108Jakarta.com – Sejumlah Puskesmas di DKI Jakarta, akan beralih fungsi menjadi Rumah Sakit tipe D. Rumah sakit tipe D adalah rumah sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan dokter umum dan dokter gigi. Rumah sakit ini bisa menampung rujukan yang berasal dari Puskesmas.
Dengan beralih fungsinya Puskesmas menjadi rumah sakit tipe D, diharapkan bisa memudahkan masyarakat untuk berobat.
Direktur Utama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jaminan Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr Theryoto mengatakan, tahun ini Pemprov DKI sedang memrogramkan penambahan rumah sakit daerah di Jakarta.
Caranya dengan meningkatkan status Puskesmas menjadi rumah sakit Type D. “Tidak ada artinya pelayanan gratis kalau jarak akses masih jauh. Ini juga sedang kita pikirkan. Tahun ini ada beberapa Puskesmas akan dijadikan RS tipe D itu,
Pedoman Standar Nasional Keselamatan Pasien 2014
Joint Commission International
Pada Oktober 2012 yang lalu, JCI telah merencanakan untuk meng-updatePedoman Standar Nasional Keselamatan Pasien(NPSG) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014 di Amerika. Organisasi yang telah eksis sejak 2002 ini telah mengeluarkan seperangkat NPSG tahun 2003 dan sejak itu The Patient Safety Advisory Group aktif memberikan masukan pada JCI mengenai bagaimana melakukan revisi dan update terhadap pedoman tersebut. Masukan untuk revisi ini dilakukan melalui diskusi yang diikuti oleh para ahli patient safety yang sudah diakui secara luas. Mereka terdiri dari perawat, dokter, farmasis, manajer risiko, teknisi medis, dan ahli lainnya yang memiliki pengalaman dalam menghadapi isu patient safety dengan berbagai setting pelayanan kesehatan.
Untuk tahun 2014, NPSG difokuskan pada manajemen alarm untuk keselamatan klinis yang akan mulai diperkenalkan pada awal tahun 2014 dengan 2 fase implementasi (tahun 2014 dan tahun 2016). Ada beberapa tujuan (goals) yang direvisi/diperbaharui, yaitu meliputi:
Goal 1: Meningkatkan akurasi identifikasi pasien
Goal 2: Meningkatkan efektivitas komunikasi diantara staf fungsional
Goal 3: Meningkatkan keselamatan dalam penggunaan obat-obatan
Goal 6: Mengurangi harm yangterkait dengan sistem alarm klinis
Goal 7: Mengurangi risiko infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan
Goal 9: Mengurangi risiko harm terhadap pasien akibat jatuh
Goal 14: mencegah infeksi dekubitus yang terkait dengan pelayanan kesehatan
Goal 15: Organisasi mengidentifikasi risiko keselamatan yang dapat terjadi pada populasi yang dilayaninya.
Dari berbagai goals yang direvisi tersebut, nampak bahwa Amerika pun masih mengalami masalah dasar seperti akurasi identifikasi pasien. Jika melihat lebih detil, salah satu point dalam goal tersebut adalah adanya minimal dua tanda pengenal pasien sebagai upaya cross-check.
Untuk mencapai seluruh goals tersebut, RS-RS di Amerika harus membangun alarm safety sebagai prioritas organisasi dan mengidentifikasi alarm terpenting untuk dikelola sesuai dengan situasi internalnya. Untuk periode kedua yang akan dimulai pada tahun 2016, RS diharapkan mengembangkan dan mengimplementasikan komponen-komponen spesifik dari kebijakan dan prosedur, serta mengedukasi staf mengenai alarm system management.
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya.
Setelah berjalan kurang lebih tiga minggu, pelaksanaan JKN menuai komplain terutama dari masyarakat. PKMK mencoba melakukan pengamatan terhadap berbagai informasi yang terkait dengan pelaksanaan JKN ini. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber: media massa online, media massa cetak, hingga informasi yang didapat dari pelaksana pelayanan di RS. Dari hasil pengamatan tersebut, diketahui bahwa memang masih banyak sekali masalah dalam pelaksanaan JKN, khususnya di rumah sakit. Berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian. Silahkan untuk mengikuti uraiannya. Selain masalah, ada dampak positif juga dari pelaksanaan JKN ini yang telah teridentifikasi. Silahkan untuk membacanya.
The Joint Commission International baru-baru ini merilis Pedoman Standar Nasional Keselamatan Pasien 2014 yang menarik untuk diikuti. Meskipun Amerika merupakan negara besar dengan standar keselamatan pasien tertinggi di dunia, namun hal mendasar seperti akurasi identifikasi pasien dan efektivitas komunikasi antar staf fungsional masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian khusus. Kedua points ini kemudian menjadi Goal nomor 1 dan Goal nomor 2 dalam National Patient Safety Guideline 2014 yang mereka rilis.
Kajian Media Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional
Setelah berjalan kurang lebih tiga minggu, pelaksanaan JKN menuai komplain terutama dari masyarakat. PKMK mencoba melakukan pengamatan terhadap berbagai informasi yang terkait dengan pelaksanaan JKN ini. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber: media massa online, media massa cetak, hingga informasi yang didapat dari pelaksana pelayanan di RS. Dari hasil pengamatan tersebut, diketahui bahwa memang masih banyak sekali masalah dalam pelaksanaan JKN, khususnya di rumah sakit. Berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian. Berikut uraiannya.
Sosialisasi oleh BPJS masih sangat kurang
Meskipun BPJS sudah berupaya untuk melakukan sosialisasi melalui iklan di TV atau media cetak dan berbagai bentuk penyebaran informasi lainnya, namun informasi ini rupanya tidak mampu menjangkau masyarakat di berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari sepinya pendaftaran peserta BPJS mandiri di beberapa tempat (misalnya terjadi di Yogyakarta, Tebingtinggi, Nunukan, Samarinda). Bahkan ada isu bahwa pendaftaran sebagai peserta BPJS harus menggunakan e-KTP dan kartu keluarga yang menyebabkan banyak warga Papua dan Papua Barat tidak bisa mendaftar.Kurangnya sosialisasi menyebabkan informasi yang beredar mengenai prosedur pendaftaran dan pemanfaatan BPJS Kesehatan simpang siur dan membingungkan (terjadi di Sulawesi, Medan, Padang (Sibusuk dan Sijunjung). Akibatnya tidak jarang staf RS yang menerima komplain atau kemarahan pasien, dituduh mempersulit, bahkan dituding mencari keuntungan. Tidak sedikit juga masyarakat yang mendatangi RS bukan untuk berobat melainkan untuk menanyakan mengenai BPJS, sebagaimana terjadi di RSUD Embun Fatimah Batam.
Sistem BPJS yang belum siap
Beberapa RS melaporkan adanya kejadian sistem down akibat banyaknya pasien yang melakukan pendaftaran pelayanan di RS, sehingga menambah panjang antrian. Kejadian ini antara lain terjadi di RSUP M.Djamil Padang.Ketidaksiapan sistem ini juga terjadi pada proses pengintegrasian peserta Jamkesda ke BPJS. Ini menimbulkan keraguan pada masyarakat dan kekhawatiran ditolak oleh RS, seperti terjadi di Provinsi Riau dan Riau Kepulauan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak pemerintah daerah yang kemudian masih menjalankan Jamkesda, seperti yang dilakukan oleh Pemkab Berau, Batanghari dan Pemprov Jambi.Yang sangat mengkhawatirkan adalah apabila sistem BPJS tidak mampu mendukung layanan RS dalam melakukan life saving. Suatu RS melaporkan kejadian SEP (surat keabsahan peserta) mengalami trouble menyebabkan golden periode pasien (misalnya pada kasus stroke) lewat dan pasien berpotensi tidak bisa diselamatkan.
Disisi lain, pelayanan RS buka selama 1×24 jam, dan 7hari seminggu. Seharusnya layanan BPJS juga mengikuti jam kerja ini agar tidak menimbulkan masalah komunikasi dengan pasien/masyarakat. Namun kenyataannya tidak demikian.
Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Penunjang
Banyak pelayanan penunjang yang harus diberikan untuk penyakit tertentu, misalnya untuk diagnosisi hepatitis harus didukung oleh pemeriksaan anti HBc, anti HaV. Padahal belum tentu semua RS memiliki fasilitas pemeriksaan ini, atau bahkan reagennya (biasanya terjadi pada RS yang belum BLUD, sehingga pembelian bahan habis pakai masih mengikuti sistem perencanaan yang rigid). Disisi lain, kasus stroke cukup dengan Siriraj score dan pemeriksaan klinis tanpa perlu didukung oleh hasil pemeriksaan CT scan. Ini membingungkan bagi petugas di RS dan berpotensi menimbulkan error pada diagnosa.Untuk pelayanan darah, PMI yang merupakan mitra RS dalam menyediakan produk darah mengalami kebingungan harus mengklaim ke RS atau BPJS.
Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Obat berdasarkan Formularium Nasional
Obat-obatan yang dulunya masuk dalam DPHO kini tidak ada di Fornas sehingga pasien harus membeli sendiri. Ini terutama dikeluhkan oleh mantan peserta ASKES. Dengan kondisi ini, petugas RS berpotensi menerima banyak komplain dari pasien dan harus meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan Fornas, yang seharusnya hal ini dilakukan oleh petugas BPJS.Ada beberapa jenis obat yang tidak ada generiknya, misalnya insulin dan methamphyron. Ini membingungkan petugas dan meningkatkan keluhan masyarakat. Bagi peserta Askes, mereka harus mengeluarkan dana tambahan untuk membeli insulin, yang tadinya masuk dalam daftar obat-obatan yang ditanggung PT. Askes. Juga belum ada solusi bagi pasien-pasien yang mengalami alergi terhadap obat-obatan dalam Fornas tanpa membebani keuangan pasien karena harus menebus sendiri obat pengganti.Banyak obat-obatan yang hanya boleh tersedia di RS Kelas A, misalnya untuk penyakit Parkinson. Untuk kasus ini, bisa saja ada terapi kombinasi menggunakan stalevo misalnya, namun obat ini digolongkan dalam obat-obatan untuk epilepsi. Jika apotek atau IFRS tidak teliti, tidak akan mengetahui bahwa obat ini tersedia dalam Fornas. Disamping itu, ada banyak RS di daerah yang mengalami keterbatasan pasokan obat, misalnya RSUD Prof. Yohannes Kupang dan RSUD Tarakan, Kalimantan Utara.
Layanan Rujukan
Banyak pasien yang tidak bersedia mengunjungi PPK I sebelum ke PPK II. Seharusnya petugas BPJS yang menjelaskan hal ini ke pasien, namun kenyataan di lapangan petugas RS menghabiskan cukup banyak waktu untuk menjelaskan hal ini kepada pasien.Ada faskes primer yang bertetangga dengan faskes tersier (seperti beberapa puskesmas dan klinik yang bertetangga dengan RSCM). Ini menimbulkan kesan pelayanan rujukan jadi lebih birokratis karena pasien dari faskes primer tetap harus ke PPK II yang lokasiny alebih jauh. Namun perlu upaya yang cukup besar untuk membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai sistem rujukan, dan ini seharusnya menjadi tugas BPJS, bukan beban RS.Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadi sia-sia karena RS terpaksa menolak pasien.
Pelayanan rujukan juga menjadi sesuatu yang rumit di daerah seperti Papua. Banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak tersedia di BPJS.
Tidak jarang juga penolakan oleh RS dilakukan karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu pelayanan RS jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat dirujuk ke RS lain yang setingkat. Namun ada banyak RS yang menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan BPJS, misalnya di Bogor, Sulawesi Selatan, Makassar, Sulawesi Utara, dan Banjarmasin.
Infrastruktur Layanan
Masalah yang terkait dengan infrastruktur antara lain masih banyak terjadi kekurangan tenaga (dokter, bidan, perawat) diberbagai RS, tidak saja di luar Jawa melainkan juga di Jawa. Ini dilaporkan terjadi di Serang, Tangerang dan Tangerang Selatan. Ada banyak juga RS Kelas B yang belum memenuhi standar jumlah ketenagaan, khususnya untuk dokter dan dokter spesialis. Ini contohnya terjadi di Maluku. Pendaftaran dokter CPNS di DKI Jakarta tanpa tes dikabarkan sepi peminat, sehingga upaya memenuhi kebutuhan tenaga medis di provinsi ini belum mendatangkan hasil.
Tarif INA-CBGs
Banyak kejanggalan dalam tarif INA-CBGs. Sebagai contoh, tarif pelayanan untuk sirkumsisi (sunat) jauh lebih tinggi daripada tarif untuk partus melalui SC. Padahal jelas tingkat kompleksitas SC jauh lebih tinggi dan harus dilakukan oleh dokter spesialis, sedangkan sirkumsisi dapat dilakukan oleh dokter umum yang baru lulus sekalipun. Tarif untuk menangani infark myocard (serangkan jantung) juga lebih rendah dari tarif sirkumsisi, padahal serangan jantung membutuhkan tim medis dan perawat dengan keterampilan khusus dan peralatan yang juga khusus. Masih banyak kejanggalan yang terdapat pada besaran tarif dalam daftar tarif INA-CBGs tersebut, jika diltelusuri satu per satu.Selain terkait dengan perbandingan besaran tarif, kejanggalan lain juga terdapat pada jenis layanan. Setidaknya ada sembilan puluh jenis pelayanan di RS Jiwa Kelas A yang tidak ada dalam daftar tarif tersebut yang telah teridentifikasi. Ini ditemukan di RSJ Ghrasia Yogyakarta. Selain itu, juga tidak ada tarif untuk pelayanan ICU dan IGD.Hal yang juga dianggap merugikan rumah sakit maupun masyarakat adalah perbedaan besaran tarif antar-regional tidak signifikan. Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi tenaga medis untuk mengisi kekosongan di luar Jawa, sehingga upaya untuk memeratakan distribusi tenaga kesehatan belum efektif.
Masalah apa yang terjadi di RS anda terkait dengan implementasi JKN ini? (pea)
Berdasarkan pengamatan PKMK, selain banyaknya masalah, implementasi JKN membawa banyak hal positif bagi masyarakat.
Banyak masyarakat yang akhirnya memiliki akses lebih luas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini seperti dilaporkan terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Padangpanjang, Pekanbaru (khususnya pada tenaga kerja bukan penerima upah), Tanjungpinang, Jawa Barat, dimana kantor pendaftaran BPJS diserbu masyarakat. Namun sayangnya, animo yang tinggi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang menjalani pengobatan, bukan pada masyarakat yang masih sehat. Kantor Jasa Raharja Lampung bekerjasama dengan BPJS untuk pelayanan pasien kecelakaan. Di Jakarta, BPJS membuka layanan pendaftaran bergerak (dengan mobil). Di Banten ada 500-600 pemohon setiap harinya.
Banyak daerah mendukung pelaksanaan JKN ini dengan menyiapkan dana pendamping. Ini seperti dilaporkan di Sumatera Barat yang menyiapkan dana sebesar Rp 300M/tahun (APBN) dan Rp 77M (APBD) khususnya untuk PBI. Pemko Solok menyiapkan Rp 5,4M untuk meng-cover 39ribu lebih jiwa. Pemko Batam membiayai lebih dari 181 ribu warganya dan menganggarkan Rp 20M untuk JKN. Dukungan jiga diberikan oleh berbagai pemerintah daerah lainnya, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi SelatanPemko Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Maluku, Ternate, dan NTB.
Pemerintah daerah mulai ikut membenahi sistem pelayanan kesehatan, terutama meningkatkan kapasitas RS. Ini antara lain terjadi di Provinsi Riau. RSUD Achmad Arifin telah menyiapkan pelayanan kelas II berkapasitas 400 TT untuk ini. RSUD Dok II Jayapura menyiapkan SDM, memperkuat sistem informasi, meningkatkan ketersediaa obat dan peralatan kesehatan. RSUD Sumba mendapat tambahan tenaga dokter dan perawat untuk melayani pasien BPJS.
Pemda dan DPRD ramai-ramai mendorong berjalannya sistem rujukan dengan menghimbau masyarakat untuk menggunakan faskes primer. Dilain sisi, banyak puskesmas yang kemudian juga dibenahi pelayanan dan infrastrukturnya.
Pelaksanaan JKN diberitakan menguntungkan RS dari segi pembiayaan (Kalimantan Selatan) dan dokter mengalami peningkatan insentif (Sulawesi Tenggara).
Manfaat apa yang RS dan tenaga kesehatan anda rasakan dari pelaksanaan JKN ini? (pea)
PEKANBARU: Dinas Kesehatan (Diskes) provinsi Riau akan membentuk tim audit medis yang tugasnya melakukan penilaian dan pengawasan terhadap tenaga-tenaga medis yang bertugas di rumah sakit daerah seluruh kabupaten/kota di Riau.
Pembentukan tim audit medis ini berguna agar masyarakat memperoleh jaminan dalam mendapatkan pelayanan medis di rumah sakit umum daerah. Misalnya jika ada kasus dokter kosong saat ada pasien datang ke RSUD, maka akan dilakukan penyelidikan apa alasan dari dokter tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Zainal Arifin dalam keterangannya Kamis (16/1) di Pekanbaru mengatakan bahwa tidak ada istilah dokter libur, apalagi dokter yang bertugas di bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD). Setiap saat harus ada dokter yang siaga di sana.
Hal ini diungkapkannya karena sering kali terjadi pasien dari rumah sakit kabupaten/kota harus dirujuk ke RSUD Arifin Achmad dengan alasan dokter tidak berada di tempat. “Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi karena dokter tidak boleh meliburkan diri,” jelasnya.
Dikatakannya pada tahun ini Dinas Kesehatan akan membuka 24 jam sebanyak 210 puskesmas di Riau dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. Saat ini baru 70 puskesmas yang buka 24 jam. “Kita akan melakukan bertahap sehingga nantinya sebanyak 210 puskesmas akan buka 24 jam,” ungkapnya.
Untuk mengoperasikan puskesmas buka 24 jam itu, Diskes Riau telah mengajukan anggaran sebesar Rp27 miliar, namun baru disetujui sepertiganya. Sisanya nanti akan diajukan pada APBD Perubahan. Karena itu program ini akan dilakukan secara bertahap.
Puskesmas yang akan buka 24 jam tersebut akan dilengkapi berbagai kebutuhannya, seperti tenaga medis, peralatan medis serta dokter yang on call. “Sehingga nantinya puskesmas-puskesmas itu selalu siap sedia melayani pasien kapan saja,” tambahnya.(rgi/ad)
BENGKULU, BE – Walikota H Helmi Hasan SE resmi melantik Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bengkulu, dr Lista Cerlyviera MM, sekitar pukul 17.00 WIB, kemarin.
BATU – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kota Batu, memastikan masyarakat yang menjadi anggota BPJS akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan. BPJS dan pihak rumah sakit dianggap sudah menjalin kerjasama dalam memberikan yang terbaik bagi warga.