Tidak ada sesuatu di dunia ini yang bebas dari pengaruh perubahan. Ada yang berhasil, ada yang gagal dan sebagian besar berada di salah satu titik pada skala Keberhasilan-Kegagalan. John P. Kotter pada suatu Artikel di Harvard Business Review menuliskan hasil pengamatannya terhadap lebih dari 100 perusahaan yang besar (seperti Ford) maupun yang kecil (seperti Landmark Communication). Menurutnya, pelajaran paling umum yang didapat dari perusahaan yang lebih berhasil adalah bahwa proses perubahan akan berjalan sebagai rangkaian dari beberapa tahapan yang membutuhkan waktu. Melompati tahapan hanya akan menimbulkan ilusi tingkat kecepatan proses transformasi. Pelajaran kedua adalah kesalahan yang kritis bisa menghasilkan dampak yang sangat efektif dalam memperlambat momentum dan mengecilkan arti keberhasilan yang sudah didapat dengan susah payah.
Menurut Kotter, ada delapan langkah dalam mentrasformasi sebuah organisasi yang dapat ditunjukkan melalui bagan berikut.
Kotter menduga bahwa kemungkinan terjadinya error adalah karena pengalaman kita yang masih kurang dalam pembaharuan organisasi, dimana bahwa pada oyang yang sangat kompeten pun kesalahan bisa saja terjadi.
Error #1: Sense of Urgency yang dibangun kurang besar
Kedengarannya mudah, namun sebenarnya tidak. Lebih dari 50% organisasi gagal pada fase ini. Penyebabnya karena sebagian manajer tidak menyadari betapa beratnya upaya menggerakkan orang-orang agar keluar dari comfort zone mereka masing-masing, sehingga memandang remeh upaya untuk itu. Setiap perubahan membutuhkan pemimpin. Namun dalam banyak kasus, proses perubahan lebih banyak dikelola oleh manajer sedangkan jumlah pemimpin sangat kurang. Padahal dari sudut pandang manajer, tanggung jawabnya adalah untuk meminimalkan risiko dan menjaga agar sistem yang ada saat ini berjalan dengan efektif. Sebaliknya, transformasi pasti membutuhkan dibuatnya system baru, dimana pembuatan sistem baru ini pasti membutuhkan adanya kepemimpinan.
Tranformasi akan mulai dengan baik jika organisasi memiliki pemimpin yang baru, yang mampu melihat kebutuhan akan perubahan yang besar. Jika target pembaharuan adalah keseluruhan organisasi, maka CEO/Direktur Utama/Kepala Kantor adalah kuncinya. Jika target pembaharuan adalah divisi atau bagian, maka Kepala Divisi/Kepala Bagian adalah kuncinya. Jika individu-individu kunci ini bukan great leaders, atau change champions, fase pertama ini akan menjadi suatu tantangan yang sangat besar bagi organisasi.
Error #2: Tidak membentuk Koalisi Pengarah yang cukup kuat
Organisasi yang gagal di fase ini biasanya adalah yang meremehkan sulitnya melakukan perubahan dan juga membentuk koalisi yang kuat. Organisasi yang gagal biasanya juga tidak memiliki sejarah adanya kerjasama tim di manajemen puncaknya sehingga memandang rendah nilai koalisi ini. Upaya-upaya perubahan yang tidak diarahkan oleh koalisi yang kuat awalnya bisa saja menampakkan progress yang baik. Namun cepat atau lambat, orang-orang yang anti perubahan akan mengambil alih situasi dan menghentikan perubahan tersebut.
Di organisasi yang kecil maupun besar, tim pengarah bisa terdiri dari tiga sampai lima orang saja. Namun menurut Kotter, pada organisasi yang besar jumlah anggota tim ini harus segera bertambah menjadi 20 atau 50, sebelum perubahan mencapai fase ketiga. Anggotanya bisa berasal dari dalam atau dari luar organisasi, senior managers dan bukan senior managers. Dnegan komposisi ini, maka tim akan bekerja diluar kenormalan organisasi. Ini masuk akal, sebab untuk menghasilkan output yang luar biasa diperlukan upaya dan cara-cara yang juga luar biasa.
Error #3: Tidak ada Visi
Pada upaya transformasi yang sukses biasanya ada koalisi pengarah yang dengan mudah mengkomunikasikan mengenai gambaran masa depan yang hendak dicapai kepada pengguna, stakeholders dan karyawan. Aturan umum: jika anda tidak dapat mengkomunikasikan visi pada seseorang dalam waktu kurang dari lima menit DAN mendapatkan reaksi yang menunjukkan adanya pemahaman dan ketertarikan, maka anda belum selesai dengan fase ketiga proses transformasi ini.
Pada organisasi yang gagal bertransformasi kita bisa menemukan banyak sekali rencana, instruksi dan program, namun tidak ada visi. Padahal tanpa visi semua upaya perubahan yang dilakukan tidak akan membawa organisasi mencapai tujuan perubahan.
Error #4: Efek yang berlipat ganda akibat kurang dikomunikasikannya visi perubahan
Ada tiga jenis pola komunikasi berdasarkan pengamatan Kotter. Pertama sebuah kelompok yang sebenarnya sudah membuat visi transformasi yang baik dan mengkomunikasikannya melalui pertemuan-pertemuan tunggal atau komunikasi tunggal. Ini hanya menggunakan 0.0001% dari total komunikasi internal organisasi secara tahunan tahunan. Pola kedua adalah direktur mengalokasikan cukup banyak waku untuk berceramah pada berbagai kelompok yang ada di organisasinya. Namun itupun tidak membuat sebagian besar karyawannya paham (tidak mengherankan, sebab hanya menggunakan 0.0005% dari total komunikasi internal organisasi secara tahunan). Pada pola ketiga, sebagian besar komunikasi dilakukan melalui newsletters dan pidato-pidato atau ceramah, namun beberapa eksekutif senior memperlihatkan perilaku yang justru kebalikan dari arah pencapaian visi. Hasilnya adalah munculnya kesinisan diantara para staf dan hilangnya kepercayaan pada komunikasi.
Eksekutif organisasi yang lebih berhasil biasanya berkomunikasi melalui aktivitas mereka dari jam ke jam, menggunakan semua saluran komunikasi yang ada untuk terus menerus menyampaikan visi. Mereka mengubah newsletter yang membosankan dan tak terbaca menjadi suatu artikel yang hidup dan menarik mengenai visi. Mereka mengubah rapat-rapat manajemen yang menjemukan menjadi diskusi yang menggairahkan mengenai transformasi. Pada diskusi rutin mengenai masalah operasional, mereka akan memaparkan mengapa sebuah usulan solusi tepat (atau tidak tepat) jika dimasukkan dalam perspektif yang lebih luas. Yang terpenting adalah apa yang dilakukan oleh para manajer yang lebih sukses, yaitu “walk the talk”. Komunikasi datang dengan berbagai bentuk, perkataan maupun tindakan. Tidak ada yang dapat merusak perubahan lebih efektif daripada perilaku orang-orang penting yang tidak konsisten dengan perkataannya.
Error #5: Tidak menyingkirkan hambatan pada visi baru
Pada separuh awal proses transformasi tidak ada satu organisasi pun yang memiliki momentum, kekuatan atau waktu untuk menyingkirkan seluruh hambatan. Yang harus dilakukan adalah menyingkirkan hambatan terbesar. Jika hambatan tersebut adalah orang, meskipun ia adalah seorang pada posisi penting, maka jauh lebih penting untuk memperlakukan orang tersebut secara fair dalam arti konsisten dengan pencapaian visi. Aksi merupakan hal yang esensial, baik untuk memberdayakan staf maupun untuk memelihara kredibilitas dari upaya perubahan sebagai suatu keseluruhan proses yang utuh.
Error #6: Tidak secara sistematik merencanakan untuk dan menciptakan kemenangan jangka pendek
Transformasi yang sesungguhnya membutuhkan waktu yang lama. Kebanyakan orang tidak suka melakukan long march kecuali mereka bisa melihat tanda-tanda awal dimana pada bulan ke-12 atau ke-24 ada hasil yang bisa dicapai sesuai harapan. Tanpa adanya kemenangan jangka pendek, orang-orang akan segera menyerah atau bergeser ke kubu yang menolak perubahan. Misalnya di RS terdapatnya jenis layanan baru, meningkatnya market share, meningkatnya rating kepuasan pengguna, menurunnya angka infeksi nosocomial dan sebagainya. Apapun kasusnya, hasil ini tidak boleh bersifat ambigu, bukan hanya sebuah judgement yang secara subyektif dapat dinafikan oleh pihak-pihak di kubu seberang.
Menciptakan kemenangan jangka pendek (aktif) berbeda dengan mengharapkan kemenangan jangka pendek (pasif). Para manajer tingkat menengah sering merasa tertekan dengan keharusan mencari cara untuk menciptakan kemenangan jangka pendek, namun tekanan tersebut justru penting pada upaya perubahan. Jika orang-orang mengetahui bahwa transformasi ini membutuhkan waktu yang sangat lama, maka sense of urgency bisa hilang dan motivasi menurun. Komitmen untuk menciptakan kemenangan jangka pendek (yang hasilnya bisa dinikmati bersama) akan bisa mencegah terjadinya hal tersebut.
Error #7: Terlalu cepat mengumumkan kemenangan
Selama 20 tahun pengamatan yang dilakukan oleh Kotter, ada beberapa persamaan yang terjadi pada proyek-proyek peningkatan mutu, peningkatan organisasi dan sebagainya. Biasanya masalah sudah dimulai sejak awal: tingkat urgency yang tidak cukup intens, tim pengarah tidak cukup kuat, visi tidak cukup jelas. Namun perayaan kemenangan yang prematur lah yang membunuh momentum perubahan. Ironisnya, keadaan ini juga sering dimanfaatkan oleh golongan anti perubahan, dengan cara ikut merayakan bersama-sama dan kemudian menghembuskan isu bahwa “perang sudah dimenangkan” dan proses sudah selesai. Hasil sudah ada. Kemudian proses perubahan pun berhenti sebelum waktunya dan semua orang kembali ke kondisinya masing-masing seperti sebelum proses perubahan berlangsung.
Manajer yang sudah sukses, pada tahap ketujuh ini biasanya akan memanfaatkan kredibilitas yang diperoleh dari keberhasilan jangka pendek tersebut untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Jadi keberhasilan jangka pendek bukan akhir dari proses perubahan, melainkan satu tahap pencapaian yang harus segera diikuti dengan pencapaian berikutnya. Manajer seperti ini akan menaruh perhatian lebih besar pada siapa yang dipromosikan, siapa yang direkrut dan bagaimana orang-orang dibangun. Jumlah orang yang dilibatkan lebih banyak, scope pekerjaan lebih besar dan luas dibandingkan pada tahap sebelumnya. Mereka sangat memahami bahwa perubahan ini bukan dalam hitungan bulan melainkan tahun.
Error #8: Tidak menanamkan perubahan pada budaya organisasi
Perubahan yang telah dibuat harus tertanam dan mengalir di urat nadi organisasi, yang dapat dinyatakan dengan “the way we do things around here”. Ada dua faktor penting menurut Kotter untuk menginstitusionalisasi perubahan dalam budaya organisasi.
Pertama, pimpinan harus membantu menunjukkan hubungan antara pendekatan, perilaku dan sikap terhadap pencapaian yang meningkat. Jika staf dibiarkan menafsirkan sendiri hubungan tersebut, bisa jadi akan muncul kesimpulan yang keliru. Misalnya jika ada figur pemimpin yang kuat saat memimpin perubahan, maka orang cenderung akan menafsirkan bahwa figur itulah yang membuat perubahan tersebut berhasil, bukan karena upaya bersama. Jadi saat figur tersebut hilang (pindah jabatan, pensiun) maka seakan-akan efek perubahan (peningkatan performance) ikut hilang. Membantu staf untuk memahami hubungan yang benar antara pendekatan, perilaku dan sikap terhadap kinerja organisasi membutuhkan komunikasi.
Kedua, meluangkan waktu yang cukup untuk memastikan bahwa para calon pimpinan puncak berikutnya benar-benar memahami esensi dan mewujudkan pendekatan baru tersebut. Jadi suksesi kepemimpinan baru juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan pendekatan baru yang telah dirancang selama tahunan. Suatu suksesi yang buruk bisa menafikan hasil satu dekade kerja keras. Keputusan suksesi yang buruk bisa terjadi karena board (atau pemilik, atau pengambil keputusan tertinggi) bukan merupakan bagian yang integral dari upaya perubahan tersebut.
Masih ada banyak kesalahan lain yang dilakukan, namun Kotter berpendapat bahwa delapan kesalahan diatas adalah yang terbesar. Di atas kertas berbagai hal tersebut terlihat lebih sederhana. Namun di dunia nyata, transformasi yang sukses pun dalam prosesnya bisa kacau dan penuh kejutan. Visi yang jelas dan terkomunikasi dengan baik yang akan menyelamatkan dan memberikan arahan pada semua orang untuk melalui perubahan yang besar tersebut dan mengurang angka kesalahan.
Tulisan terkait: