Archive for 2016
Maksimalkan Peran JKN, PAN: Manajemen Rumah Sakit Mesti Transparan
Jakarta : Anggota DPR-RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Hang Ali Saputra Syah Pahan mempertanyakan transparansi biaya jasa dokter dan jasa non dokter yang diterapkan jajaran direksi rumah sakit milik Pemerintah Kota (Pemkot). Ali menilai ada hal yang tidak transaparan terkait pembagian jatah kesejahteraan tenaga kesehatan.
“Dokter-dokter kemarin aksi bilang perbaiki layanan JKN, tapi saya bilang ini ada yang tidak beres yaitu gak transparan dalam hal pembagian jatah kerja dan dana kesejahteraan bagi para dokter. Kenapa saya bilang begitu soalnya kebanyakan dari observasi saya menyatakan JKN bagus-bagus saja, tidak ada yang dirugikan baik pasien maupun pihak rumah sakit. Jadi pasti ada yang tidak transaparan nih,” terang Ali dalam wawancara bersama Radio Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (1/3/2016).
Untuk itu Ali mengharapkan para dokter dapat kritis mempertanyakan secara mendalam kepada jajaran terkait dalam pemenuhan kesejahteraan tim medis.
Seperti diberitakan sebelumnya ratusan dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) menyuarakan asprirasinya ke istana negara, Senin (29/2/2016) kemarin. Para dokter yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, konsultan, profesor di bidang kedokteran, dokter internship, hingga yang masih berstatus mahasisa ko-ass di fakultas kedokteran itu menuntut pemerintah agar memperbaiki sistem dan manajemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (LS/HF)
Sumber: rri.co.id
IDI: 80 Persen Dana BPJS Kesehatan Habis di Rumah Sakit
Jakarta – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti masih banyaknya persoalan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan memasuki tahun ke ketiga pelaksanaannya. Secara khusus, IDI menyoroti masih tingginya angka rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTL) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit.
Ketua Umum PB IDI, Prof Oetama Marsis, mengatakan, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan di FKTL, lanjut dia, menjadikan pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi naik tidak terkendali. Idealnya dalam pelaksanaan JKN, 80 persen kasus selesai di FKTP dan 20 persen kasus di FKTL. Dengan besarnya dana yang dihasilkan antara FKTP dan FKTL sama masing-masing 50 persen.
Namun, kata Marsis, data yang ada menunjukkan justru 80 persen dana habis di FKTL, dan hanya 20 persen di FKTP. BPJS Kesehatan sendiri mencatat, terdapat 20 kasus yang paling banyak di rujuk ke FKTL.
“Tingginya angka rujukan ini disebabkan karena bukan permasalahan kompetensi dokter saja, tapi juga dikarenakan tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di FKTP. Tidak sebandingnya beban dokter dan pasien yang dilayani dan kuranngnya jumlah FKTP juga menjadi salah satu sebab,” kata Marsis.
Untuk mengatasi hal ini, menurut Marsis, PB IDI telah menyusun buku panduan diagnosa, tata laksana dan alur rujukan mengenai 20 kasus yang paling banyak dirujuk tersebut. Berkoordinasi dengan perhimpunan spesialis, buku panduan ini disosialisasikan terus menerus kepada dokter di FKTP, sehingga diarapkan akan menekan angka rujukan.
IDI juga menyoroti masalah ketersediaan obat dalam Formularium Nasional (Fornas). Hingga saat ini masih terjadi kekosongan obat untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuk dalam Fornas.
Masalah lain yang juga disoroti IDI, ialah rendahnya tarif Ina CGBs, khususnya pada kasus tertentu seperti kesenjangan tarif antara rawat inap dan rawat jalan, sehingga pasien cenderung diinapkan, mendapat parawatan intensif, tindakan operasi, suportif pada pasien kanker.
“Diparitas tarif antar berbagai tipe rumah sakit, juga membuat hanya sedikit RS swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa tiada subsidi dari pemerintah. Akibatnya, beban pelayanan lebih besar di rumah sakit pemerintah,” kata Marsis.
Karena itu, menurut Marsis, peninjauan tarif Ina CBGs dengan didukung anggaran kesehatan yang cukup harus segera mungkin dilakukan, sehingga permasalahan pelaksanaan JKN segera teratasi.
“IDI mengusulkan upaya perbaikan sistem JKN secara komprehensif dengan tiga pendekatan, yaitu menata sistem dengan dikenal 5 M, yaitu man, money, machine, material dan management atau tata kelola FKTP dan FKTL,” jelasnya.
IDI sendiri, lanjut dia, juga telah menyusun buku panduan kompensasi jasa medis dokter. Untuk dokter di FKTP pembagian jasa medisnya sudah jelas, tidak seperti dokter di FKTL yang hanya disebut jasa pelayanan sebesar 30-50 persen dari total klaim BPJS Kesehatan di RS.
Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh perda di masing-masing, tetapi seringkali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter.
“Diharapkan dengan panduan jasa medis ini memberikan masukan dan panduan bagi manajemen RS dan tenaga dokter anggota IDI menyusun pembagian jasa medis yang berkeadilan,” tambah Marsis.
Sumber: beritasatu.com
Pasien Yang Pulang Paksa Tidak Ditanggung BPJS
PEKANBARU – Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Riau, Andra Sjafril mengatakan, pasien yang pulang paksa dari perawatan rumah sakit tidak ditanggung oleh BPJS. Itu berarti pasien bayar sendiri biayanya walaupun dirawat di rumah sakit menggunakan BPJS.
“Pulang paksa itu maksudnya, pasien yang dirawat dirumah sakit menggunakan BPJS sebenarnya belum di izinkan pulang oleh dokter di pihak rumah sakit, tetapi sang pasien sudah meminta pulang. Artinya apabila pasien itu kembali dirujuk ke rumah sakit tidak akan mendapatkan biaya gratis lagi dari BPJS,” ujar Andra.
Lanjutnya, berbeda jika pasien tersebut dirawat di rumah sakit menggunakan BPJS tetapi sudah dibolehkan pulang, namun kembali lagi ke rumah sakit tersebut apabila kondisinya memang harus dirawat lagi maka itu akan ditanggung kembali oleh BPJS.
“Karana pasien tersebut pulang telah ditandatangi oleh beberapa dokter, dan surat yang ditandatangangi oleh dokter tersebutlah yang menjadi bukti bahwa pasien akan mendapatkan BPJS apabila dirujuk kembali kerumah sakit,”terang Andra.
Laporan: Dofi Iskandar
Sumber: riaupos.co
Pelatihan Service Excellence Bagi Tenaga Keperawatan dan Tenaga Non Medis RSUP H.Adam Malik tahun 2016
Service excelence di Rumah Sakit adalah sebagai suatu bentuk pelayanan terbaik yang diberikan kepada pasien agar pasien merasa puas dan memiliki keinginan untuk kembali berkunjung ke Rumah Sakit tersebut. Karena kepuasan pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit sangat bergantung kepada pelayanan yang diberikan oleh semua petugas yang berhubungan langsung dengan pasien sebagai pelanggan.
RSUP H.Adam Malik sebagai Instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat juga harus senantiasa mengutamakan kepuasan pelanggan,sesuai dengan Visi RSUP H.Adam Malik yaitu “ Menjadi Rumah sakit Pendidikan dan Pusat Rujukan Nasional yang terbaik dan Bermutu di Indonesia Tahun 2019”. Untuk itu SDM RSUP H.Adam Malik harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit sesuai dengan kaidah-kaidah customer service.Terkait hal tersebut , maka perlu peningkatan kompetensi SDM,melalui pelatihan service excellence, terutama yang bertugas di front liner agar mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua pelanggan yang berkunjung ke RSUP H.Adam Malik
Pelatihan Service Excelence di RSUP H. Adam Malik tahun ini dilaksanakan di gedung Lab skill Lt2 Instalasi Diklat RSUP H.Adam Malik pada tanggal 15 februari s/d 15 maret 2016 di ikuti oleh tenaga medis,keperawatan, dan non medis yang berjumlah 450 orang dibagi 9 termin, lama pelatihan 2 hari setiap termin. Narasumber pelatihan adalah Tim i-Learn Training and Consulting
Dengan adanya Pelatihan Service Excelence ini, diharapkan pasien / pengunjung Rumah Sakit merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh setiap pegawai yang sudah mengikuti melalui pemberian pelayanan prima kepada semua pasien / pengunjung Rumah Sakit.
Sumber: rsham.co.id
Tiga Investor ‘Melamar’ Untuk Mendirikan RS Internasional
Madiun, Banyak investor di bidang layanan kesehatan, tertarik untuk mendirikan rumah sakit (RS) Internasional di Kota Madiun, Jawa Timur. Pasalnya, di kota yang terkenal dengan pecelnya ini, belum memiliki rumah sakit bertaraf Internasional. Karena satu-satunya rumah sakit terbesar yang berada di Kota Madiun, hanya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Walikota Madiun, H.Bambang Irianto, mengatakan, saat ini sudah ada tiga investor yang mengajukan permohonan untuk mendirikan rumah sakit bertaraf Internasional. Namun belum deal. “Sudah ada tiga (investor) yang masuk. Tapi belum deal,” kata Walikota Madiun, H.Bambang Irianto, kepada wartawan usai membuka “Sosialisasi Perencanaan Pembangunan Kota Madiun”, di Wisma Haji Kota Madiun, Senin 29 Pebruari 2016.
Menurutnya lagi, soal lahan tidak ada masalah. Karena Pemerintah Kota (Pemkot) Madiun telah menyiapkan dua tempat alternatif. Yakni di pasar sapi depan Batalion 501/Bajrayuda dan sebelah pasar Krempyeng Manguharjo. “Kalau tempat tidak masalah. Bisa di pasar sapi atau di dekat pasar Manguharjo,” tambahnya.
Ketika disinggung apakah dengan adanya RS Internasional nanti tidak ‘mematikan’ RS lain seperti RSUD Sogaten milik Pemkot Madiun, menurutnya, itu pendapat yang tidak masuk akal. “Surabaya itu punya puluhan RS Internasional, tapi buktinya RS lain juga jalan. Tidak ada masalah,” ungkapnya.
Bahkan, paparnya, kehadiran RS Internasional justru bisa menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Madiun. Termasuk penyerapan tenaga kerja. Dengan begitu, perekonomian juga akan lebih baik.
“Justru meningkatkan PAD kita. Bisa untuk membangun demi kepentingan masyarakat Kota Madiun. Belum lagi terbukanya lapangan kerja. Pokoknya tidak ada ruginya kalau ada RS Internasional di Kota Madiun,” pungkasnya.
Sumber: beritalima.com
In House Training PPI Dasar Bagi Karyawan RSUD Panembahan Senopati
Pemahaman pengetahuan dan aplikasi PPI bagi seluruh karyawan rumah sakit menjadi suatu keharusan dalam rangka memberikan pelayanan yang bermutu (Patient Safety). Hal ini diperlukan salah satunya untuk mencegah kejadian HAIs (Healthcare Associated Infections) yaitu infeksi yang terjadi selama proses perawatan di rumah sakit atau di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, saat masuk pasien tidak ada infeksi atau tidak dalam masa inkubasi, infeksi didapat di rumah sakit tapi muncul setelah pulang, juga infeksi pada petugas kesehatan yang terjadi karena pekerjaan. (Kem.Kes.RI 2007)
Oleh karena itu penting untuk dilaksanakan In House Training PPI yang bertujuan untuk : (1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman PPI bagi karyawan, khususnya yang bekerja di Zona Resiko infeksi tingkat tinggi dan Zona Resiko sangat tinggi. (2) Meningkatkan upaya pencegahan penularan infeksi rumah sakit bagi pasien, keluarga, pengunjung dan petugas/karyawan rumah sakit. (3) Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
Sub Komite PPI bekerjasama dengan Bagian Pengembangan RSUD Panembahan Senopati Bantul mengadakan In House Training PPI Dasar kepada 100 orang karyawan rumah sakit yang terutama bekerja di : (1) Zona Resiko Tinggi : yaitu ruang perawatan penyakit infeksi, ruang penginderaan medis, ruang perawatan penyakit kronis, ruang tindakan, antara lain IGD, Instalasi Farmasi, Ruang perawatan penyakit infeksi, PPRI, Laboratorium klinik, patologi anatomi, kamar jenazah, laundry. (2) Zona Risiko Sangat Tinggi : yaitu ruang isolasi airborne dan MDR TB, ruang laboratorium infeksi, ruang ICU, kamar operasi, teratai : PICU, NICU, Poliklinik Paru. (3) ruang – ruang lain : seperti gizi, petugas ambulance, dll.
In House training ini dilaksanakan dalam dua gelombang. Gelombang I pada hari Selasa – Kamis, 16-18 Februari 2016 bertempat di Aula PD Bank Bantul dan Gelombang II pada hari Selasa – Kamis, 23 – 25 Februari 2016 bertempat di aula B RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan waktu mulai pukul 09.00 WIB sampai pukul 04.00 WIB setiap harinya
Pemberi materi dalam in house training PPI Dasar ini adalah dokter, perawat, dan petugas lain dari Sub Komite PPI RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan materi antara lain : (1) Konsep dasar dan program PPI, (2) Peran dan fungsi IPCN, IPCLN dan IPCD, (3) Mikrobiologi dasar dan pengambilan spesimen, (4) Dasar penyakit infeksi rumah sakit ( ILO, IADP, ISK, VAP/HAP, Plebitis, Dekubitus, dan penyakit infeksi lain). (5) Infection Control Risk Assesment (ICRA=ICRA penyakit dan bangunan), (6) Penggunaan antimikroba rasional, (7) konsep kewaspadaan isolasi : kewaspadaan standard an kewaspadaan transmisi, (8) penggunaan alat pelindung diri di fasyankes, (9) manajemen limbah RS dan fasyankes, (10) Pengendalian lingkungan rumah sakit, (11) konsep dasar surveilans infeksi rumah sakit, (12) audit PPI, (13) penatalaksanaan peralatan medis dan perawatan, (13) penatalaksanaan peralatan medis dan perawatan, (14) penatalaksanaan linen dan laundry rumah sakit, (15) PPI di ICU, (16) PPI di kamar operasi, (17) PPI di Hemodialisis, (18) PPI di Gizi, (19) PPI di penyakit TB dan HIV, (20) PPI penyakit TB dan HIV, (20) kesehatan karyawan dan profilaksis paska pajanan, (21) praktek lapangan.
Dengan pelatihan ini diharapkan pengetahuan peserta tentang PPI akan bertambah dan mampu mengaplikasikan PPI dalam pekerjaan di rumah sakit terutama yang beresiko terhadap HAIs. (bawono)
Sumber: rsudps.bantulkab.go.id
Rumah Sakit Ini Sukses Lakukan Cangkok Rahim Pertama di AS
Jakarta, Cleveland Clinic di Ohio, Amerika Serikat, menjadi rumah sakit pertama yang mampu melakukan cangkok rahim di Amerika. Keberhasilan ini merupakan prestasi setelah penantian selama kurang lebih satu tahun.
Pasien berusia 26 tahun yang disebutkan namanya diketahui dalam keadaan sehat stabil. Operasi sendiri berlangsung selama 9 jam dan tidak memiliki hambatan berarti.
“Pasien dalam keadaan sehat dan tidak mengalami gangguan apapun. Tim dokter berharap pasien dapat hamil dan memiliki anak seperti yang diinginkan,” demikian pernyataan dari Cleveland Clinic, dikutip dari Reuters, Senin (29/2/2016).
Cangkok rahim atau transplantasi uterus dilakukan pada pasien dengan ‘uterine factor infertility (UFI). UFI merupakan keadaan orang yang mandul karena terlahir tanpa uterus atau rahim; kehilangan rahim karena suatu alasan; atau memiliki rahim namun tidak dapat berfungsi dengan baik.
Organnya sendiri didapatkan peneliti dari pendonor yang rata-rata sudah meninggal. Hal ini untuk menghindari adanya komplikasi dari proses transplantasi yang mungkin didapat jika peneliti memutuskan memakai donor yang masih hidup.
Tahun lalu, tim dokter dari University of Gothenburg, Swedia berhasil membantu proses persalinan seorang ibu yang bisa memiliki anak setelah menjalani transplantasi rahim, dan ini merupakan yang pertama di dunia.
Dan hingga saat ini belum ada yang bisa menyaingi Swedia dalam terobosan baru itu. Sebab mereka telah berhasil melakukan 9 kali transplantasi rahim. Empat dari pasien cangkok saat ini sedang mengandung, dan lima lainnya sudah melahirkan.
Sumber: detik.com
Pemkot Bekasi Dorong Rumah Sakit Terapkan Green Hospital
BEKASI – Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat, mendorong kalangan pengelola rumah sakit di wilayah setempat untuk menerapkan konsep green hospital yang ramah lingkungan.
“Di Indonesia baru beberapa rumah sakit yang menrapkan konsep tersebut, yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, RS Mekarsari Kota Bekasi, dan satu lagi rumah sakit swasta di Sukabumi,” kata Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bekasi Supandi Budiman, Sabtu (27/2/2016).
Menurut dia, salah satu indikator rumah sakit hijau adalah sistem pengelolaan air limbah yang telah ramah lingkungan.
“Instalasi limbahnya dikelola secara modern dan tidak menimbulkan pencemaran di sekitar lingkungannya,” katanya.
Supandi mengatakan, manajemen juga perlu memperhatikan penghijauan di sekitar pekarangan ata taman rumah sakit untuk dikelola secara baik.
“Ketika rumah sakit sudah memperhatikan kondisi lingkungan yang sehat, diharapkan kenyamanan pasien dan dokter atau pekerja dapat lebih terasa,” katanya.
Dia menjadikan RS Mekarsari di Jalan KH agus Salim, Bekasi Timur sebagai percontohan green hospital.
“RS Mekarsari sudah mewujudkan kegiatan ‘go green’ dalam keseharian di rumah sakit, salah satunya dengan penghijauan dan efisiensi penggunaan listrik,” katanya.
Sejumlah lampu penerangan dan beberapa perangkat medis dirumah sakit tersebut telah memanfaatka energi matahari untuk efisiensi.
RS Mekarsari pada tahun 2012 telah mendapatkan penghargaan Program Penilaian Peringkat Perusahaan dari BPLH Kota Bekasi dengan kategori “Biru” atau memuaskan.
“RS Mekarsari dapat dijadikan sebagai pelopor dan tolok ukur bagi daerah lain yang ingin menerapkan konsep green hospital,” katanya. (Antara)
Sumber: tribunnews.com
Tumpukan Pekerjaan Rumah Sambut Direksi BPJS Baru
JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik Dewan Pengawas dan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan oleh di Istana Negara Selasa (23/2) lalu. Harapan semakin menguat pada lembaga ini agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik serta memberikan pelayan maksimal kepada para peserta BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan direksi saat ini bisa membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dan mau mengoreksi beberapa regulasi internal yang telah dibuat selama ini. Seperti Peraturan Direksi No. 1/2015 tentang Pelayanan Kesehatan Pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada kelompok Pekerja Penerima Upah (PPU). Ia juga berharap ada peningkatan pelayanan terutama di RS, seperti menghadirkan staf advokasi untuk membantu pasien di rumah sakit yang mengalami masalah.
“Perlu juga keseriusan pengawasan dan pemeriksaan bagi pemberi kerja yang lalai mengikutsertakan pekerjanya dan yang tidak disiplin membayar iuran,” kata Timboel kepada
gresnews.com, Sabtu (27/2) malam.
Ia menjelaskan jika regulasi dan kebijakan lapangan tersebut yang dinilai kurang baik tersebut dibuat pada periode lalu maka kehadiran tujuh direktur baru saat ini diharapkan berani mengoreksi kebijakan kebijakan tersebut. “Mereka jangan sampai terkooptasi oleh direktur utama. Memang harus diakui bahwa enam orang direksi yang baru dilantik ini adalah mantan pejabat di PT Askes lama, dan oleh karenanya kami berharap pola pikir direktur-direktur tersebut harus lebih maju lagi karena yang dilayani saat ini seluruh penduduk indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, selain menuntut untuk meningkatkan pelayanan terhadap peserta di fasilitas kesehatan (faskes) dan meningkatkan jumlah rumah sakit (RS) yang menjadi provider BPJS Kesehatan, meningkatkan sistem IT, meningkatkan pengawasan, penegakan hukum, membuat sistem pemungutan iuran yang mudah dan pasti maka direksi saat ini juga dituntut untuk mensukseskan Universal Health Coverage yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Maka direksi saat ini tidak boleh gagal mencapai 100 persen kepesertaan seluruh penduduk Indonesia pada 2017.
Bila direksi lama gagal mematuhi kepesertaan wajib bagi Peserta Penerima Upah (PPU) paling lambat 1 Januari 2015 lalu, seperti yang diamanatkan Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan maka direksi saat ini harus bisa meningkatkan kepesertaan 85 persen pada 2016. Dan sisa 15 persen kepesertaan Pekerja Penerima Upah (PPU) harus bisa selesai pada 2017.
Tentunya direksi baru saat ini juga harus mampu meyakinkan Kementerian Kesehatan untuk memperbaiki beberapa regulasi seperti tentang Paket INA CBGs, ketentuan tentang obat, dan sebagainya. Kinerja direksi harus diawasi ketat oleh Dewan Pengawas (Dewas) baru saat ini. “Bagi Dewas baru, kami mendesak untuk berani dan mau bekerja. Dewas jangan menjadi subordinasi direksi, dan terkesan hanya papan nama saja. Jangan ulangi kinerja dewas lama yang belum berbuat banyak dan tidak berani terhadap direksi,” ujarnya.
Sumber: gresnews.com