Pada sesi diskusi terungkap bahwa definisi operasional untuk berbagai indikator di atas sudah disusun sejak framework ini dibuat di awal program. Namun dalam perjalanannya, beberapa definisi mengalami penyesuaian. Kedepannya hal ini akan dievaluasi kembali oleh Tim SH. Prof. Laksono menempatkan fokus pada terjadinya perpindahan lokasi kematian dari masyarakat ke RS. Ia menanyakan mengapa hal ini terjadi; apakah karena RS tidak siap atau memang mutu pelayanannya yang harus diperbaiki. Ia berharap RS Mitra A menelusuri kembali berbagai kemungkinan penyebab dari kematian-kematian tersebut. Selain itu, pada kesempatan ini Prof. Laksono juga menyampaikan bahwa salah satu upaya advokasi ke Pemerintah Pusat (Dirjen BUK). Upaya yang dimaksud yaitu agar ada anggaran dari pemerintah pusat bagi RS-RS besar untuk melaksanakan assignment berupa pembinaan pada RS daerah terpencil dan puskesmas.
Dr. Slamet Riyadi turut memberikan masukan bahwa 41% kematian ibu terjadi di RS pemerintah. Masalah terbesar adalah belum siapnya rumah sakit dan puskesmas. AMP menjadi semakin penting untuk menelusuri penyebab kematian tersebut dan berdasarkan hasil AMP pemerintah bisa mengambil kebijakan maupun langkah konkritnya. Dr. Slamet sepakat untuk menggunakan angka absolut (bukan rate) untuk menghitung angka kematian ibu dan bayi. Dr. Slamet juga menekankan bahwa ini merupakan masa yang sangat penting dalam exit strategy dan diharapkan bisa direplikasikan di tempat lain.
Ia sependapat dengan Dr. Stefanus sebelumnya bahwa pemerintah sudah cukup banyak melakukan intervensi pada layanan kesehatan primer. Dalam jangka pendek untuk menghadapi MDGs, maka layanan di RS yang harus dibenahi. Oleh karena itu, RS harus siap meghadapi perubahan-perubahan tersebut dan untuk itulah diperlukan exit strategy sebagai bahan untuk advokasi ke pemerintah pusat. Selanjutnya, Dr. Slamet menggarisbawahi beberapa pointdalam pelaksanaan kegiatan SH ini, yaitu:
- harus ada niat yang tulus dari semua pihak yang terlibat
- sistem informasi dikembangkan meskipun yang manual
- upayakan agar antara Mitra A dan B setara
- telemedicine sangat penting untuk daerah remote, tinggal bagaimana membiasakan dan menyiapkan SDMnya
- unit cost pengiriman dokter spesialis atau PPDS perlu dihitung dengan benar
- pendekatan pada institusi pendidikan agar lebih banyak yang terlibat sebagai “sister”
Ia menambahkan bahwa harus ada kesadaran dan kemauan dari RS Mitra A dan Fakultas Kedokteran bahwa program ini tidak semata untuk menolong RS Mitra B atau daerah, melainkan juga untuk membantu proses pendidikan dokter spesialis. Terkait dengan hal tersebut, menurut Prof. Laksono perlu ada kemitraan yang kuat antara RS Mitra A dan RS Mitra B agar menjadi tim yang tangguh dengan regulasi dan aspek hukum yang jelas. Artinya, tim ini harus berada pada unit yang jelas di RS, misalnya Diklat, bukan sekedar Pokja biaya yang sifatnya temporer.
Lebih lanjut Prof. Laksono mengatakan bahwa genderang perang melawan kematian ibu dan bayi semakin kencang ditabuh. Dengan kondisi ini, semua pihak yang terlibat perlu untuk menggarisbawahi kegiatan ini bukan seperti proyek biasa yang akan dikerjakan jika dana masih banyak, dan fase terminasi ditandai dengan delivery laporan kegiatan dan keuangan, lalu tidak ada tindak lanjut. Exit strategy diharapkan bukan sekedar tutup buku. Prof. Laksono menjanjikan bahwa UGM akan terus men-support dengan model-model manajemen apa saja yang bisa diterapkan. RS Mitra A perlu secara lebih optimal memanfaatkan teknologi komunikasi jarak jauh yang telah disiapkan oleh Pusdatin untuk menggiatkan kembali support kepada RS Mitra B.