Telah Terselenggara Seminar dan Workshop Peran Kepala Dinkes,
Direktur RS dan Komite Medik untuk mencegah Fraud di JKN
15 Maret 2014
Sesi Pararel 1 | Sesi Pararel 2 | Sesi Pararel 3
Reporter: Widarti, SIP
Seminar dan Workshop Peran Kepala Dinkes, Direktur RS dan Komite Medik untuk mencegah Fraud di JKN dalam rangka Annual Scientific Meeting (ASM) dan Dies Natalis FK UGM Ke-68 telah digelar pada Sabtu (15/3/2014) di FK UGM. Acara ini merupakan kerjasama antara PKMK FK UGM dan RSUP Dr. Sardjito. Prof. Laksono Trisnantoro selaku board PKMK menyampaikan definisi fraud yaitu pelanggaran hukum atau penipuan, melambungnya biaya kesehatan, contoh fraud kesehatan: upcoding, tagihan fiktif, debundling, dan sebagainya. Fraud ini dikhawatirkan akan membuat BPJS membayar klaim lebih besar dari seharusnya. Hal yang akan terjadi jika tanpa pencegahan, kerugian akan membesar.
Ada beberapa skenario fraud dalam JKN ini, skenario A-tidak terjadi fraud, skenario B- terjadi fraud namun tidak ada penegak hukum, skenario C- terjadi fraud dan ada penegak hukum. Kekhawatiran yang mungkin muncul: masyarakat tidak percaya pada diagnostik, karena hal itu dilakukan karena sakit atau kebutuhan atas fee for service dokter. Sisi negatifnya, dokter bisa masuk penjara karena fraud. Sementara, sisi positifnya-akan dilakukan pencegahan fraud.
Prof. Adi Utarini (Wadek III FK UGM) menyampaikan pengantarnya, forum ini akan digunakan untul mempelajari, memerangi ketidaktahuan atas fraud di JKN. Jika kita berpikir positif, tidak ada yang berniat untuk melakukan kriminal, ungkap Prof. Adi. Saya rasa kita perlu mengangkat kembali peran wasit dalam pelaksanaan JKN, untuk siapa yang ditunjuk bisa kita putuskan nanti, tambah Prof. Adi. Prof. Adi juga menyampaikan terima kasih untuk peran panitia ASM dan PKMK dalam pelaksanaan.
Sesi Panel dimoderatori oleh Prof. Laksono Trisnantoro. Panelis pertama ialah dr. Hanevi Djasri, MARS yang memaparkan tentang Fraud dalam JKN di Indonesia. Spektrum dalam fraud : error input data-waste-abuse-fraud. Bentuk-bentuk fraud cukup beragam, antara lain: mengklaim pelayanan yang tidak diberikan, mengklaim layanan yang tidak ditanggung asuransi, mengklaim tagihan yang seharusnya dibayar pasien, dan sebagainya. Fraud ini cukup mengagetkan karena potensi kerugian akibat fraud: 7,29% per tahun di dunia. Pendorong utama anti fraud meliputi: kesadaran bahwa fraud menggerogoti biaya untuk mengakses layanan kesehatan, adanya quality of care/patient safety, kesadaran dan perhatian media massa dan sebagainya. Poin yang ditekankan dr. Hanevi yaitu quality improvement atau mencegah lebih baik.
Panelis kedua ialah dr. Mohamad Edison, Kepala Sub Manajemen Fasilitas Kesehatan dan Utilisasi BPJS yang memaparkan Implemenrasi JKN dalam Pelaksanaan SJSN. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ialah siapapun mereka, yang bekerja enam bulan di Indonesia dan membayar premi-baik WNI maupun ekspatriat. Sementara, alur pelayanan kesehatan yang diakses peserta PBI dan non PBI: meliputi peserta-faskes tingkat pertama dan RS. BPJS sudah melaksanakan amanat UU, yaitu periode Januari-Februari klaim dibayar pada tanggal 15. Namun, masalahnya uang dari BPJS bisa sampai Puskesmas tidak? Belum lagi masalah tanda tangan dokter bisa dipalsu, maka butuh kejelian untuk melihat hal ini. Faktanya, unit anti fraud belum ada di BPJS, namun peran ini melekat di function. Fraud bisa terjadi di fasilitas kesehatan yaitu: upcoding, tagihan tanpa berkas, medical necessity, unblundling, false claim dan seterusnya. Fraud yang ‘bisa’ dilakukan peserta yaitu penggunaan kartu tidak berlaku, pelayanan tidak sesuai prosedur, dan lain-lain.
Drs. Ponco Respati Nugroho, M. Si, Sekretaris DJSN menjadi panelis ketiga dan memaparkan DJSN: Pengawasan dan Potensi Fraud.
BPJS disinyalir terancam fraud saat pengalihan aset dari PT. Askes. JKN mengamanatkan seluruh warga mendapatkan akses layanan kesehatan, lalu siapa yang mengawasi? Problem terbesar yang dihadapi ialah belum meratanya fasilitas kesehatan. DJSN bersama OJK dan BPK melakukan pengawasan eksternal pada pelaksanaan JKN.
Diskusi:
Budi Santosa, RS Soeradji, Klaten, RS sering melakukan abuse tanpa sengaja misalnya diagnostik dibolak-balik karena National Casemix Center (NCC) masih memberi aturan abu-abu. Prof Laksono memberikan pendapatnya, yaitu sistem yang mendorong terjadinya fraud. BPJS wasitnya National Casemix Center (NCC) dan kita hanya menyampaikan dugaan fraud. NCC ini yang merumuskan tarif INA CBG’s yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Kurang lebih 300-an tarif dinilai lebih rendah dari tarif lama (SK Mentri). P2JK melakukan konfirmasi dan tim NCC ketuanya masih dr. Bambang Wibowo, dalam proses SK Mentri NCC menjadi ex oficio P2JK sehingga ke depan, ketuanya ialah Donal Pardede. Prof. Laksono menambahkan, betul tidak aturan INA CBG’s akan mendorong adanya fraud?
Ambo Sakka, peserta blended learning fraud mempertanyakan bagaimana peran Kadinkes, Dir. RS dan komite medil? Hal yang terpenting ialah edukasi atas fraud ini. Drs. Ponco menjawab, kami melihat secara luas, dari BPJS ada potensi kita lihat pasti ada penanganan. Aspek edukasi memang sangat penting. BPK, Kepolisian dan lain-lain bekerja sesuai norma-normanya. Lalu, dr. Mohamad menyatakan pengalihan aset, investasi, dugaan fraud dan ini positif untuk manajemen. Kami melakukan edukasi berkelanjutan.
Kementrian Kesehatan memiliki jadwal tetap yaitu hari Rabu pukul 13.00 WIB untuk koordinasi Sekretariat Gabungan yang membahas seluruh masalah yang terjadi. NCC sangat membutuhkan masukan dari organisasi profesi. Hal yang masih dipertanyakan dr. Hanevi ialah rumus perhitungan INA CBG’s, apakah melihat clinical pathway dan unit cost RS pemerintah dan swasta? Desain sistemnya masih cenderung mendorong fraud.
Acara kali ini juga diikuti peserta dari luar UGM melalui aplikasi GoToWebinar. Beberapa peserta mengajukan pertanyaannya, Agustian, Jakarta: fraud harus diatasi dengan pencegahan dan penindakan untuk memberi efek jera. Prof. Laksono, kita perlu KPK dan Bareskrim (di setiap Polda) untuk menindak ini. Lalu, Firman, Bima menyatakan kita perlu verifikator internal, KPK sangat terbatas tenaganya. Disusul Nurdian Fahrudi yang menyatakan regulator belum menangkap kebutuhan layanan. Tambahan yang penting dari dr. Hanevi, jika mengetahui adanya fraud namun tidak melapor maka ini disebut fraud juga (meskipun diam saja). Jadi, perlu ditegaskan komplemen verifikasi yang dinilai apa?
Laksmi Amalia, peserta blended learning mempertanyakan sudah ada fraud namun belum ada efek jera. Apakah sudah ada peraturan yang menegaskan definisi fraud dan korupsi secara legal. Hasil MoU mekanisme dan pengawasan OJK-DJSN-BPK, follow up per enam bulan seperti apa?
Drs. Ponco, KPK mengkaji awal implementasi pada Oktober 2013 lalu mengingatkan DJSN ada potensi fraud, maka dengan perspektif itu kami melangkah. DJSN-OJK terikat dalam MoU: berbagi tugas masing-masing dengan indikator/instrumen yang sama. Bagaimana BPJS menginvestasikan dana, OJK bertanggung jawab keberlangsungan keuangan. DJSN-pencapaian kinerja BPJS, manfaat dan sebagainya. Aspek persinggungan DJSN dan OJK. BPK sebagai lembaga tersendiri, tidak terikat dengan OJK dan DJSN. Area fraud dalam Jamkes luas dan regulasinya abu-abu. Kesimpulannya implementasi JKN harus berjalan di tahun 2014, mempunyai tujuan pemerataan pelayanan kesehatan. Potensi terjadinya fraud: fraud sudah terjadi. Verifikasi harus 15 hari dan terjadi pembayaran.