Reportase:
Clinical Leaders di RS Rujukan Nasional
Reporter: Putu Eka Andayani
Di AS, calon dokter spesialis (residen) digolongkan sebagai tenaga kerja dan berhak mendapatkan upah atas tenaga dan waktu yang diberikan dalam melayani pasien di RS Pendidikan. Pada umumnya para residen ini diberikan tanggung jawab untuk melayani pasien yang ditanggung oleh asuransi sosial (Medicare, Medicaid). Strategi ini mampu meringankan beban dokter spesialis dan mengurangi antrean pasien. Hal ini terjadi karena Amerika menganut sistem hospital-based, dimana para calon dokter spesialis menempuh pendidikan berdasarkan sistem RS Pendidikan.
Di Indonesia sistemnya berbeda. Residen masuk ke RS melalui FK (sebagai peserta didik) sehingga dianggap sebagai mahasiswa yang sedang menuntut ilmu, meskipun faktanya mereka sudah berprofesi sebagai dokter dan dalam proses menuntut ilmu tenaganya digunakan untuk merawat pasien. Ini karena Indonesia menganut sistem university-based, dimana para calon dokter/dokter gigi spesialis-subspesialis masuk melalui FK lalu menjalani proses pendidikan di RS Pendidikan atau RS afiliasi.
JKN telah membuka akses yang luas bagi masyarakat Indonesia untuk menggunakan fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan jumlah pasien meningkat khususnya di RS-RS pendidikan sehingga beban kerja RS meningkat. Namun Indonesia kekurangan tenaga spesialis dan sub-spesialis. Disini peran residen sangat dibutuhkan. Secara de-facto residen juga bekerja, tidak hanya belajar. Hal tersebut dipaparkan pada seminar yang diselenggarakan dalam rangka Rapat Kerja RS Mohammad Hoesin di Palembang pada 2 September lalu.
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Kedokteran telah mengatur bahwa setiap mahasiswa berhak mendapatkan insentif di RS pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran bagi mahasiswa kedokteran program dokter layanan primer, dokter spesialis-sub spesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis. Jadi jelas bahwa yang yang sudah bekerja berhak mendapatkan imbalan dan tidak boleh ada eksploitasi oleh manusia atas manusia lainnya. Namun di Indonesia ada berbagai kendala untuk melaksanakan UU ini. Dari aspek budaya, selama ini tradisi untuk memberi imbalan pada residen sesuai kompetensinya tidak dikenal. Dari aspek manajemen pendidikan, status residen belum jelas dalam konteks hubungan antara FK dengan RS Pendidikan.
Tidak hanya di RSMH Palembang, kekurangan jumlah (dan kualitas) SDM merupakan masalah umum yang terjadi di hampir semua RS. Ini menyebabkan masalah selanjutnya: kasus sulit tidak dapat ditangani di RSMH, sehingga dirujuk ke RS lain di Jakarta/Jawa. Dana BPJS dengan demikian tidak dapat diklaim dan dialihkan ke RS-RS di Jakarta/Jawa.
Dalam waktu lima tahun ke depan, RS-RS Rujukan Nasional khususnya di luar Jawa harus dapat mengembangkan kompetensi sampai ke teknologi level canggih dan menjadi tempat terakhir penyelesaian masalah kesehatan. Hal ini berarti, seharusnya kasus yang ada tidak lagi di rujuk ke RS lain hanya karena kurangnya kompetensi RS Rujukan Nasional yang ada di luar Jawa. Strategi yang ditempuh dapat dengan mengembangkan layanan unggulan, yang mencapai tingkat tersier.
Pengembangan layanan unggulan ini tentunya membutuhkan kolaborasi bukan hanya lintas spesialistik di dalam RS melainkan juga dengan institusi lain, misalnya FK. Tanpa adanya kolaborasi hal tersebut sulit tercapai. Oleh karenanya, dibutuhkan adanya clinical leadership di RS Rujukan Nasional untuk mengelola kelompok-kelompok klinisi sesuai dengan unggulan yang dikembangkan, termasuk mengelola para residen yang tergabung dalam tim-tim klinik di RS Pendidikan. Clinical leaders merupakan dokter-dokter spesialis/subspesialis yang ahli di bidangnya, mampu merencanakan dan melaksanakan pengembangan produk unggulan, menetapkan visi, serta memimpin perubahan. Para pemimpin klinik ini yang akan memastikan bahwa semua produk unggulan yang direncanakan oleh RS akan berjalan (pea).