjaan, psikologi dan kesehatan mental 3000 rumah tangga di Shanghai, yang dapat menghasilkan baseline data yang baik untuk dasar pembuatan kebijakan dan memberikan umpan balik bagi pembangunan sosial.
- Opinion pose analysis, contohnya adalah pusat penelitian ini memasang mata secara intensif pada determinant social factors, me-review sentimen publik dan sebagainya sebagai basis rekomendasi kepada pemerintah. Faktor penting yang mempengaruhi adalah karena masyarakat Tiongkok sudah melek teknologi dan merupakan pengguna internet yang aktif. Mereka dapat ikut memantau proses kebijakan dan memberikan kritik bagi pemerintah.
Masyarakat Tiongkok juga menghadapi masalah ketidakmerataan akses pelayanan publik di seluruh Tiongkok. Pemerintah harus terus menguapayakan untuk menutup gap yang terjadi antara harapan publik dengan kenyataan. Contohnya, pemerintah ingin menyamakan standar pelayanan publik di seluruh Tiongkok. Namun hal tersebut pada implementasinya tergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Jadi, saat ini pemerintah sedang berusaha untuk melahirkan kebijakan yang sifatnya nation-wide, yaitu menyamakan standar fasilitas publik. Shanghai sendiri berusaha melahirkan kebijakan agar penduduk pendatang dapat menikmati fasilitas publik dan social security system sama dengan penduduk asli.
Political Reform and The Role of Law
Professor Shen Guoming dari Shanghai Federation of Social Sciences Societies mengatakan bahwa dulu pemerintah Tiongkok belum seserius saat ini dalam mengangani kasus korupsi. Ini merupakan bentuk dari reformasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Moral, rule of law dan citizenship diajarkan di sekolah-sekolah. Intinya, reformasi ini merupakan upaya penegakkan hukum dan meningkatkan kesadaran masrakat Tiongkok terhadap hukum. Hal ini membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat.
Menurutnya, Tiongkok harus diatur dengan menerapkan hukum secara ketat. Policy makers harus melakukan konsultasi dengan lembaga think tank, untuk menghasilkan kebijakan yang benar. Opini publik penting untuk dikumpulkan, melalui public hearing yang diselenggarakan secara reguler. Salah satu contoh hasil penelitian lembaga ini adalah adanya regulasi mengenai standar pemukiman, dimana pada setiap 100 rumah harus ada 60 tempat parkir. Ini diproyeksikan akan menjadi future issue yang perlu dihadapi dengan serius.
Evidence-Based Policy and the Role of Think Tanks in China and Indonesia
Di Tiongkok ada lebih dari 2.000 lembaga think tank yang terdaftar, namun hanya 300 yang aktif melakukan penelitian dan advokasi. Lembaga yang aktif ini terorganisir dengan baik dan memiliki reputasi yang sudah dikenal. Sebanyak 40% lembaga merupakan milik pemerintah, 25% berafiliasi dengan lembaga pendidikan (academic based research centers) dan sisanya adalah NGOs. Lebih dari 60% lembaga berkedudukan di Tiongkok bagian timur, khususnya di Beijing dan Shanghai. Banyaknya lembaga think tank ini melahirkan asosiasi lembaga yang sering kali melakukan kolaborasi dalam penelitian untuk kemudian memberi masukan kepada policy makers.
Tantangan yang dihadapi oleh lembaga think tank di Tiongkok adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi negara ini yang mendorong tingginya kebutuhan (demand) policy makers untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi-regulasi untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat mendukung kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Khusus untuk Kota Shanghai, tantangan lainnya adalah rendahnya pertumbuhan penduduk yang berdampak pada rendahnya supply tenaga kerja dari dalam daerah. Dengan demikian Shanghai tergantung pada daerah lain untuk memenuhi posisi tenaga kerja. Hal ini berdampak pada kebijakan dan regulasi yang diterapkan pada warga asli, pendatang maupun warga sementara. Ke depannya pemerintah Shanghai akan menerapkan kebijakan yang sama untuk semua jenis warga tersebut, termasuk dalam hal social security coverage.
Professor Quan Heng (Deputy Director of World Economic) memberikan beberapa tips bagi lembaga think tanks Indonesia dalam melakukan advokasi kepada policy makers:
- Bangun hubungan baik dengan pemerintah dan gunakan mindset ekonomi: prinsip supply-demand. Di Tiongkok juga ada kompetisi antar-lembaga think tanks dalam memperebutkan sumber daya (termasuk pendanaan dari pemerintah). Hal yang terpenting adalah menjaga agar supply meets demand. Namun pemerintah Tiongkok sedang membutuhkan banyak masukan dari lembaga think tank, oleh karena itu tidak ada kekhawatiran berkurangnya demand.
- Berikan penjelasan yang detil mengenai kemana national budget mengalir dala konteks perencanaan jangka menengah dan panjang.
- Banyak scholarship terkait dengan policy making yang dapat diraih.
- Menjaga kualitas think tank melalui transparansi (kebijakan/penelitian dan prosesnya). Pada setiap akhir dari suatu kegiatan penelitian akan ada proses re-valuation yang akan menentukan apakah riset yang dihasikan tersebut obyektif dan berkualitas atau tidak, dan pada akhirnya akan menentukan repotasi lembaga think tank yang bersangkutan.
- Manfaatkan media sosial dan media massa karena seringkali pemerintah tidak mengenal peneliti atau bahkan lembaganya, namun individu di pemerintahan merupakan pembaca media massa (dan pengguna media sosial).
Untuk menentukan apakah suatu topik penelitian memiliki prospek yang baik atau tidak untuk meningkatkan citra lembaga, atau apakah lembaga harus mengambil suatu topik penelitian tertentu yang belum dilakukan oleh siapapun, SASS hanya akan merespon kebutuhan pemerintah yang akan “melihat ke horizon”, tantangan ke depan dan terkait dengan arah kebijakan.
Indonesia sendiri memiliki sekitar 27 lembaga think tanks yang cenderung independen. Sejarah lahirnya lembaga think tanks di Indonesia diawali dengan berdirinya CSIS di tahun 1970-an. Menurut Medelina dari CSIS, untuk konteks Indonesia, paling tepat menggunakan website sebagai media untuk mendiseminasikan produk penelitian, untuk mempengaruhi opini publik dan penentu kebijakan. Hal ini bisa jadi karena cenderung sulit untuk masuk ke media massa, apalagi pada suasana politik dimana media cenderung memihak/tidak netral.
Independensi pendanaan bagi lembaga think tank sangat penting untuk reputasi lembaga menurut Professor Li Lin dari Think Tank Research Center, SASS. Oleh karena itu, lembaga think tank harus transparan mengenai dari mana asal dana penelitiannya. Ia mencontohkan di AS, hampir semua dana berasal dari sektor privat. Sebaliknya, di Jerman justru pendanaan merupakan kewajiban pemerintah untuk menjaga independensi lembaga. Dia juga menambahkan bahwa kompetisi (dalam mendapatkan sumber daya termausk pendanaan) merupakan tekanan yang baik bagi lembaga think tank agar memiliki rangsangan untuk inovasi.
Meskipun banyak lembaga yang secara finansial mendapat dukungan dari pemerintah, namun mereka independen dalam menentukan research agenda masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menjaga obyektifitas hasil penelitian dan rekomendasi yang diberikan. Dalam seminar ini hampir semua nara sumber berkali-kali menekankan bahwa sebuah lembaga think tank harus:
- menghasilkan penelitian yang berkualitas dengan topik yang up-to-date
- transparan, dimana lembaga ini harus dapat menjelaskan kepada publik sumber dana penelitiannya dan biarkan publik yang menilai seberapa independen hasil penelitian tersebut
*Peneliti dan Konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
[/restab][/restabs]