Lokakarya Evaluasi dan Advokasi Badan Layanan Umum Daerah Bagi Penentu Kebijakan di NTT
Reporter: Elisabeth Listyani
Pembukaan
Lokakarya Evaluasi dan Advokasi Badan Layanan Umum Daerah Bagi Penentu Kebijakan di NTT telah diselenggarakan pada Jum’at, 27 Maret 2015 di Hotel Swiss-Belinn, Surabaya. Saat ini, lembaga pelayanan publik banyak mendapat tekanan untuk lebih meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan, namun tetap dalam koridor efisiensi anggaran pemerintah. Tekanan yang dihadapi meliputi tekanan eksternal seperti regulasi dan tuntutan masyarakat agar RSUD meningkatkan mutu pelayanan, sedangkan tekanan internal seperti keinginan SDM untuk dapat bekerja dengan lebih baik secara profesional sehingga mendapatkan pendapatan yang lebih laik.
Hal tersebut membutuhkan dukungan dan komitmen stakeholder dalam pelaksanaan BLUD. Manajemen RSUD perlu secara intensif melakukan sosialisasi kepada stakeholder ekternal dan internal karena setelah mendapatkan status BLUD, pekerjaan berat justru baru dimulai. Pekerjaan berat yang dimaksud yaitu membenahi sistem operasional dengan memanfaatkan fleksibilitas BLUD sehingga pelayanan lebih optimal dan mutu pelayanan dapat ditingkatkan.
Lokakarya ini bertujuan untuk membahas esensi BLUD dan bagaimana agar tujuan BLUD dapat dicapai secara optimal, yaitu memberikan pelayanan bermutu secara efisien dan akuntabel. Pembukaan lokakarya ini diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Prof. Laksono mengemukakan bahwa program pengembangan di Provinsi NTT masih dalam kondisi yang menggairahkan, dimana masalah-masalah masih ada sehingga perlu adanya “refreshing” mengenai BLUD sehingga RSUD dapat mengembangkan diri untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi. Penerapan BLUD mengalami kemajuan dimana hanya tersisa 3 RSUD belum berstatus BLUD yang tergabung dalam Sister Hospital.
BLUD tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat (Kemenkes) dan Pemda karena BLUD bukan merupakan BUMN sehingga masih perlu mendapat dukungan finansial dari APBD. Dalam konteks BPJS, penerapannya jangan sampai terjadi fraud. Sedangkan rujukan regional masih perlu dikembangkan dimana dengan mendapatkan status BLUD dapat digunakan untuk menambah alat dan kebutuhan lainnya, sehingga jangan sampai rujukan buruk ataupun SDM kurang.
Pengantar dilanjutkan oleh Kepala Dinas Provinsi NTT, dr. Stefanus Bria Seran, MPH yang berterima kasih atas kerjasama Pemerintah Australia melalui AIPMNH dengan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian balita. Kondisi di lapangan apalagi yang terkait dengan rujukan masih merupakan persoalan tersendiri. Pemda dan masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mampu menyelesaikan masalah.
Sesi berikutnya merupakan Harapan Dinas Kesehatan Provinsi Terhadap Peran RSUD Dalam Upaya Mencapai Tujuan Pembangunan di Provinsi NTT yang disampaikan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH. dr. Stefanus memaparkan bahwa revolusi KIA merupakan upaya untuk menurunkan AKI dan AKB. Semestinya RSUD merupakan faskes rujukan tertinggi di wilayahnya namun banyak kendala yang dihadapi diantaranya keterbatasan tenaga medis ahli. Saat ini di Provinsi NTT mulai dibentuk rujukan regional yaitu rujukan berdasar wilayah kepulauan dengan pertimbangan jarak, waktu, sarana transportasi, dan tingkat kemampuan rumah sakit.
Enam rumah sakit rujukan regional di Provinsi NTT yaitu RSUD Prof. Johannes sebagai rujukan provinsi dan regional yang meliputi Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Sabu, Rote, dan Alor. Kemudian, RSUD Atambua sebagai rujukan regional bagi Kabupaten Belu, TTU, Malaka, dan Alor. RSUD TC Hillers sebagai rujukan regional bagi Kabupaten Lembata, Flores Timur, dan Sikka. RSUD Ende sebagai rujukan regional Kabupaten Ende, Nagekeo, dan Ngada. RSUD Ruteng sebagai rujukan regional Kabupaten Manggarai, Maggarai Timur, Manggarai Barat, dan RSUD Waingapu sebagai rujukan regional Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. RSUD Ende mendapatkan dukungan dari Pemda sebagai rumah sakit rujukan regional sedangkan lima RSUD lainnya mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat.
Demi mewujudkan cita-cita sebagai rumah sakit regional, makadiperlukan berbagai upaya pembenahan terutama kondisi SDM di provinsi ini. Gambaran kondisi tenaga medis di Provinsi NTT pada tahun 2013 untuk dokter spesialis 1 / 100.000 penduduk dimana target Indonesia Sehat 2010 adalah 6 / 100.000 penduduk. Untuk dokter umum 11 / 100.000 penduduk sedangkan target Indonesia Sehat 2010 adalah 40 / 100.000 penduduk. Sementara dokter gigi 3 / 100.000 penduduk sedangkan target Indonesia Sehat 2010 adalah 11 / 100.000 penduduk. Penyediaan tenaga medis spesialis mengalami hambatan, diantaranya kandidat yang terbatas, sulit lolos sebagai PPDS, dan sulit mempertahankan dokter spesialis untuk tetap bertahan dan bekerja di NTT dari aspek kesejahteraan.
Dengan bantuan kerja sama dalam bentuk Sister Hospital dan Performance Management and Leadership (PML) telah membuahkan hasil dimana ketersediaan dokter spesialis dapat mulai terpenuhi. Beberapa indikator terpenuhinya ketersediaan tersebut, antara lain adanya residen yang dikirim, tercapainya program wajib dan program tambahan, bergesernya pola bersalin di rumah ke RSUD dan puskesmas, bergesernya penolong persalinan dari dukun ke bidan, penurunan jumlah kematian ibu dari 330 jiwa di tahun 2008 menjadi 159 jiwa di tahun 2014. Namun satu hal yang masih harus menjadi perhatian adalah angka kematian bayi yang masih fluktuatif dengan adanya peningkatan jumlah kematian bayi 1.428 jiwa di tahun 2014 dimana AKI pada tahun 2008 sebesar 1.274 jiwa.
Berbagai harapan dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT terhadap RSUD di kabupaten antara lain tidak boleh ada keluhan operasional dengan alasan tidak ada dana operasional, disiplin anggaran terutama untuk RSUD yang sudah BLUD dana operasional tidak boleh untuk pemeliharaan dan investasi, instrumen – instrumen BLUD digunakan dengan baik dan benar, pemenuhan tenaga kesehatan, mempertahankan dan meningkatkan budaya kerja yang sudah dibangun oleh rumah sakit mitra, komunikasi secara intensif dan terjadwal antar pemangku jabatan.
Kegiatan lokakarya ini juga mengundang Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri yang diwakili oleh A.S. Tavipiyono, Direktur Pendapatan Daerah dan Investasi Daerah untuk memaparkan Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan BLUD Pada Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah Daerah. A. S. Tavipiyono menyampaikan hakekat otonomi daerah, peraturan perundang-undangan BLUD, fleksibilitas yang diberikan kepada BLUD, implikasi umum penerapan PPK – BLUD pada bidang keuangan, maupun implementasi BLUD.
RSUD yang telah mendapat status BLUD akan mendapat banyak fleksibilitas misalnya tidak perlu menunggu lama untuk pengadaan obat. Namun, fleksibilitas tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal lain yang menjadi perhatian yaitu implementasi BLUD yang merupakan hal baru bagi Pemda. Sehingga hal ini belum dianggap prioritas, terbatasnya SDM yang memahami BLUD, dinamika penggantian pejabat sehingga mengakibatkan implementasi BLUD tidak optimal. Seharusnya RSUD tidak perlu ragu-ragu. BLUD ibarat seperti ambulance yang berjalan maju terus karena sudah ada regulasi yang mengatur.
Topik menarik berikutnya disajikan oleh Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes yang memaparkan mengenai Isu-isu Strategis Implementasi BLUD Dalam Kaitannya Dengan Upaya Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir dan Kebutuhan Pengembangan RSUD. Pada sesi ini, Putu Eka menyampaikan bahwa untuk menghasilkan kinerja organisasi yang tinggi dibutuhkan pemimpin dan kompetensi manajerial yang baik. Namun kondisi di Provinsi NTT menunjukkan bahwa rendahnya kinerja pemimpin atau manajer kesehatan mengakibatkan tingginya AKI dan AKB. Untuk itulah, Gubernur NTT mencanangkan Revolusi KIA dimana salah satu programnya adalah PML yang bertujuan meningkatkan kemampuan manajerial RSUD dalam melaksanakan kepemimpinan dan manajemen yang baik.
Salah satu program wajib PML adalah pencapaian status BLUD. Dari 11 RSUD yang menjadi mitra masaih tersisa tiga RSUD yang belum mendapatkan status BLUD yaitu RSUD Kefamenanu, RSUD Soe, dan RSUD Lewoleba. Dengan menyandang status BLUD maka RSUD berpotensi untuk menurunkan AKI dan AKB. Berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi kegiatan SH belum serta merta menurunkan AKI dan AKB diantaranya peningkatan rujukan ke RSUD peserta SH, rujukan terlambat karena faktor adat, infrastruktur belum memadai, sistem rujukan masih kurang baik, kompetensi yang kurang memadai dari penolong pertama persalinan, maupun penyakit atau kelainan lain yang tidak dapat dicegah. Hal ini masih ditambah dengan faktor internal seperti pergantian direktur yang mewarnai sepanjang tahun 2012 – 2015 terutama untuk RSUD Ende dan RSUD Waikabubak yang sering terjadi pergantian Direktur bahkan ada pula direktur yang bukan berasal dari tenaga medis (dokter). Selain itu tidak semua Direktur RSUD sudah mengikuti pelatihan manajemen perumahsakitan. Penanganan pasien kurang optimal karena kurangnya bahan dan peralatan, bahkan peralatan di RSUD sudah dalam kondisi yang rusak, kapasitas tenaga kesehatan untuk ICU / NICU yang berkaitan dengan kasus komplikasi juga masih dirasa kurang padahal mereka sudah mendapatkan pelatihan.
Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa aturan keuangan daerah belum mendukung sehingga mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya kebutuhan pada jelang akhir tahun anggaran RSUD, bahkan penggunaan anggaran hanya diperbolehkan pada tahun yang bersangkutan. Dampak yang dihadapi adalah pengadaan obat, BHP, bahan makanan, dan kebutuhan lain tidak dapat mengimbangi operasional pelayanan, anggaran tahun berjalan yang sudah habis tidak dapat ditambah, bahkan kerusakan alat di luar rencana tidak dapat diperbaiki pada tahun berjalan.
Jika RSUD sudah mendapatkan status BLUD, hal-hal tersebut dapat dikurangi sehingga tidak berdampak fatal terhadap operasional pelayanan. Namun di lain sisi, BLUD juga masih membutuhkan subsidi pemerintah karena BLUD bukan merupakan kekayaan yang terpisah (masih SKPD), agar aksesibilitas masyarakat tetap terjaga, RSUD masih perlu meningkatkan kualitas pelayanan, dan RSUD perlu mencapai target baru, membuka jenis layanan baru, maupun menambah jumlah tenaga kesehatan pendukung.
Kemudian sesi terakhir sebagai penutup lokakarya ini merupakan topik yang menyangkut Aspek Penganggaran Bagi BLUD dan Hasil Pendampingan Aset RS yang disampaikan oleh Yos Hendra, SE, MM, M.Ec. Dev. Beliau menggambarkan bahwa RSUD yang sudah BLUD diibaratkan seperti smartphone namun hanya dipakai untuk sms dan telepon sehingga sesungguhnya masih pada kondisi seperti handphone biasa. Hal ini memerlukan berbagai upaya agar RSUD dengan status BLUD mempunyai usaha untuk memanfaatkan status BLUD tersebut sesuai dengan fungsinya. Menurut Permendagri 61 / 2007 tentang Pedoman Teknis PPK BLUD menyatakan bahwa dasar penyusunan RBA adalah renstra bisnis. Bagi RSUD yang belum menerapkan PPK BLUD agar Pemdanya segera mempercepat penerapan PPK BLUD, sedangkan bagi RSUD yang telah menerapkan PPK BLUD maka penyusunan RKA menggunakan format RBA dan renstra bisnis.
Selain itu, Yos Hendra juga menyampaikan hasil temuan penilaian aset yang sudah dilakukan di sembilan RSUD. Pemaparan tersebut cukup menarik dengan menampilkan gambar-gambar aset yang sudah tidak terpakai atau rusak dan hanya terbengkalai begitu saja namun belum dapat dihapuskan. Padahal aset yang belum dapat dihapuskan akan memberatkan neraca RSUD dan Pemda. Beberapa hasil temuan pada saat pendampingan aset diantaranya SDM kurang secara kuantitas dan kualitas, biaya pemeliharaan kurang, disiplin pegawai masih kurang, SDM salah penempatan seperti perawat ditugaskan untuk mengelola aset, perbedaan di KIR/KIB dengan kondisi lapangan, aset belum/tidak memiliki aspek legalitas, aset belum/tidak mempunyai nilai, dan sulit menghapus aset. Dengan hasil temuan tersebut diharapkan Pemda masing-masing kabupaten mempunyai perhatian sehingga penghapusan aset dapat dipercepat dan tidak memberatkan neraca.
Download Materi:
Peran Dinas Kesehatan dalam mendukung BLUD RSUD
Peran Pemda dalam BLUD dan Manfaat BLUD dalam pelayanan publik