Rokok, Pemerintah Indonesia dan Kesenjangan Kesehatan
Fakta rokok erat kaitannya dengan berbagai penyakit sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat, namun merokok masih menjadi sesuatu yang wajar dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Biasanya, jika diketahui suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di penjuru negeri akan berdampak buruk pada kehidupan mereka, pemerintah seharusnya membuat kebijakan dan atau melakukan upaya untuk memperbaiki keadaan tersebut. Mungkin hasil dari tindakan tersebut tidak meperbaiki keadaan sepenuhnya, namun setidaknya bisa menjadi lebih baik. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan dengan data pada 2007 dan 2014 menunjukan jika dalam jangka waktu tujuh tahun tersebut, secara keseluruhan tidak ada perbaikan dalam konsumsi merokok di Indonesia.
Amalia B. et al. (2019) melakukan penelitian tentang konsumsi rokok di Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan keefektifan kebijakan dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan konsumsi rokok. Penelitian tersebut juga menggali tentang kesenjangan merokok di masyarakat. Data yang digunakan untuk penelitian tersebut diambil dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang dilakukan pada 2007 (IFL4) dan 2014 (IFL5). Data tersebut merepresentasikan 83% populasi di Indonesia. Secara singkat, analisa yang dilakukan pada jurnal Amalia B. et al. (2019) menyatakan prevalensi merokok di Indonesia tidak menurun antara 2007 dan 2014. Berdasarkan IFLS, pada 2007, populasi perokok mencakup 30.8%, yang tidak jauh berbeda dengan yang 2014 yang mencakup 31.9%. Dilihat dari segi demografis sosial di Indonesia, terlihat perbedaan kecenderungan untuk memulai dan berhenti merokok antar kelompok sosial ekonomi yang berbeda.
Kondisi dimana kurangnya progress terkait prevalensi merokok sesuai dengan penelitian yang ada sebelumnya, dimana ditemukan Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan populasi perokok terbanyak yang tidak menunjukan penurunan prevalensi merokok dari 2005 sampai 2015. Tren tersebut diduga berkaitan dengan kontrol tembakau yang buruk dari pihak pemerintah Indonesia, yang tidak mendirikan kebijakan yang menurunkan permintaan tembakau seperti negara yang lain. Perlu diperhatikan juga jika Indonesia merupakan anggota PBB yang tidak menandatangani WHO FCTC, dimana 168 negara lain di dunia sudah menyetujui traktat tersebut yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif tembakau.
Penelitian tersebut mendapati laki – laki berumur kurang dari 55 tahun dan kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah adalah faktor resiko terbesar untuk merokok di Indonesia. Pola kesenjangan merokok tersebut telah diteliti secara luas pada penelitian di negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang menunjukan adanya kecenderungan pada demografis sosial. Bukti menunjukan peningkatan harga tembakau mempunyai efek paling besar dari segi sosial ekonomi untuk memperkecil kesenjangan merokok. Sistem cukai tembakau yang berlapis – lapis di Indonesia telah menghasilkan harga rokok yang beragam dan menyebabkan perokok memilih jenis rokok yang terjangkau harganya dibanding berhenti merokok. Alhasil, harga rokok di Indonesia tetap terjangkau, termasuk untuk masyarakat muda. Perokok dengan edukasi yang tinggi mempunyai pengeluaran uang dan juga konsumsi rokok yang lebih tinggi, walaupun di sisi lain diperoleh data jika lulusan universitas mempunyai kecenderungan rendah untuk menjadi perokok. Hal ini diduga seseorang dengan edukasi tinggi mempunyai penghasilan lebih dan sanggup untuk mengeluarkan lebih untuk konsumsi rokok. Akan tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal tersebut.
Pengeluaran untuk rokok naik pada rentang 2007 dan 2014, dari segi tingkat per individu maupun per rumah tangga, dimana hasilnya tidak menunjukkan perbedaan walau setelah disesuaikan sesuai inflasi. Kondisi tersebut diduga dari terjangkaunya harga rokok di Indonesia. Kondisi tersebut sesuai dengan penilitian lain, dimana antara tahun 2003 dan 2006, harga rokok di negara berkembang menjadi terjangkau, termsuk di Indonesia. Pada tahun 2014, pajak tembakau di Indonesia hanya dikenakan 53.4% dari harga eceran jauh dibawah standar WHO 70%. Tidak akan memungkinkan untuk pemerintah Indonesia memenuhi standar WHO dikarenakan undang – undang cukai menentukan untuk tidak melebihi 57% dari harga dasar.
Walaupun pemerintah telah mendirikan peraturan mengenai tembakau dan implementasikan MPOWER pada jangka waktu tujuh tahun tersebut, angka perokok di Indonesia pada 2007 hingga 2014 tidak berubah. Malahan, jika kondisi disesuaikan dengan inflasi, pengeluaran uang dan konsumsi rokok meningkat diantara para perokok, tidak tergantung status demografis sosial. Indonesia tidak berkomitmen pada WHO FCTC, walaupun bukti menunjukan kalau implmentasi kunci WHO FCTC yang terkait tindakan menurunkan permintaan, terutama pajak dan kampanye kontrol tembakau, dapat menurunkan prevalensi perokok secara signifikan. Telah dilaporkan kalau semua tindakan MPOWER di Indonesia tidak dilakukan sesuai rekomendasi WHO FCTC.
Indonesia mempunyai objektif mengenai penghentian merokok melalui Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Akan tetapi peta jalan tersebut tidak berelaborasi secara spesifik untuk menghentikan rokok. Ditambah lagi, bantuan dalam penghentian dan medikasi tidak terjangkau untuk kelas bawah, karena hal tersebut tidak dicakup oleh jaminan kesehatan nasional. Penemuan tersebut menyoroti perlunya intervensi lebih lanjut untuk membuat dukungan pengentian merokok menjadi lebih terjangkau untuk semua pihak. (Eugeu Yasmin)
Referensi
Amalia. B., Cadongan. L. S., Prabandari. S. Y., Filippidis. T. F. (2019) Socio-demographic inequalities in cigarette smoking in Indonesia, 2007 to 2014. Preventive Medicine 123. pp.27-33