Murah Njaluk Slamet?
Tragedi Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 pada akhir Desember lalu, selain meninggalkan duka mendalam juga membuka perdebatan pada isu seputar kualitas dan keselamatan pada penerbangan murah. Apakah penerbangan murah telah mengabaikan mutu dan keselamatan? Apakah penerbangan mahal pasti bermutu dan selamat? Bahkan sebagian kalangan sudah membuat statement bahwa pelayanan murah pasti tidak akan mampu menjamin keselamatan. Murah kok njaluk slamet (murah kok minta selamat), begitu kata orang Jawa.
Tak ubahnya industri penerbangan, industri pelayanan kesehatan juga sangat dekat dengan risiko kecelakaan yang berakibat fatal. Bedanya adalah pada penerbangan, jika pilot tidak hati-hati atau tidak kompeten, maka ia akan ikut jadi korban bersama penumpang dan awak pesawat lainnya jika terjadi kecelakaan fatal. Pada pelayanan kesehatan, jika dokter tidak hati-hati atau tidak kompeten, hanya pasien yang akan menjadi korban. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya tetap selamat dan dapat melanjutkan pelayanan ke pasien berikutnya. Konsekuensi dari ini adalah tuntutan dan kesadaran diri pilot untuk selalu waspada dan menjalankan SOP dengan ketat akan lebih tinggi dibandingkan dengan dokter. Pun, kecelakaan dan risiko yang membahayakan penumpang pesawat tetap dapat terjadi.
Kembali ke pertanyaan semula, apakah kecelakaan tersebut disebabkan karena harga tiket yang murah? Jika dibawa ke setting pelayanan kesehatan, apakah pelayanan rumah sakit yang bertarif murah (misalnya kelas III di sebuah RS) berarti mutu rendah dan perhatian pada aspek keselamatan lebih kecil dibandingkan dengan yang bertarif lebih mahal? Seberapa mahal sebenarnya biaya pelayanan kesehatan?
Sebelum sampai pada jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut, perlu ada penyamaan persepsi lebih dulu mengenai apa yang dimaksud dengan biaya. Hal ini terjadi karena kalangan regulator dan pemberi pelayanan kesehatan masih sering mengacaukan antara biaya dan tarif. Menurut KBBI, biaya adalah uang yang dikeluarkan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dsb) sesuatu; ongkos; belanja; pengeluaran. Tarif adalah harga satuan jasa. Jadi biaya pelayanan kesehatan dari perspektif pasien adalah tarif dari perspektif pemberi pelayanan. Oleh karena itu, jika berbicara mengenai biaya dari perspektif pemberi pelayanan, maka yang dimaksud adalah pengorbanan yang dilakukan oleh pemberi pelayanan untuk memproduksi atau menghasilkan jasa, yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
Banyak studi yang dilakukan antara tahun 1980-an dan 1990-an tentang TQM (Total Quality Management) atau quality assurance yang dikaitkan dengan cost. Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan mutu berdampak pada penghematan yang besarnya bervariasi mulai dari USD40.000-an hingga lebih dari USD350.000. Penghematan ini didapat dari memperbaiki lingkungan kerja staf, mereorganisasi beban kerja, mencegah terjadinya kesalahan prosedur dengan penerapan pathway yang standar dan sebagainya (Jarlier, A dan Chavret-Protat, S, 2000). Namun studi yang dilakukan setelah tahun 200an menunjukkan hasil yang berbeda. Menurut penelitian Romley dan Goldman (2008) misalnya, peningkatan mutu dari persentil 25 ke persentil 75 meningkatkan biaya sebesar hampir 50% pada rata-rata RS yang diteliti. Faktor yang menyebabkan tingginya biaya antara lain adalah amenities pasien di ruang-ruang pelayanan.
Penelitian lain pada ribuan RS tentang efisiensi yang mencoba mencari hubungan antara biaya pelayanan dengan mutu dilakkan dalam setting yang lebih kompleks: pada pasien asuransi (medicare) khususnya kasus AMI (angio myocard infark), CHF (congestive heart failure) dan pneumonia, membedakan kepemilikan (RS profit dan non-profit) serta rasio perawat : hari perawatan. Hasilnya, ada hubungan yang konsisten (meskipun lemah) antara biaya dengan kinerja pelayanan AMI dan CHF, namun tidak pada penumonia. Juga ada hubungan yang tidak konsisten antara biaya dengan angka kematian (Jha, Ashis et.al., 2009).
Hal yang menarik, penelitian tersebut tidak untuk mendukung hipotesis bahwa efisiensi sama dengan pengurangan biaya. Hal ini karena hipotesis tersebut menggunakan asumsi RS menghasilkan output yang sama, sedangkan pada penelitian ini diasumsikan bahwa output RS tidak sama. Namun penelitian tersebut belum bisa menjawab apakah RS yang berbiaya rendah – karena rasio perawat rendah – menghasilkan output yang kualitasnya rendah. Juga tidak diketahui bagaimana strategi RS untuk menekan biaya terkait dengan teknologi dan isu staffing serta pelayanan pasca RS. Kesimpulannya, penelitian ini tidak menemukan bukti apakah RS berbiaya rendah juga menghasilkan pelayanan bermutu. Namun karena provider pelayanan kesehatan mendapatkan insentif jika berhasil melakukan efisiensi atau menurunkan biaya, maka perlu ada simulasi untuk memastikan bahwa efisiensi tersebut bukan dari hasil menurunkan mutu pelayanan.
Pada ilmu manajemen strategis, salah sau konsep strategi menyebutkan bahwa di tingkat operasional ada yang disebut strategi diferensiasi dan strategi cost leadership. Diferensiasi artinya organisasi menetapkan strategi untuk memberikan “servis” yang berbeda bagi penggunanya. Di dunia transportasi dikenal ada tiket kelas ekonomi dan kelas bisnis. Fasilitas yang diberikan berbeda dari tingkat kenyamanan. Namun dari sisi standar keselamatan, seharusnya sama. Demikian juga di pelayanan kesehatan, fasilitas kamar kelas VIP jauh berbeda dengan kelas III, namun skill perawat dan dokter yang menangani pasien sama. Ini adalah strategi agar perusahaan transportasi maupun pelayanan kesehatan mampu melayani penggunanya yang berasal dari segmen yang berbeda.
Strategi cost leadership artinya organisasi berupaya menekan biaya sedemikian rupa melalui efisiensi, tanpa mengorbankan mutu pelayanan. Pada industri penerbangan, salah satu strategi efisiensi yang populer adalah dengan pelayanan penjualan tiket dan check-in secara online, sehingga perusahaan tidak perlu menganggarkan khusus untuk biaya agent. Namun standar keamanan dan keselamatan yang diterapkan (seharusnya) sama dengan penerbangan yang lebih mahal. Pada pelayanan kesehatan, strategi cost leadership umumnya diterapkan oleh RS not-for-profit dan RS keagamaan. Pangsa pasar RS yang menerapkan strategi ini tidak mementingkan kemewahan kamar pelayanan atau ruang tunggu, atau privacy yang sangat ketat. Hal yang paling penting bagi mereka adalah mendapatan pelayanan yang dibutuhkan dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, berbagai fitur kenyamanan, misalnya ruang tunggu khusus keluarga, kamar perawatan yang lebih luas, suhu ruangan yang lebih sejuk dan sebagainya, yang tidak berhubungan dengan kualitas pelayanan klinis. Namun angka infeksi, angka kematian pasca operasi, dan berbagai indikator klinis lainnya tidak boleh berbeda dengan pelayanan yang biayanya (dan tarifnya) mahal.
Di Indonesia, pola pembayaran fee for service berdampak signifikan pada tingginya biaya pelayanan dan sulitnya biaya dikendalikan. Selain itu, perubahan pola penyakit, penerapan teknologi dan pelayanan yang belum terstandarisasi ikut mempengaruhi biaya pelayanan. Semakin tingginya biaya membebani anggaran belanja negara sehingga pemerintah mencoba mengendalikannya melalui penerapan JKN.
Dengan penerapan JKN, masyarakat dituntut memanfaatkan faskes melalui sistem rujukan berjenjang. Sistem ini akan memfilter kasus sederhana agar ditangani di PPK 1, tidak ke faskes rujukan, sehingga pemanfaatan sumber daya dan teknologi tinggi di faskes rujukan fokus untuk pelayanan dengan severitas lebih tinggi. Namun sayangnya belum ada penelitian komprehensif yang mengaitkan antara mutu pelayanan dengan efisiensi biaya pada pelaksanaan JKN di Indonesia. Bahkan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa penerapan JKN ini memang benar meningkatkan efisiensi RS. Hal yang jelas, JKN telah memaksa terjadinya perubahan budaya para pemberi pelayanan kesehatan menjadi lebih sadar biaya. (pea)
Catatan:
Seluruh referensi ada pada penulis