Dear Pengunjung website, Laporan Terkini Health Sector Review 2014
09 Dec2014
RSUD Badung; dari Terbengkalai ke Akreditasi ParipurnaBadung adalah kabupaten terkaya di Bali. Betapa tidak, lebih dari 60% hotel seluruh kelas ada di kabupaten ini, dan 27% diantaranya adalah hotel bintang lima. Meskipun tujuan wisata internasional banyak terdapat di Gianyar dan Tabanan, namun transaksi dari pariwisata justru lebih banyak terjadi di Kabupaten Badung. Persentase penduduk miskinnya terkecil kedua setelah kota Denpasar, yaitu 2,5% di tahun 2013 (Provinsi Bali: 4,5%). Dengan kondisi ini, Kabupaten Badung memiliki kemampuan yang paling besar untuk membangun fasilitas publik demi kesejahteraan masyarakat, termasuk rumah sakit. Namun kenyataannya, sejak awal berdiri, RSUD Badung yang dulu bernama RSUD Kapal tidak berkembang. Pembangunan gedung banyak yang mangkrak, peralatan medis minimalis, bahkan banyak tenaga dokter spesialis yang lebih betah praktek di luar RS dibandingkan melayani pasien di RSUD Badung. Komplain terhadap pelayanan RS tidak hanya berasal dari masyarakat namun juga dari pemerintah dan DPRD. Banyak faktor yang mendorong terjadinya situasi ini, yang berasal dari dalam maupun luar RSUD. Kini terlihat perubahan yang drastis di RSUD ini. Tahun 2011, dr. Agus Bintang Suryadhi, MKes sebagai direktur memimpin RS ini dengan cara yang berbeda. Perubahan ini diawali dengan menetapkan target yang terlihat ambisius pada masa itu, yaitu meraih predikat terakreditasi versi 2012. Target ini cukup ambisius, karena kondisi RS yang jauh dari baik dan standar akreditasi 2012 yang lebih tinggi daripada versi sebelumnya. Namun dengan kerja keras dan kepemimpinan yang kuat, direktur berhasil meyakinkan Pemda dan DPRD bahwa RS harus dikelola sebagai lembaga yang professional dan menerapkan PPK-BLUD. Selain itu, direktur juga berhasil menggalang komitmen internal agar seluruh pegawai dapat bekerja sama menjadi tim yang kompak untuk mendapat pengakuan nasional dalam hal mutu pelayanan (akreditasi). Penilaian akreditasi ini bersamaan dengan upaya RSUD dalam memperbaiki sarana pelayanan, dimana saat itu beberapa gedung lama yang tidak laik dan tidak memenuhi standar dibongkar untuk dibangun yang baru (antara lain rawat inap dan gudang farmasi), maka RSUD Badung hanya mendapat predikat akreditasi tingkat madya. Namun setelah seluruh gedung tersebut selesai dibangun, RSUD Badung dinilai ulang dan berhasil mendapatkan predikat terakreditasi paripurna.
Perubahan yang dilakukan bukannya tanpa hambatan. Tantangan yang paling sulit adalah bagaimana staf di ruangan bisa mengikuti proses dan mengaplikasikan standar-standar akreditasi. Pada fase awal persiapan akreditasi, sebagian tenaga RS menganggap hal tersebut hanya tugas Pokja Akreditasi. RSUD Badung membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk mengubah mindset hingga siap secara fisik dan mental untuk terakreditasi dan mengubah budaya organisasi.
Namun banyak juga faktor yang mendukung, antara lain semangat dan kemauan staf untuk mendukung keberhasilan, pemenuhan fasilitas dan pemenuhan standar kompetensi dan jumlah staf. Dari sisi keuangan RSUD Badung juga menunjukkan peningkatan yang pesat. Tahun 2010 pendapatan RS ini sebesar Rp 9,8M, meningkat menjadi Rp 22,9M di tahun 2011 dengan dilakukannya pembenahan pada manajemen khususnya billing system serta mengganti staf di bagian pendaftaran. Tahun 2012 pendapatan meningkat lagi menjadi 29M dengan adanya peningkatan kapasitas pelayanan, antara lain OK dan ruang perawatan anak. Tahun 2013, pendapatan RS ini mencapai Rp 46M dengan meningkatnya volume operasi yang mampu ditangani oleh RS (seiring dengan peningkatan kapasitas SDM), serta bertambahnya fasilitas RSUD dengan HCU dan hemodialisis. RSUD Badung baru saja meresmikan gedung baru untuk pelayanan rawat inap, sehingga pada Januari 2015 diharapkan kapasitas perawatan mencapai 200 tempat tidur.
Kini RSUD Badung menjadi tempat belajar bagi RS, Pemerintah Daerah, DPRD bahkan puskesmas dari daerah lain. Setiap minggu RS ini kedatangan setidaknya satu rombongan untuk melihat perkembangan yang terjadi dan strategi yang telah diterapkan sehingga mencapai kemajuan yang signifikan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. (pea)
08 Dec2014
Exit Strategy Program SH dan PML di Provinsi NTTPada akhir sesi hari ini diakhiri dengan diskusi keberlangsungan program SH dan PML se Provinsi NTT sebagai exit strategi dari sisi pendanaan program dan pengembangan SDM dipaparkan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dan dr. Stefanus Bria Seran, MPH. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD lebih banyak membahas mengenai identifikasi pendanaan setelah berakhirnya program SH PML. Potensi pendanaan yang dapat diambil adalah dari APBD kabupaten, APBD provinsi, APBN, BPJS, maupun donor / proyek lain dari DFAT, namun proporsi terbesar adalah pendanaan dari APBD kabupaten. Antusiasme RSUD yang melakukan exit strategy dengan PKMK UGM dan Dinkes Provinsi NTT bervariasi, sebagian sudah masuk di pendanaan APBD dan APBN. Perlu dilihat pula prospek pendanaan dari Kemenkes (Pusat) dan BPJS. Prospek dana dari pemerintah pusat langsung disalurkan ke kabupaten dan diarahkan ke daerah sulit. Perlu adanya peningkatan dana untuk kesehatan dari APBN berupa dana investasi untuk faskes dan SDM. Kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan antara lain perlu mengaktifkan kebijakan dana kompensasi untuk daerah-daerah yang belum mempunyai sumber daya kesehatan yang cukup, menggunakan model Sister Hospital, dan pengembangan social movement. Sedangkan dana kompensasi dari BPJS sudah diatur dalam UU SJSN (2014) dimana ada pasal yang mengatur tentang kompensasi dan juga diatur lebih lanjut dengan Permenkes no 71 tahun 2013. Selain itu prospek pendanaan dari “dana sisa” PBI yang tidak terserap di NTT. Namun jangan sampai dana sisa PBI lari ke Pulau Jawa dan Bali yang mempunyai jumlah fasilitas kesehatan yang lebih banyak dan akses yang lebih mudah sehingga dana sisa PBI lebih banyak terserap ke Pulau Jawa dan Bali, bahkan NTT tidak dapat menyerap banyak dana tersebut. Dari sisi pengembangan SDM yang dipaparkan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH menyatakan bahwa program SH PML perlu dilanjutkan karena pencapaiannya berhasil dan baik. Program ini dilanjutkan sampai Provinsi NTT dapat mandiri baik dalam pemenuhan SDM, pembiayaan, dan budaya kerja sesuai dengan SOP dan tuntutan masyarakat. Namun hal ini terkendala biaya sehingga perlu perhatian dari Pemerintah Daerah dan pihak eksternal, selain itu dari sisi SDM harus meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan.
08 Dec2014
Pengembangan dan Peningkatan SDM Kesehatan Melalui Pengalokasian Kelas Khusus Untuk Bidan dan Perawat Bagi Nakes dan Calon Nakes Kabupaten Sumba TimurPemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur yang diwakili oleh Wakil Bupati dr. Mateus Kito, Sp.B memaparkan mengenai pengembangan dan peningkatan SDM kesehatan melalui pengalokasian kelas khusus untuk bidan dan perawat bagi nakes dan calon nakes. Tenaga kesehatan di NTT termasuk di Kabupaten Sumba Timur dapat dikatakan kurang baik dalam jumlah maupun kualitas. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba memberikan perhatian terhadap kondisi ini. Melalui harapan masyarakat akan tersedianya ketersediaan tenaga kesehatan di semua desa, sarana pelayanan di pedesaan, adanya sistem rujukan dari desa ke puskesmas, dan pelayanan kesehatan yang bermutu memberikan berbagai peluang untuk mewujudkan harapan tersebut. Beberapa peluang seperti regulasi, program peningkatan kualitas SDM kesehatan, dan komitmen Pemda dan DPRD untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Pemda Kabupaten Sumba Timur sudah melakukan kebijakan diantaranya koordinasi dengan Poltekes Kemenkes Kupang, menyelenggarakan workshop rencana penyelenggaraan pendidikan D3 kebidanan umum dan penandatangan MOU antara Pemda Sumba Timur dan Poltekes Kupang, sosialisasi kepada masyarakat melalui institusi pendidikan SLTA dan forum lain, perjanjian dengan calon siswa untuk mengabdikan diri ke daerah asal, merencanakan anggaran untuk pendidikan kebidanan, dan merekrut calon mahasiswa. Rencana perekrutan calon mahasiswa pada tahun 2011 sampai dengan 2014 sebanyak 160 calon dimana 40 calon per tahunnya. Selain itu dilakukan kebijakan peningkatan kualitas SDM dengan program khusus bagi perawat dan bidan yang belum berijazah D3 kerjasama Pemda Sumba Timur dengan Poltekes Kemenkes Kupang. Pembiayaan peserta disediakan oleh Pemda Sumba Timur. Hasil yang dicapai adalah pada tahun 2014 ini telah dilakukan wisuda untuk bidan dan perawat umum dan program khusus serta penempatan lulusan tersebut kembali ke tempat tugas semua atau penempatan sesuai kebijakan pemda.
08 Dec2014
Hasil Monev dan Refleksi PMLHasil monev PML November 2014 dipaparkan oleh Derty Koroh, SKM, MPH yang lebih banyak menyoroti program wajib, program tambahan, implementasi BLUD, progres persiapan BLUD, dan implementasi billing system. Dari kesembilan RSUD banyak yang menunjukkan kemajuan namun ada pula yang stagnan. RSUD Bajawa mengalami kemajuan melalui penerapan program PML yaitu mendapatkan akreditasi, penetapan Kelas C, dan sudah menerapkan billing system meskipun baru di IRJA. Selain itu rumah sakit ini perlu segera menerapkan BLUD, serta mengimplementasikan billing system di unit-unit pelayanan yang lain. Untuk RSUD Ende hampir semua program wajib telah terpenuhi, kecuali penataan aset. Untuk itu program PML perlu diteruskan dengan melibakan masyarakat dan mitra lainnya, menghapus aset yang tidak terpakai, dan membudayakan respon cepat ke seluruh staf rumah sakit. RSUD Kefamenanu sudah menyelesaikan seluruh program wajib kecuali BLUD dan ditargetkan tahun ini ditetapkan sebagai PPK BLUD. Rumah sakit perlu memiliki tenaga spesialis sendiri, segera menyiapkan re-akreditasi, dan mengoptimalkan billing system. Untuk RSUD Larantuka perlu lebih proaktif berkomunikasi untuk ditetapkan sebagai RS Kelas C. Implementasi BLUD perlu didukung oleh payung hukum agar RSUD bisa lebih optimal dalam memberikan pelayanan publik. RSUD Lewoleba belum menyelesaikan penataan aset, belum memenuhi syarat Kelas C dan belum ditetapkan sebagai BLUD. Diharapkan RSUD Lewoleba perlu meningkatkan komunikasi dan upaya untuk memenuhi hal-hal tersebut diatas. RSUD Ruteng perlu lebih proaktif berkomunikasi untuk ditetapkan sebagai RS Kelas C. Implementasi BLUD perlu didukung oleh payung hukum agar RSUD dapat lebih optimal dalam memberikan pelayanan publik. RSUD Soe belum menyelesaikan proses menjadi BLUD dan menata aset, serta status terakreditasi akan segera berakhir. Oleh karena itu, RSUD Soe perlu meningkatkan upaya untuk menjadi BLUD dan menyiapkan reakreditasi. Untuk RSUD Waikabubak sudah mengalami kemajuan dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Namun masih perlu meningkatkan kinerja BLUD (pencapaian SPM dan RSB/RBA) dan perlu meningkatkan koordinasi dan komunikasi yang lebih baik antara manajemen dengan klinisi. Sedangkan untuk RSUD Umbu Rara Meha kinerja sudah melampau yang targetkan. Namun masih perlu membenahi sumber daya untuk billing system dan mengagendakan pertemuan evaluasi pencapaian target SPM. Sedangkan refleksi PML yang sudah dilakukan beberapa tahun ini dipaparkan oleh Putu Eka Andayani, SKM, MKes memberikan gambaran bahwa sebagian besar tujuan PML tercapai, sebagian besar menyentuh aspek budaya organisasi, dan terdapat peningkatan kapasitas SDM. RSUD sudah mulai konsisten dalam menyediakan pelayanan kesehatan medis spesialistik sesuai dengan tipe RS, kunjungan pasien cederung meningkat, namun probabilitas terjadinya kematian di RS juga meningkat. Selain itu pengelolaan aset secara administratif sudah baik namun secara faktual belum terorganisir. Sepanjang pelaksanaan PML, ada banyak pelatihan yang ditujukan bagi tenaga fungsional (klinis) maupun tenaga struktural (manajerial) dan perbaikan sistem operasional. Kemungkinan besar perbaikan dan ketersediaan pelayanan di RSUD telah menarik masyarakat untuk menggunakan faskes, khususnya rumah sakit. Meskipun kegiatan PML belum mampu mendukung tercapainya output SH yang memuaskan, namun secara keseluruhan program ini sudah memberikan landasan untuk pelaksanaan pelayanan yang lebih baik. Program PML perlu diteruskan agar tujuan SH yaitu menurunkan angka kematian ibu dan bayi benar-benar dapat dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan dukungan dari stakeholders kunci (Pemda, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten serta staf RSUD) yang berkesinambungan untuk mendukung program PML.
08 Dec2014
Hasil Monev SH November 2014 dari Aspek Manajemen, Aspek Klinis Neonatal, Aspek Klinis Maternal, Aspek Kualitatif, dan Refleksi Sister HospitalHasil monev SH dari aspek manajemen disajikan oleh Robertus A. Koit, ST, MKes yang membahas mengenai administrasi umum, administrasi keuangan, fasilitas untuk tim mitra, capacity building, pengembangan sistem PONEK, kinerja sistem PONEK, optimalisasi pelayanan, quality improvement, kondisi infrastruktur, AMP di RSUD, AMP di tingkat kabupaten, dan rekomendasi kepada Pemda. Dilihat dari berbagai poin tersebut semua RSUD sudah melaksanakan rekomendasi dari mitra berkenaan tentang penataan ruang, SDM, fasilitas, obat, peralatan, dan budaya kerja, walaupun belum sempurna. Untuk administrasi umum, fasilitas untuk tim mitra dan keuangan di RSUD tidak ada masalah walaupun masih ada pembayaran yang tidak tepat waktu. Capacity building sudah berjalan dengan baik di semua RSUD dan sudah melibatkan staf puskesmas PONEK maupun Non PONEK dalam bentuk magang di RSUD. Pengembangan sistem PONEK sudah berjalan baik walaupun ada beberapa RSUD yang masih mengalami kendalam dalam penerapan SOP dan formularium obat. Kinerja sistem PONEK sudah berjalan cukup baik walaupun pada periode ini ada beberapa RSUD yang sempat mengalami kekosongan pelayanan. Upaya promosi dan sosialisasi terus dilakukan oleh semua RSUD kepada pihak terkait untuk keberlangsungan program ini. Kegiatan QI belum maksimal dalam pelaksanaannya dan pemanfaat VSAT di semua RSUD sudah tidak berjalan lagi dan sementara dibackup dengan koneksi Speedy. Sebagian besar RSUD sudah melakukan AMP internal secara rutin namun hanya 1 RSUD yang belum melakukan AMP. Untuk AMP kabupaten masih mengandalkan dana dari AIPMNH. Beberapa saran yang dapai dilakukan antara lain menjadwalkan evaluasi QI, SOP, formularium obat, dan lainnya, menjamin rekomendasi AMP dengan kerja sama lintas sektor, dan membantu advokasi exit strategy ke provinsi dan pusat.
Hasil dari aspek klinis neonatal dipaparkan oleh dr. Irene Davidz, Sp. A yang membahas mengenai kinerja manajemen dan kinerja klinis. Secara umum kinerja manajemen dilihat dari sisi standar input menunjukkan peralatan sudah cukup lengkap, namun sebagian RSUD belum memiliki area cuci inkubator dan area laktasi. Selain itu perlu memperhatikan pencegahan infeksi dan perlu kedisiplinan perilaku petugas untuk pelaksanaan hal tersebut. Dari sisi standar pengelolaan menunjukkan sudah adanya SOP dan rekam medis yang sudah rapi. Namun masih perlu memberikan pelatihan dan magang bagi staf, perlu adanya penyelia langsung, dan melakukan analisa beban kerja. Pengaturan sistem kerja masih perlu diperbaiki, analisa kualitas pelayanan belum dilakukan, dan manajemen pemeliharaan belum berjalan dengan baik. Penilaian secara paralel dan restrospektif menunjukkan masih ada rekam medik yang belum lengkap walaupun sudah rapi. Rekam medik yang lengkap hanya diisi oleh PPDS. Pemeliharaan alat laboratorium masih kurang dan monitoring masih perlu ditingkatkan. Untuk kematian neonatus jumlah absolut tertinggi RSUD Ruteng sebesar 73 dan terendah Lewoleba 18 yang disebabkan karena asfiksia, sepsis, dan BBLR. Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan antara lain dengan memberdayakan dokter umum sebagai asisten dan bukan sebagai ban serep dengan diberi reward yang semestinya untuk mengurangi beban kerja dokter spesialis, SOP untuk disiplin mengisi catatan medik dan inform consent, dan manajemen perawatan alat.
dr. Danu Marioto Teguh SpOG-K memaparkan hasil aspek klinis maternal yang memonitor kajian terhadap manajemen dan output pelaksanaan, permasalahan yang dihadapi, evaluasi kinerja dan kinerja selanjutnya. Pada monev X ini menunjukkan adanya penurunan hasil dibandingkan monev sebelumnya. Secara detail beberapa RSUD yang meningkat hasilnya yaitu RSUD Ende dan RSUD Waikabubak, sedangkan RSUD yang mengalami penurunan hasil adalah RSUD Ruteng, RSUD Kefamenanu, RSUD Soe, RSUD Lewoleba, RSUD Larantuka, dan RSUD Bajawa. Sedangkan yang menunjukkan hasil tetap adalah RSUD Waingapu. Saran yang dapat dilakukan antara lain perbaikan infrastuktur, pembuatan kebijakan yang mendukung pelayanan, persediaan logistik yang memadai, ketersediaan SDM sesuai keahlian, melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Kesemuanya itu dengan dukungan dana dari APBN, APBD, dan AIPMNH.
Hasil monev aspek kualitatif yang disampaikan oleh Dr. Atik Triratnawati, MA menemukan berbagai temuan. Namun secara umum terdapat peningkatan di segala bidang termasuk kemampuan SDM. Beberapa temuan yang sifatnya memberi pengaruh positif maupun yang penuh hambatan diantaranya kebersihan rumah sakit jika dilakukan oleh petugas outsourching hasilnya lebih bersih, petugas kesehatan sekarang sudah lebih ramah, dan rujukan AMP dari kabupaten tetangga meningkat seperti di Kabupaten Bajawa. Sedangkan beberapa temuan yang dianggap sebagai hal yang kurang positif seperti adanya pinjam meminjam infus dan obat antar pasien di RSUD Lembata karena prosedur pembelian obat melalui e katalog, dimana prosedur pembelian melalui e katalog memerlukan kunjungan lapangan dari distributor obat, sehingga rumah sakit yang memesan obat dalam jumlah sedikit mesti menunggu antrian kunjungan lapangan yang tentunya membutuhkan dana kunjungan yang tidak sedikit, adanya kejenuhan SDM di RSUD Ende sehingga perlu mengundang motivator dari luar untuk melakukan pelatihan, di RSUD Kefamenanu selama 4 bulan dokter Mitra A tidak mengirim residen karena RSAB Harapan Kita sebagai mitra A sudah tidak menjalin kerja sama dengan Universitas Padjajaran sehingga tidak dapat melanjutkan kemitraan dengan RSUD Kefamenanu, finger print presensi hasilnya tidak dapat dicetak, pelaksanaan SOP yang belum maksimal. Selain itu perilaku petugas kesehatan saat merujuk bukannya duduk di sebelah pasien namun malah duduk di dekat driver ambulance. Hal lain yang cukup mengejutkan adalah ketidakdisiplinan dokter dalam menulis resep yang menggunakan simbol-simbol, hal ini membuat kesulitan untuk menterjemahkan maksud obat yang diresepkan. Serta masih ada sikap iri antar staf dari sisi kompensasi. Masih terjadi kekurangan air sehingga runag-ruang sangat bau. Setelah program SH PML berakhir, ada beberapa rumah sakit yang sudah siap mandiri, namun ada pula rumah sakit yang belum dapat mandiri. Mereka menyatakan siap mandiri +/- 10 tahun mendatang. Selain itu jika ingin melanjutkan program kemitraan sendiri, ada yang memilih untuk ganti mitra karena pertimbangan biaya (mencari rumah sakit mitra yang lebih dekat). Selain itu RSUD lebih respek jika monev dilakukan oleh orang luar NTT. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah banyak RSUD yang belum siap karena mereka mengharapkan program lanjutan (Permata).
Setelah pemaparan hasil monev SH maka dilanjutkan dengan pemaparan refleksi program SH yang sudah berjalan. Refleksi program SH ini disajikan oleh Dr. dr. Dwi Handono, MKes, drg. Puti Aulia Rahma, MPH, dr. Hanevi Djasri, MARS, dan dr. Sitti Noor Zaenab, MKes. Dari sisi pengiriman dokter spesialis atau residen senior yang dipaparkan oleh Dr. dr. Dwi Handono, MKes menggambarkan bahwa terkadang terjadi keterlambatan pergantian antar periodenya sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan pelayanan, misalnya di RSUD Bajawa pernah terjadi kekosongan sampai 2 minggu dikarenakan jadwal transportasi yang kurang mendukung, keberadaan residen dari RS Mitra juga sangat membantu secara fisik ditandai dengan penataan ruang ICU, kebidanan dan perawatan bayi sehingga lebih memenuhi standar pelayanan PONEK. Selain itu, kinerja sistem PONEK juga berhasil ditingkatkan seperti membaiknya response time. Dengan adanya pelayanan PONEK 24 jam ini maka jumlah rujukan pun semakin meningkat. Kemudian drg. Puti Aulia Rahma, MPH memaparkan mengenai peningkatan keterampilan teknis staf di rumah sakit dan pelatihan tim tenaga di puskesmas dengan melakukan transfer of knowledge dari RS Mitra ke RS MItra B. Budaya kerja di rumah sakit dapat ditingkatkan rasa disiplin, tanggung jawab, dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Selain itu staf puskesmas perlu dilibatkan dalam kegiatan capacity building. Kegiatan pengiriman pendidikan dokter spesialis dilakukan dengan tujuan menyediakan tenaga spesialis 4 tahun ke depan untuk kemandirian rumah sakit. Dokter yang masih menjalani pendidikan direncanakan kembali pada rentang tahun 2015 – 2017. Komitmen Pemda diperlukan untuk mendukung pendidikan dokter spesialis.
Perbaikan sistem rujukan berbasis manual rujukan maternal – neonatal disampaikan oleh dr. Sitti Noor Zaenab, MKes yang memaparkan mengenai konsep pendampingan dengan model Plan (2012) – Do (2013) – Check (2014) – Action (2014), dan tindak lanjut hasil evaluasi serta perbaikan (2015). Metode pendampingan dengan tatap muka di awal, teleconference setiap 2 bulan, dan monev lapangan setiap 3 bulan. Prinsip manual rujukan ini mengintegrasikan 5 sistem yaitu sistem manajemen, sistem pelayanan klinis, sistem pembiayaan, sistem informasi dan komunikasi, serta sistem transportasi. Hasil dari monev 2014 ini menunjukkan ada 10 kabupaten mendapatkan 3 bintang (90.9%) dan 1 kabupaten hanya mendapat 2 bintang (9.1%) yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara. Dalam proses perbaikan ke tingkat yang lebih tinggi pasti akan muncul masalah yang tidak akan ada habisnya. Refleksi mengenai jumlah kematian ibu dipaparkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS yang menggambarkan bahwa banyaknya kematian ibu dan bayi di rumah sakit karena adanya sistem rujukan ke rumah sakit. Jumlah kematian ibu dan bayi sebenarnya tidak drastis karena adanya “shifting”. Namun trend nya menurun dimana ada perbaikan mutu layanan di rumah sakit. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Program SH membawa dampak positif bagi RS, Puskesmas, Dinkes, Pemda, dan masyarakat. Pelayanan PONEK 24 jam di RSUD dapat berjalan karena dukungan tenaga ahli dari RS mitra dan didukung penyediaan alkes, obat-obatan, pembangunan gedung, maupun penataan ruang yang memadai. Namun di sisi lain kegiatan SH belum serta merta menurunkan kematian ibu dan bayi karena adanya peningkatan rujukan ke RSUD peserta SH, rujukan yang tiba ke RSUD dalam keadaan terlambat, maupun kapasitas tenaga kesehatan juga kurang memadai padahal sudah diberi pelatihan. Saran yang dapat dipertimbangkan untuk perbaikan kualitas antara lain Sistem PONEK 24 jam harus dipertahankan dengan menjamin ketersediaan tenaga kesehatan, alat kesehatan, obat, dan ruangan yang memadai, dan perlu adanya peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan agar kematian yang bisa dicegah dapat ditangani dengan baik.
08 Dec2014
Laporan Pelaksanaan Monev X SH dan PMLLaporan pelaksanaan monev SH dan PML X ini dipaparkan oleh drg. Puti Aulia Rahma, MPH. Monev X dilaksanakan pada 3 – 11 November 2014 dengan didukung oleh POGI dan IDAI Kupang sebagai evaluator aspek klinis dan tim monev HOGSI Malang sebagai pendamping, Dinkes Provinsi NTT sebagai evaluator aspek manajemen dan tim PKMK FK UGM sebagai pendamping, serta tim kualitatif PKMK FK UGM sebagai evaluator aspek kualitatif. Secara umum pelayanan klinis di RSUD masih perlu ditingkatkan baik dari ketrampilan tenaga maupun mutu pelayanan, dukungan dari pemda dan manajemen rumah sakit dalam hal mutasi SDM, aspek manajerial mengalami peningkatan walaupun masih perlu perbaikan, budaya kerja semakin membaik namun ada SDM di beberapa RSUD yang mengalami penurunan motivasi, budaya di masyarakat masih mempengaruhi pembuatan keputusan rujukan ibu hamil, dan sistem rujukan masih perlu perbaikan.
08 Dec2014
Review Keberhasilan Revolusi KIA NTTKepala Dinas Provinsi NTT, dr. Stefanus Bria Seran, MPH menyajikan review keberhasilan revolusi KIA di NTT dimana indikator keberhasilan revolusi KIA NTT antara lain jumlah fasilitas kesehatan yang memadai, jumlah ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan, pembuatan payung hukum, pelayanan KB paska persalinan, serta penurunan kematian ibu dan bayi sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Selain itu tenaga kesehatan harus mencukupi agar revolusi KIA dapat berhasil. Regulasi yang memayungi dan sistem pemantauan dengan sistem 2H2 Center juga sebagai pendukung keberhasilan revolusi KIA.
Bila dilihat data jumlah persalinan di fasilitas kesehatan dari 2008 sampai dengan Oktober 2014 terdapat trend yang meningkat dari 43.84 % menjadi 86.65%. Penurunan jumlah kematian ibu dari 300 kasus menjadi 123 kasus, sedangkan jumlah kematian bayi juga terdapat penurunan dari 1,274 kasus menjadi 1,050 kasus. Puskesmas juga diberdayakan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi sesuai dengan metode, sasaran, frekuensi, pelaku, dan biaya. Selain itu kerjasama Pemerintah Daerah dan para ahli diperlukan untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Dengan adanya program SH dan PML membawa dampak yang cukup signifikan bagi 11 RSUD yang dapat diwakili dengan data penerimaan rumah sakit seperti RSUD Ruteng dari 3 Milyar menjadi 22 Milyar, RSUD Ende dari 4 Milyar menjadi 23 Milyar, ataupun RSUD TC Hillers Maumere dari 11 Milyar menjadi 34 Milyar. Secara umum, pendapatan kesebelas RSUD tersebut meningkat 2x lipat setelah adanya program SH dan PML.
08 Dec2014
Peran Dinkes Provinsi Dalam Monev : Apakah Dapat Dikembangkan Paska AIPMNHSesi panel selanjutnya dipaparkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS yang lebih memfokuskan pada pekerjaan monev selama ini dan bagaimana monev paska selesainya pekerjaan AIPMNH. Program SH NTT tujuannya untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta menyelenggarakan PONEK 24 jam dengan mengirimkan residen ke rumah sakit mitra B dan juga program PPDS dengan mengirimkan dokter untuk belajar tingkat lanjut. Selama ini peran PKMK FK UGM pada Monev SH dengan melakukan monev mingguan, bulanan, dan triwulanan dengan kunjungan lapangan. Pembiayaan berasal dari AIPMNH sebesar Rp. 200 juta / tahun / rumah sakit dan Rp. 200 juta / tahun / rumah sakit untuk biaya sosialisasi. Mekanisme Dinas Kesehatan dalam Monev Ponek 24 jam adalah memastikan monev internal tetap berjalan dengan logbook harian dan laporan bulanan, memastikan berjalannya SOP pencatatan dan pelaporan rumah sakit serta sistem database rumah sakit, dan melakukan monev eksternal rumah sakit.
08 Dec2014
Lokakarya Evaluasi Akhir Program Sister Hospital dan Performance Management and Leadership Rumah Sakit di Provinsi NTTLokakarya Evaluasi Akhir Program Sister Hospital dan Performance Management and Leadership Rumah Sakit di Provinsi NTT 4 Desember 2014 Hari 1 – Hari 2 Oleh: Elisabeth Listyani
Pembukaan
![]() Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD sebagai team leader PKMK FK UGM, dr. Stefanus Bria Seran, MPH sebagai Kepala Dinas Provinsi NTT, Dr. Louis Simpson sebagai Direktur AIPMNH NTT, dan Lea Suganda sebagai perwakilan DFAT Program Sister Hospital dan Performance Management and Leadership yang telah berlangsung selama 4 tahun ini menunjukkan banyak capaian yang sudah diperoleh. Saat ini monev sudah memasuki periode ke 10 dimana kegiatan monev sudah dilakukan pada November 2014. Dan pada 4-5 Desember 2014 ini dilakukan lokakarya hasil akhir kegiatan Monev X di Denpasar, Bali. Lokakarya hasil akhir ini dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD sebagai team leader PKMK FK UGM, dr. Stefanus Bria Seran, MPH sebagai Kepala Dinas Provinsi NTT, Dr. Louis Simpson sebagai Direktur AIPMNH NTT, dan Lea Suganda sebagai perwakilan DFAT. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menyampaikan bahwa pertemuan lokakarya akhir ini akan lebih banyak menggali potensi – potensi pada fase berikutnya untuk memperkuat kemitraan dengan mengurangi bantuan dari AUSAID dan berusaha mandiri. Selain itu pertemuan ini membahas exit strategy untuk KIA, bedah, dan poin penting lainnya. Hal ini merupakan tanggung jawab kita semua untuk menekan angka kematian ibu dan anak. Dr. Stefanus Bria Seran, MPH menyatakan bahwa kegiatan Monev NTT ini merupakan bantuan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah dan dilakukan secara link and match dengan adanya pengiriman spesialis medis, mengembangkan sistem, dan menata manajemen. Selain itu keberhasilan program ini juga didukung oleh pemerintah daerah dan diharapkan 10 -15 tahun mendatang kondisi kesehatan di NTT semakin maju. Silakan klik informasi dibawah ini untuk membaca lebih lanjut.
|
09 Dec2014