World Health Day diperingati pada 7 April tiap tahunnya. 2 tahun terakhir, WHO mengambil tema Universal Health Coverage (UHC). Menurut data WHO, banyak negara berkembang yang sudah mulai menerapkan UHC. Ini menunjukkan bahwa berbagai negara di dunia sudah menyadari pentingnya jaminan kesehatan bagi rakyatnya, karena bisa mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Ada lebih dari 100 juta penduduk yang menjadi jatuh miskin karena harus menanggung biaya pelayanan kesehatan. Jika pemerintah menanggung biaya pelayanan kesehatan dasar, setidaknya jumlah masyarakat yang jatuh miskin karena sakit bisa dikurangi.
Masih menurut data WHO, saat ini lebih dari separuh penduduk dunia belum terjamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar. Oleh karenanya, seluruh negara anggota WHO berkomitmen untuk mencapai UHC pada 2030.
Indonesia sejak 2014 sudah mulai struggling untuk menerapkan UHC. UU sudah mengamanatkan sejak 2004, namun baru bisa mulai terlaksana satu dekade kemudian. Itupun dengan berbagai kekurangan pada regulasi, sistem, provider, pengelola dana JKN dan sebagainya. Setelah berjalan selama lima tahun, semakin terlihat bahwa alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mendanai program ini semakin besar, karena coverage manfaat yang sangat luas – hampir tak terbatas – sedangkan premi sangat kecil. Jelaslah bahwa sebanyak apapun sumber daya yang tersedia tidak akan pernah cukup jika program JKN terlalu fokus pada upaya kuratif. Upaya promotif dan preventif perlu mendapat porsi lebih besar. Hasilnya tidak akan terlihat dalam jangka pendek bahkan menengah, namun dalam jangka panjang akan menguntungkan. Kesehatan masyarakat membaik, umur produktif lebih panjang, daya beli masyarakat meningkat, biaya pengobatan dapat ditekan, dan seterusnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, rumah sakit sebenarnya mempunyai peran penting dalam menyukseskan upaya promotif preventif. Bahkan kedua area ini merupakan tupoksi rumah sakit, selain area kuratif dan rehabilitatif. Hanya saja kedua area ini kurang menarik secara finansial sehingga jarang digarap secara serius. Rumah sakit lebih fokus mengembangkan inovasi pada pelayanan-pelayanan kuratif, karena secara nyata dan langsung bisa menghasilkan revenue bagi kelangsungan denyut cash flow RS, bahkan untuk berinvestasi.
Tantangan untuk meningkatkan revenue sembari memperbaiki mutu pelayanan secara terus – menerus (continuous improvement) seharusnya tidak menghalangi RS dalam melakukan upaya promotif dan preventif. Bahkan kedua upaya ini dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan utilisasi fasilitas, yang pada akhirnya mendatangkan pendapatan bagi RS. Tentu saja cara -cara yang digunakan adalah yang sesuai dengan perkembangan jaman, yaitu memanfaatkan teknologi. Tanpa pengetahuan dan skill mengenai teknologi bidang kesehatan maupun teknologi pendukung, RS akan kesulitan mengembangkan program – program promotif dan preventif yang bisa meningkatkan brand image RS itu sendiri.
Indonesia memiliki banyak sekali talents yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan startup, yaitu berbagai aplikasi menggunakan perangkat lunak yang dapat di-install di berbagai perangkat keras. Di luar sektor kesehatan, startup sangat berkembang. Perusahaan startup yang awalnya disebut sebagai unicorn (bernilai di atas USD 1 miliar) kini telah menjadi decacorn (bernilai di atas USD 10 miliar). Di kesehatan, situasi ini sudah mulai dikembangkan, namun belum optimal dan masih bersifat parsial. Sebagai contoh, RSU PKU Bantul, Yogyakarta mengembangkan aplikasi absensi karyawan melalui aplikasi yang bisa dipasang di telepon genggam masing – masing, sehingga tidak perlu antri menggunakan finger print. Selain menghemat waktu sehingga tidak menganggu jam kerja, aplikasi ini juga menyebabkan RS berhemat karena tidak perlu membeli mesin finger print yang sering rusak akibat digunakan terlalu sering. Namun sistem ini belum terkoneksi dengan sistem informasi SDM rumah sakit. Banyak juga RS sudah mulai memiliki aplikasi pendaftaran online. Namun sistem ini belum terkoneksi dengan sistem informasi di RS, sehingga saat tiba di RS pasien tetap harus mendaftar ulang dan tidak ada jaminan nomor urut pendaftaran dari sistem online masih bisa digunakan saat pendaftaran ulang.
Situasi di atas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dengan kemajuan internet belum secara optimal dimanfaatkan oleh dunia kesehatan, khususnya rumah sakit. Padahal, tanpa menguasai hal ini, ada potensi disrupsi yang besar yang bisa melanda RS. Di banyak RS negara maju, pasien menggunakan gelang elektronik yang selain menunjukkan status fungsi organ vital pasien, juga memiliki GPS sehingga bisa melacak keberadaan pasien. Ini diterapkan terutama pada pasien – pasien geriatri yang mengalami demensia, sehingga potensi pasien tersesat dan tidak ditemukan bisa berkurang. Di tempat lain, rumah sakit mengembangkan aplikasi sistem informasi obat untuk pasien, sehingga pasien dan keluarganya mudah untuk mengakses informasi tentang obat yang sedang dikonsumsi, pengingat waktu mengkonsumsi obat dan sebagainya.
Rumah sakit juga bisa memanfaatkan startup untuk meningkatkan upaya promotif dan preventif. Misalnya aplikasi untuk para penderita diabetes mellitus, yang membantu membimbing pasien mengenai cara hidup sehat, sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup meskipun mengidap DM. Aplikasi dapat diisi dengan informasi obat -obatan yang aman dan tidak aman dikonsumsi bersama dengan obat -obatan DM, pengingat jadwal minum obat dan jadwal konsultasi dokter, aplikasi menu diit yang terhubung dengan informasi resep menu dan nutrition fact tiap menu, olah raga untuk pengidap DM dan sebagainya. Demikian juga dengan aspek pelayanan lain di RS, semuanya bisa dibuatkan aplikasinya yang tujuannya memudahkan pasien mendapat informasi, bahkan berkomuniasi dengan petugas kesehatan di rumah sakit. Semakin banyak pasien atau masyarakat yang memasang aplikasi ini pada telepon pintarnya, maka akan semakin menarik bagi pemilik berbagai usaha untuk men-sponsori kegiatan tersebut, sehingga pada akhirnya aplikasi ini justru bisa mendatangkan revenue bagi rumah sakit.
Untuk mengedukasi masyarakat, RS bisa memproduksi berbagai video singkat – misalnya dengan aplikasi Youtube – yang rekaman dokter, perawat, nutritionis, fisioterapis dan sebagainya, yang memberi informasi seputar penyakit, terapi, tips hidup sehat dan sebagainya. Jika video dibuat dengan menarik, maka akan bisa mengundang sponsor untuk beriklan yang ditayangkan di sela – sela video tersebut. Pendapatan iklan bisa digunakan untuk memproduksi video atau program lain lebih lanjut, bahkan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang signifikan untuk mendanai program-program promotif dan preventif lainnya.
Kini sudah saatnya RS melepaskan diri dari jebakan pola pikir lama dan bergerak ke pola pikir baru yang berbasis pada pemanfaatan teknologi. Hanya rumah sakit yang siap yang bisa survive menghadapi era disrupsi. (Putu Eka Andayani)