Rumah sakit swasta yang sebelumnya mundur dari KJS mengungkapkan alasan mereka mengambil langkah itu. Salah satunya, tarif pengobatan yang berlaku saat ini menggunakan paket Indonesian Case Based Group’s (INA CBG’s).
Dalam sistem itu, pembayaran klaim kesehatan maksimal 75 persen dari tagihan. Hal itu berdasarkan aturan dari PT Askes sebagai perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan Pemprov DKI untuk program ini.
Untuk diketahui, sistem INA CBG’s mulai diterapkan di DKI per 1 April lalu. Sebelumnya, saat KJS baru diluncurkan sistem pengobatan bebas, sehingga tagihan dapat dibayar 100 persen. Anehnya, meski baru berlaku, sistem itu berlaku surut sejak KJS diluncurkan.
“Karena program Jamkesmas pada waktu itu adalah kecukupan dananya tertentu, sehingga yang diberlakukan baru 75 persen dari hitungan kami. Dan pada prinsipnya selama ini tarif itu di kelas III itu masih subsidi. Kalau terjadi di Jakarta ini sangat jauh berbeda, padahal di 500 rumah sakit swasta di berbagai kota itu bisa menjalankan, ini yang perlu diteliti,” ujar Wakil Ketua Nasional Center for Casemix (NCC), Achmad Soebagyo di Gedung DPRD Jakarta, Kamis (23/5).
Meski demikian, Achmad masih akan meneliti standar tarif pengobatan di Jakarta. Caranya, dengan mengumpulkan rumah sakit yang keberatan dengan sistem ini. Dalam pertemuan dengan rumah sakit ini, dirinya akan mempertanyakan biaya pengobatan di setiap rumah sakit tersebut berdasarkan penyakit.
“Jangan tarif. Itu beda. Karena tarif kan mungkin ada tambahan biaya lain. Unit cost itu yang harus diteliti. Kalau mau diteliti itu harus dari unit costnya terdiri dari apa aja sehingga terjadi gabungan sedemikian rupa. Ada juga kelas rumah sakit yang lebih tinggi tapi masih di posisi rendah jadi dapatnya rendah,” terangnya.
Sebenarnya, kata Achmad, di DKI tidak ada persoalan tentang dana. Tapi kalau memang sistem ini membuat rumah sakit takut biaya klaim akan terhambat, maka evaluasi memang harus dilakukan.
“Ini memang seperti kata pak Wagub akan mengevaluasi. Kalau kurang ya itu ada buktinya kurang di mana,” tegasnya.
Sebenarnya, sistem INA CBG’s sudah berlaku pada program Jamkesmas di 1.200 rumah sakit di seluruh Indonesia yang sebagian besar 500 rumah sakit swasta. Dengan sistem ini, pengobatan akan dibuat pake. Misalnya, seseorang yang sakit usus buntu tanpa komplikasi, maka paket obat yang disediakan sudah ditentukan. Dengan hal ini, diharapkan bisa mengendalikan biaya dan tak akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan itu sendiri.
“Pada waktu dulu belum ada program Jamkesmas rumah sakit itu nombokin sendiri. Dan di situ kita tidak turunkan mutu. Nah dengan adanya program ini mungkin ketercukupan tidak harus turunkan mutu. Tapi kita usahakan tarif itu cukup. Nah biasanya rumah sakit lakukan cross subsidi. Misal kelas A dan B menutupi kelas III tadi,” jelasnya.
Penentuan standar pola pelayanan atau mutu atau yang disebut Clinical Pathway ditentukan oleh profesi dan rumah sakit masing-masing sesuai dengan sarana dan prasarana.
Masalah lain dengan diberlakukannya sistem ini adalah jasa dokter yang kurang.”Kalau saya kepala rumah sakit secara otomatis biasanya akan dibayarkan obat, sarana lain-lain dan setelah sudah, sisanya baru bisa dibagi sebagai jasa. Nah di sini memang jasa ini juga harus diatur standar nya. Kalau ada nanti bisa kita masukan dalam unit cost CBG’s sehingga lebih baik,” jelasnya.
Sumber: merdeka.com