Perlindungan Anak dari Kekerasan Selama COVID-19
Community of Practice for Health Equity
https://www.freepik.com/
Kekerasan anak didefinisikan sebagai segala bentuk kekerasan terhadap individu berusia di bawah 18 tahun dan merupakan masalah yang terdapat di seluruh belahan dunia. Mayoritas kekerasan terhadap anak mencakup penganiayaan secara fisik, seksual, maupun psikologis. Sekitar setengah dari seluruh anak – anak di dunia mengalami hukuman fisik di rumah; 3 dari 4 anak berusia 2 sampai 4 tahun mengalami kekerasan disipliner dari orang tua atau pengasuh mereka; setengah dari siswa berusia 13 sampai 15 tahun mengalami kekerasan dari teman sebayanya di sekolah; dan 1 dari 3 remaja perempuan berusia 15 sampai 19 tahun telah menjadi korban kekerasan pasangan (secara intim). Sedangkan kekerasan emosional atau psikologis termasuk membatasi kebebasan anak, ejekan terhadap anak, ancaman dan intimidasi, diskriminasi, penolakan, dan pengasingan. Penelantaran anak juga merupakan bentuk kekerasan anak yang kerap kali ditemui.
Kasus kekerasan anak di seluruh dunia meningkat seiring dengan terjadinya pandemi COVID-19. Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), terdapat lebih dari enam ribu kasus kekerasan anak sejak 1 Januari hingga 19 September 2020. Menurut survei oleh Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) pada 8 – 14 Juni 2020, dari 25.164 responden anak dari 34 provinsi, 60.4% anak mengalami kekerasan fisik dari ibu, 36.5% dari saudara, dan 27.4% dari ayah mereka. Bentuk dari kekerasan fisik mencakup mencubit, memukul, menarik telinga, dan menarik anak secara paksa. Adapun 79.5% anak dalam survei tersebut mendapatkan kekerasan psikologis dari ibu, 42% dari ayah, dan 20.4% dari saudara mereka.
Faktor – faktor yang menyebabkan peningkatan kasus kekerasan anak selama masa pandemi COVID-19 antara lain (1) hilangnya perlindungan dan pengasuhan orang tua atau pengasuh. Anak – anak yang orang tua atau pengasuh mereka meninggal, sakit, atau terpisah oleh alasan lain memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dari orang lain, penelantaran, dan eksploitasi anak. (2) Ketidakpastian ekonomi dan isolasi sosial meningkatkan ketegangan di rumah. Selain itu, peningkatan tanggung jawab ibu dalam mengasuh anak yang terkarantina di rumah juga dilaporkan merupakan faktor dari kekerasan terhadap anak. Menurut data dari KPAI, fenomena ini didasari oleh ketimpangan tanggung jawab antara ibu dan ayah dalam mengasuh anak. Ibu yang sedang mengalami tekanan mental dan fisik rentan frustrasi saat melihat anak – anak melakukan aktivitas yang tidak produktif di rumah dan beranjak melakukan kekerasan. Anak – anak yang sebelum pandemi ini telah mengalami kekerasan juga terancam mengalami peningkatan insidensi kekerasan.
Kekerasan terhadap anak harus disikapi dengan tegas karena kekerasan dapat mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraan anak secara jangka panjang. Dampak langsung dari kekerasan fisik, seksual, maupun mental antara lain dapat menyebabkan kematian, luka parah, kelainan dalam perkembangan kognitif anak. Sedangkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan anak yang mengalami kekerasan antara lain menimbulkan mekanisme coping yang negatif dan perilaku yang mengancam kesehatan, meningkatkan risiko terjadinya kehamilan dibawah umur, dan meningkatkan risiko beberapa non-communicable disease. Selain itu, kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi status sosioekonomi mereka di masa depan karena anak – anak yang terekspos kekerasan lebih sering memilih untuk keluar dari sekolah, kesulitan mencari pekerjaan, dan rentan menerima kekerasan (victimization) atau melakukan kekerasan di saat dewasa.
Pada pandemi ini, upaya prevensi dan kontrol kekerasan terhadap anak serta akses terhadap pelayanan perlindungan anak terhambat karena adanya pembatasan sosial dan daerah. Sebelum pandemi ini, anak-anak dapat bertemu dengan tidak hanya orangtua atau pengasuh utama mereka, tetapi juga keluarga besar, guru, pekerja sosial perlindungan anak, dan orang dewasa lain di sekitar lingkungan mereka. Namun sekarang anak-anak mungkin hanya bertemu dengan orang dewasa di luar keluarga inti mereka secara daring atau bahkan tidak sama sekali. Padahal, pengawasan dari berbagai pihak di sekitar anak merupakan prevensi dan kontrol utama dari tindak kekerasan anak. Selain itu, pelayanan kunjungan rumah oleh petugas kesehatan juga sempat terhenti di berbagai wilayah. Berbagai pembatasan ini menyebabkan banyak anak kehilangan wadah untuk mengadukan tindak kekerasan.
Menanggapi krisis ini, Kementrian PPPA kembali menyoroti urgensi dari pencegahan dan tanggapan terhadap kekerasan anak. Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dilakukan demi mencapai beberapa indikator. Pertama, perubahan norma atau pemahaman norma yang tidak mendukung, dengan cara mensosialisasikan norma – norma positif tentang anti kekerasan. Dalam hal ini, Kementrian PPPA telah melakukan penyebarluasan materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terkait perlindungan anak. Kedua, terwujudnya relasi yang aman untuk mencegah kekerasan, dengan cara membangun sistem dukungan dan pengendalian tingkat komunitas maupun keluarga. Upaya ini dilakukan dengan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang disesuaikan dengan protokol COVID-19 dan normal baru. Ketiga, adanya peningkatan pada keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan. Hal ini diusahakan melalui pengadaan wadah partisipasi anak, seperti Forum Anak Nasional (FAN), dimana anak – anak dan remaja yang tergabung dapat menyampaikan aspirasi mereka demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh anak di Indonesia.
Selain upaya pencegahan, diperlukan juga upaya tanggapan terhadap kekerasan anak yang efektif dalam mendeteksi, menolong, dan melindungi anak – anak korban kekerasan. Tujuan dari upaya ini adalah meningkatkan kepekaan masyarakat dalam mengetahui anak – anak korban kekerasan, mengadakan layanan untuk penerimaan laporan yang mudah diakses sehingga anak dapat segera mendapat pertolongan, dan pengadaan kerja sama yang efektif dengan berbagai lembaga, termasuk aparat keamanan dan lembaga swasta yang bergerak dalam perlindungan anak. Kondisi COVID-19 meningkatkan tantangan dalam mencapai SDGs 2016 – 2030 tujuan 16.2, yang berbunyi “Menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”. Namun, saat krisis ini terlewat, Indonesia akan memiliki sistem perlindungan anak yang lebih kokoh. (Giovanna Renee Tan)
Referensi
SIMFONI-PPA. Dari: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan (Diakses pada: 19 September 2020).
The Jakarta Post. (24 Juli 2020) Violence against children triggered by burden on mothers amid COVID-19: Survey. Dari: https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/24/violence-against-children-triggered-by-burden-on-mothers-amid-covid-19-survey.html (Diakses pada: 19 September 2020).
Tirto.id. (6 Juli 2020). Panduan Perlindungan Anak PATBM saat Pandemi COVID-19 dari KPPPA. Dari: https://tirto.id/panduan-perlindungan-anak-patbm-saat-pandemi-covid-19-dari-kpppa-fNWD (Diakses pada: 19 September 2020).
Tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia: konsep, target dan strategi implementasi. Cetakan 1 (2018). Bandung: Unpad Press.
UNICEF. (2020). Protecting Children from Violence in the Time of COVID-19 (2020) UNICEF DATA. Dari: https://data.unicef.org/resources/protecting-children-from-violence-in-the-time-of-covid-19-brochure/ (Diakses pada: 19 September 2020).
WHO. (2020). Violence against children. Dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-children (Diakses pada: 19 September 2020).