Syahrudin Hamzah
Rumah Sakit Daerah (RSD), baik rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus, adalah salah satu garda terdepan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat mengingat keberadaannya menyebar di berbagai pelosok tanah air. Banyak sekali anggota masyarakat yang mengandalkan kebutuhan pelayanan kesehatannya kepada institusi milik pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota ini.
Tidak dapat dipungkiri, dalam satu dasawarsa terakhir, banyak RSD telah meraih kemajuan pesat dalam meningkatkan mutu pelayanannya, bahkan beberapa diantaranya mampu menjadi RS idola masyarakat.
Tentu saja sebagian besar dari RSD yang jumlahnya tidak kurang dari 700, dengan segala keterbatasannya, masih berjuang keras untuk menggapai kepercayaan manyarakat. Namun, secara umum kemajuan RSD tetap terlihat nyata dan hampir merata di semua daerah. Ke depan, tantangan dan beban RSD akan menjadi lebih berat, karena program Jaminan Kesehatan Nasional harus berjalan lebih baik dan tentu juga harus mampu berkompetisi di dunia industri RS yang semakin mengglobal.
Jika ditanya apa yang mendorong pencapaian positif RSD saat ini?, jawabannya tentu banyak faktor. Tapi menurut pengalaman dan pengamatan penulis ada dua faktor penting sebagai pendorong.
Pertama, faktor sistem yaitu diterapkannya Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) di RSD. Sistem PPK-BLUD telah memungkinkan RSD lebih fleksibel dalam mengelola keuangannya, tidak terlalu terikat dengan prosedur yang kadangkala kaku dan rumit. Terbukti, sekitar 70 persen RSD di daerah telah menerapkan PPK-BLUD, mengalami perkembangan cukup signifikan baik dalam pelayanan maupun kinerja keuangannya dengan menerapkan sistem ini.
Kedua, faktor kelembagaan, yaitu kedudukan RSD sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 dan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum itu, RSD merupakan unit kerja dari Dinkes (Dinas Kesehatan).
Dengan status ini, anggaran RSD misalnya, merupakan bagian langsung dari APBD. Perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan merupakan konsolidasi langsung di bawah otoritas keuangan Pemda. Maka, rentang kendali menjadi lebih pendek, prosedur lebih simpel, kewenangan lebih langsung dan lebih otonom. Dari sisi operasional ini sangat membantu RSD dalam merespon kebutuhan pelayanan dengan cepat dan efektif.
Potensi Rapuh
Nah, di tengah perkembangan ini dan saat RSD membutuhkan kelembagaan yang kuat untuk menghadapi tantangan berat ke depan, tiba-tiba saja kelembagaan RSD terancam menjadi rapuh. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 18/2016 tentang Perangkat Daerah, RSD tidak lagi berkedudukan sebagai SKPD, melainkan “hanya” sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Dinkes, ini berarti status kelembagaan RSD kembali ke era seperti hampir 20 tahun yang lalu.
Perubahan sifat kelembagaan ini tentu saja akan membawa konsekuensi yang signifikan bagi RSD, baik positif maupun negatif. Positifnya antara lain, jika RSD menjadi UPT maka perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan daerah akan menjadi satu “komando”, tidak ada nuansa “matahari kembar” untuk urusan pemerintahan yang sama. Koordinasi dan konsolidasi diharapkan lebih efektif, sehingga pencapaian program kesehatan daerah lebih mudah (walaupun faktanya di daerah ada satu urusan dilaksanakan lebih dari satu perangkat daerah, misalnya keuangan, pekerjaan umum, pertanian perkebunan dan lain-lain).
Di sisi lain, perubahan ini ternyata juga menimbulkan beberapa pertanyaan bagi sebagian pemerhati dan praktisi pelayanan kesehatan soal urgensinya. Apalagi jika dikaitkan dengan bidang tugas yang selama ini sudah diselenggarakan oleh kedua institusi daerah tersebut. Diskusi bisa panjang jika bicara soal pemisahan fungsi misalnya, siapa sebagai regulator dan siapa pula operator. Juga soal siapa yang melakukan fungsi preventif, promotif dan fungsi kuratif, rehabilitatif. Belum lagi soal organisasi, tata hubungan kerja dan lain-lain pasca perubahan. Pendek kata, penempatan RSD sebagai UPT Dinkes masih menyisakan beberapa pertanyaan soal alasannya. Apalagi hubungan koordinasi antara keduanya selama ini hampir tidak ada masalah dalam kerangka program kesehatan daerah.
Banyak kalangan akhirnya mengkhawatirkan dampak negatif dari perubahan ini (terutama dari sisi pengelolaan keuangan). Misalnya anggaran RSD menjadi bagian dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dinkes. Mekanisme perencanaan, pelaksanaan anggaran, termasuk laporan pertanggungjawaban keuangan RSD, merupakan bagian dari mekanisme dan laporan pertangungjawaban keuangan dinkes.
Mekanisme ini dinilai hanya akan “memperpanjang alur”, yang menjadikan pengelolaan keuanggan RSD kurang otonom, kurang simpel dan rentang kendali lebih panjang. Hal ini tentu mempengaruhi keleluasaan RSD dalam merespons kebutuhan pelayanan dengan cepat dan efektif.
Masalahnya perubahan ini sekarang sudah berkekuatan hukum tetap. PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah tentu tidak dapat berbuat banyak dalam menentukan kelembagaan RSD ini, karena UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, sebagai dasar PP dimaksud, tidak mencantumkan lagi RSD sebagai SKPD, bahkan nama RSD pun lenyap begitu saja dalam UU ini.
Dampak negatif tentu harus dihindari. Untuk itu, Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur tentang organisasi, tata hubungan kerja dan pengelolaan keuangan RSD pasca menjadi UPT, harus dapat menjabarkan dan merumuskan dengan tepat spirit dari amanat PP. Dalam hal pengelolaan keuangan misalnya, PP 18/2016 menggariskan agar RSD tetap otonom dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, baik bagi RSD yang telah menerapkan PPK-BLUD maupun RSD yang belum menerapkannya.
Dalam hal ini, beberapa praktisi pengelola keuangan RSD pernah menyampaikan usulan agar di dalam Perpres nanti terdapat pengaturan, bahwa anggaran RSD tetap menjadi bagian APBD, seperti selama ini, bukan bagian dari anggaran Dinkes. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa keuangan RSD secara volume relatif besar, perlu rentang kendali yang pendek dan sederhana untuk mendukung operasional pelayanan RSD yang kompleks dan spesifik. Pengelolaan keuangan RSD juga merupakan masalah teknis pendukung yang tidak seharusnya menjadi beban kerja baru bagi Dinkes yang sudah memikul banyak tugas berat. Program dan anggaran RSD secara kategoris juga berbeda dengan Dinkes dalam hal volume, peruntukan, tujuan dan target pencapaiannya. Oleh karena itu, dalam konteks APBD, anggaran RSD semestinya tidak menjadi bagian dari anggaran dinkes.
Selain itu, untuk menjaga mekanisme pengelolaan keuangan BLUD yang selama ini sudah berjalan baik, diusulkan juga agar ada pengaturan di Perpres, bahwa PPK-BLUD RSD disetarakan dengan PPK-BLUD- SKPD, walaupun RSD adalah UPT. Ini juga untuk menghindari terjadinya kerancuan dan dualisme otoritas adminstratif, misalnya siapa sebagai pengguna anggaran, siapa kuasa pengguna anggaran, dimana posisi bendahara, siapa pemegang legalitas transaksaksi keuangan RSD, konsolidasi laporan keuangan, tugas kepala Dinkes sebagai dewan pengawas BLUD RSD dan lain-lain.
Masalahnya, dapat dan cukup kuatkah kedudukan Perpres ini untuk mengecualikan beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan lainnya? Misalnya menempatkan anggaran RSD menjadi bagian langsung dari APBD, atau menetapkan BLUD-nya RSD yang disetarakan menjadi BLUD-nya SKPD ?. Menurut hemat penulis tentu dapat, karena Perpres ini sendiri adalah amanat PP. Apa yang diatur di dalamnya menjadi kuat dan mengikat karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lihat : UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pasal 8 ayat 2).
Semoga saja pengaturan dalam Perpres yang saat ini sedang disiapkan tidak membuat kelembagaan RSD menjadi rapuh dan memperlemah kapasitasnya untuk maju. Perubahan kelembagaan jangan sampai menimbulkan keguncangan dan kegaduhan yang tidak perlu di RSD, serta tidak pula menjadi beban baru yang berat bagi Dinkes. Kita butuh kinerja yang luar biasa dari kedua institusi pemda ini. Kelembagaan RSD tentu saja boleh berubah, tetapi haruslah dalam kerangka kepentingan masyarakat, dalam hal ini hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu.
Solo, akhir tahun 2017
Penulis adalah Wakil Direktur Keuangan
RSUD dr. Moewardi Prov. Jateng di Solo