Kickoff Workshop
Sustainable Hospital Delivery Managing System for TB and MDR/TB Care – Phase 2
Meningkatkan Mutu dan Efisiensi Pelayanan Klinis di Rumah Sakit
12 September 2014
Reportase
Pertemuan ini dibuka oleh Prof. Dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Kerjasama FK UGM) dan menyampaikan tujuan yang merupakan kelanjutan dari kegiatan fase 1, yaitu untuk mengembangkan sebuah model inovatif penatalaksanaan kasus TB/MDR-TB di rumah sakit yang bermutu secara klinis dan efisien. Dr. Amelia Vanda Siagian mewakili Kasubdit TB (baru dilantik: dr. Kristina Bidaningrum, yang sebelumnya dari Kasubdit Kusta) berharap model ini apalagi menyangkut TB-MDR bisa diimplementasikan untuk semua RS. Tidak hanya DOS namun juga yang terkait kontrak dengan BPJS untuk layanan TB. Dr. Vanda menyampaikan terima kasih pada PKMK FK UGM yang telah menjembatani proses pembuatan model ini.
Ada pedoman pelayanan TB di RS tapi namun Permenkesnya masih dalam proses penandatanganan. Dalam akreditasi nasional terdapat standar TB HIV dan TB pelayanan ibu dan anak. Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain:
- kerjasama antara dr Sp dan dr SpA sulit terjadi, selain karena leadership di RS
- setiap minggu jumlah RS bertambah 10-20 buah, karena ijin operasional RS ada di daerah. Dari yang baru teregestrasi di Kemenkes, hanya 5% yang “sangat” memenuhi syarat. Misalnya masalah limbah RS, sehingga satu-satunya jalan adalah akreditasi. Meskipun sistem akreditasi masih banyak kekurangan, namun adanya pengawasan dari asosiasi RS
JKN mendorong RS untuk memenuhi standar, banyak RS yang belum menetapkan kelas. Ijin operasional hanya berlaku satu tahun namun kenyataannya ijin ini bisa terus diperpanjang sampai dengan lima tahun. Kini dengan JKN, RS dipaksa untuk menetapkan kelas, memenuhi standar dan terakreditasi. Sistem rujukan berjenjang dulu tidak terstruktur kini sudah lebih baik. Clinical pathway juga harus dibuat. Jadi JKN sedikit banyak mendorong RS menjadi lebih baik dan memenuhi standar.
Saat ini Kementerian Kesehatan sedang membuat standar pelayanan paru di fasilitas kesehatan primer, sekunder dan tersier. Akan muncul 10 penyakit terbanyak, berisiko tinggi apa saja, dan biayanya berapa. Dari sini kemudian muncul SPO. Permenkes 349/2010 tentang PNPK dan SPO: tata laksana tuberculosis sudah ada. Para pemerhati dipersilakan untuk me-review apakah sudah sesuai dengan PNPK-nya. Kemenkes juga menyoroti masalah kualitas lulusan dari 74 FK di seluruh Indonesia, karena seringkali dokter umum tidak mengetahui masalah penyakit sederhana yang seharusnya menjadi domain mereka. Pengadaan obat di RS seharusnya melalui direktur, tidak langsung ke Tim DOTS, agar pengelolaan obat di RS berada pada satu pintu.
Dalam kesempatan ini, BPJS Kesehatan memaparkan bahwa jumlah peserta sampai dengan Juni 2014 adalah 124.553.000 orang, melebihi target yang ditetapkan semula. Jumlah fasilitas yang sudah bergabung lebih dari 1.500 buah. Trend sampai Juni 2014 menunjukkan bahwa angka penggunaan fasilitas kesehatan primer maupun rujukan meningkat. Rata-rata waktu tunggu untuk klaim biaya kesehatan adalah tiga hari. Biaya rata-rata untuk kasus TB rawat jalan hampir Rp 200.000, untuk rawat inap sekitar Rp 5,6 juta. Biaya pelayanan TB tahun 2014 diperkirakan mencapai Rp 450-500M, atau kira-kira Rp3.400,- sampai dengan Rp3.800,- per peserta BPJS. Ini tidak termasuk biaya pada faskes primer.
BPJS Kesehatan merekomendasikan agar pendekatan Public Private Partnership (PPP) tetap dipertahankan. Swasta dan Pemda didorong agar lebih meningkatkan perannya. Jika pelayanan TB dan MDR sudah membebani pembiayaan kesehatan, maka tariff INA-CBGs perlu ditinjau ulang.
Ketua Tim HDMS II PKMK FK UGM, dr. Ari Probandari berharap bukan hanya pada TB tapi model inovasi ini nantinya bisa diterapkan juga untuk penyakit-penyakit kronis lainnya. Banyak studi menyimpulkan bahwa ada problem mutu klinis pelayanan TB. HDMS Fase 1 yang dilakukan pada tahun 2013 lalu merupakan fase diagnostik, untuk menilai kembali apa yang sebenarnya menjadi masalah di lapangan terkait dengan mutu klinis dan biaya. Hasilnya, kepatuhan terhadap standar, mutu pelayanan dari perspektif pasien, sikap dan pengetahuan provider, mengukur biaya adalah masalah yang ada di RS. Pengalaman yang dapat diambil dari fase 1 tersebut adalah masih ada masalah kepatuhan terhadap ISTC, patient centered care belum diterapkan, pengetahuan provider tentang ISCT perlu diterapkan, sistem akuntansi belum bisa dipakai untuk menghitung cost of care.
Kerangka kerja penelitian fase 2 ini menggunakan model of improvement yang dikembangkan oleh IHI tahun 2013. PKMK FK UGM menyampaikan terima kasih pada direksi RSUP Dr. Sardjito, Direksi RS Bethesda dan direksi RS Islam Jakarta yang telah memberi kesempatan untuk dilaksanakannya penelitian ini.
Salah satu yang menarik bagi peserta workshop ini adalah kerangka kerja yang digunakan dalam penelitian. Melihat siklusnya yang berulang, muncul pertanyaan berapa lama penelitian ini akan dilakukan, berapa rupiah efisiensi akan terjadi, output klinisnya apa dan seberapa rutin evaluasi akan dilakukan.
Dengan kerangka yang dikembangkan oleh IHI, evaluasi PDSA dilakukan berulang sedikitnya per 6 bulan mengulang setiap intervensi yang telah dijalankan. Tujuannya:
- model yang bisa membuat layanan TB lebih efisien di RS
- pelayanan TB yang lebih bermutu
Namun saat ini, belum bisa menjawab apakah sudah efisien atau belum karena belum ada clinical pathway-nya. Jika CP sudah ada maka bisa dibandingkan dengan INA-CBGs apakah lebih efisien atau tidak.
Prastowo dari RSI Cempaka Putih mengangkat isu pada fase 1, dimana dari 15 standar ada 11 diantaranya belum mencapai 50% di RSI. Untuk itu, disarankan bahwa karena RS sedang mempersiapkan akreditasi versi 2012, ada masukan untuk tim RS yang berkaitan antara program ini dengan akreditasi, agar tidak ada opini bahwa ini menambah pekerjaan atau merupakan hal yang berbeda dengan akreditasi.
Peserta lain dari RS Bethesda menanggapi bahwa Audit TB yang dilakukan selalu didokumentasikan dengan lengkap sehingga dapat digunakan untuk akreditasi. Pada dasarnya akreditasi adalah mencatat yang dikerjakan dan mengerjakan yang dicatat. Sehingga kegiatan penelitian ini bisa sejalan dengan kegiatan persiapan akreditasi. Manajemen RS Bethesda sangat mendukung dan berharap bisa memanfaatkan prosesnya untuk meningkatkan pelayanan di RS.
Pertanyaan yang ditujukan kepada Ibu Cut dari Kementerian Kesehatan:
Era JKN ini memang menjadi moment untuk membenahi sistem rujukan yang saat ini masih kurang sempurna. RS rujukan tersier ternyata tidak bisa menampung rujukan dari RS sekunder, sehingga kasus dengan severity tinggi terpaksa ditangani di RS rujukan sekunder. Bagaimana upaya untuk membuat agar sistem rujukan ini berjalan dengan baik, misalnya apakah ada insentif atau disinsentif bagi RS yang menangani/tidak menangani kasus rujukan sesuai dengan levelnya. Terkait pemeriksaan gen-expert: RSI termasuk yang melakukan hal ini. Apakah pemeriksaan ini hanya untuk di RS Tersier? Saran: bisa dilakukan dimana saja, karena ini hanya screening terhadap MDR. Kemudian, hal yang pterenting jika terdeteksi MDR dan harus dirujuk, bisa terlaksana.
Ibu Tjut menanggapi bahwa untuk sistem rujukan memang sedang ditata. Ada regionalisasi sistem rujukan. Ke depannya, dengan perubahan UU 32/2009 tentang kewenangan pusat dan daerah, ada 9 RS nasional setara RSCM, per regional. Saat ini sedang didata dan dikaji kekuatan dan kelemahannya. Selain RS nasional, juga akan ditunjuk 155 RS rujukan regional. Saat ini sudah ada 19 Pergub yang menunjuk RS regional di wilayahnya. Diharapkan tiap provinsi menunjuk 5 RS Regional yang memudahkan akses fasilitas, staffing, peralatan, akreditasi dan sebagainya yang akan menjadi RS terakreditasi kelas B. Jika per provinsi ada 5 RS regional, maka akan ada 155 RS Rujukan regional. Ironisnya, DKI belum menunjuk RS regional, sehingga sistem rujukan di DKI belum tertata.
Organisasi profesi harus menentukan level severity, sedangkan Kemenkes hanya memberikan koridor. Jika fokus ada di rujukan regional, bisa saja semua RS sekunder memiliki ruang isolasi. Kemudian, harus disepakati oleh instansi terkait dijenjang mana.
Terkait dengan gen expert: apakah semua diperiksa atau yang mana saja? Jika sudah suspect MDR, artinya yang bersangkutan sudah berpotensi menularkan kemana-mana. Organisasi profesi yang seharusnya menetapkan standar apakah pengadaan alat untuk mendeteksi ini di RS primer atau tersier, untuk mencegah adanya penularan baru. Standar ini harusnya dibuat oleh profesi.
Dr. Vonny, RSUP Dr. Sardjito berharap ada keseragaman outcome. Disini belum muncul adanya cost of care, jadi jika ada audit of care dan sistem informasi bisa mencakup semua yang akan dilakukan dalam penelitian. Untuk evaluasi termasuk budaya dan sistem akuntansi: model perbaikan sama untuk semua RS yang sudah diteliti. Jika RS yang sudah terakreditasi maka standar-standar mengikuti ketentuan yang ada.
Untuk CP yang harus ada di RS (5): apakah ada variasi antar dokter sehingga perlu ada CP-nya? Jadi ini akan tergantung pada kondisi di masing-masing RS.
Kaitannya dengan evaluasi KPI: masing-masing KSM harus mempunyai KPI yang bisa diukur dan dirupiahkan, sehingga bisa diukur volume dan kualitas pelayanan yang diberikan. Ini akan bisa membantu RS dari sisi efisiensi dan mutu. Dari rencana beberapa kali pertemuan, ada hasilnya, bisa dilihat efektivitas dan efisiensinya dari intensitas pertemuan yang akan dilakukan. Ada kasus yang hanya melihat pada INA CBGs-nya, tidak melihat pada kasus TB-nya. RSUP Dr. Sardjito juga akan memperbaiki sistem dengan beberapa variabel. Dalam BPJS, RS seringkali harus mencarikan sumber daya pemeriksaan virologi untuk ibu hamil karena belum tertanggung dalam BPJS.
Dr. Maduseno dari RSUP Dr. Sardjito menyoroti masalah pembiayaan yang akan menjadi lebih besar jika tidak dikontrol dengan ketat. Seharusnya dirujuk tidak dirujuk, atau sebaliknya. RS PPK 3 tidak merujuk balik. RSUP Dr. Sardjito sudah mengusulkan ke Kementerian agar badan mutu di setiap provinsi ikut memantau. CP akan sangat berbeda jika ada komplikasi: TB-HIV, TB-ginjal, dan seterusnya. Jadi harus bisa benar-benar mem-breakdown apa yang ada di RS.
Untuk baseline data, penelitian ini akan mengunakan retrospektif. Di Provinsi DKI, PKMK sedang memfasilitasi pengembangan sistem rujukan, termasuk rujukan regional, rujukan spesifik penyakit (5 penyakit tidak termasuk TB), dan di NTT rujukan KIA. Usulan ke Kemenkes ada manual rujukan terkait TB.
Tanggapan dari BPJS, jika ada yang membenani RS, maka pasti akan berdampak ke BPJS dan Kementerian Keuangan. Hal tersebut akan didiskusikan, namun saat ini concern pemerintah lebih pada kemampuan pembiayaan. Harapan ke depan ada kebijakan baru. Peserta mengajukan usulan untuk BPJS dimana TB masuk dalam MDGs, sehingga seharusnya ada intervensi khusus, misalnya ada bantuan iuran khusus akan lebih baik. (pea)