Seminar Hygiene di Rumah Sakit
Reporter: Widarti, SIP
Seminar Hygiene di RS, merupakan kerja sama antara MMR UGM dan GIZ Jerman, PKMK FK UGM ikut mendukung terselenggaranya acara melalui streaming. Seminar ini merupakan hari kedua pertemuan para alumni yang sempat menimba ilmu ke Jerman dalam rentang waktu 2007-2014. Hari sebelumnya, yaitu Kamis (26/6/2014) telah dilakukan pertemuan khusus untuk alumni dan visit RS Sardjito untuk melihat praktek hospital hygiene di Indonesia dan Jerman, ungkap Putu Eka Andayani, MPH, Ketua penyelenggara acara. Seminar resmi dibuka oleh Wadek I FK UGM, yaitu Prof. Adi Utarini yang menyampaikan harapannya, agar para peserta dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari acara ini. Prof. Adi juga memaparkan, tahun 2009 FK UGM sempat bekerjasama dengan Giz dalam pelatihan manajemen RS di NTB dan diikuti proyek peningkatan kualitas. Program pelatihan tersebut berjalan selama tiga tahun.
Prof. Herkutanto, S.P f, SH, LLM (Komite Keselamatan Pasien Nasional) menyampaikan Kondisi Patient Safety di Indonesia. Negara Indonesia merupakan kepulauan yang memiliki populasi tinggi, daerah yang tersebar dan perbedaan budaya. Hal ini diikuti dengan kurangnya kesadaran masyarakat atas keselamatan pasien dan terbatasnya infrastruktur kesehatan. Di bidang keselamatan pasien, regulasi nasional Indonesia belum sempurna, seharusnya peraturan ini melibatkan banyak sektor dan terintegrasi.
Strategi untuk keselamatan pasien nasional diantaranya ada tiga level, makro, meso dan mikro. Makro melibatkan negara untuk menerbitkan regulasi yang mendukung, meso merangkul institusi (RS) untuk melakukan capacity building, sementara mikro (nakes) dilakukan dengan langkah capacity building untuk professional. Selain itu, hal yang belum dimiliki Indonesia ialah kurikulum dan integrasi di strategi nasional untuk keselamatan pasien.
Prof. dr. Dr. med. Axel Krammer, President of the German Association for Hospital Hygiene menyampaikan pengalaman Jerman dalam control infeksi ini. Infeksi bakteri mengancam dunia dan Jerman khususnya. Kemudian, Prof. Krammer menampilkan video menarik tentang kontrol infeksi di RS Negara Jerman. Pertama, penggunaan disinfektan untuk tangan (nakes), caranya dengan membersihkan seluruh permukaan dan telapak tangan sebelum dan sesudah kegiatan. Langkah ini dilakukan sebelum dan setelah memeriksa pasien, saat akan melakukan aktiivitas antiseptik, saat akan memasuki area resiko tinggi dan setelah terkontaminasi zat atau dari ruangan tertentu.
Bakteri yang sering ‘berkeliaran’ di udara ialah MRSA/MRSE, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Enterobacter, dan Enterococcus. Sumber infeksi ialah pasien, sumber transmisi yaitu staf RS. Namun, tangan ialah yang paling berperan dalam penyebaran bakteri pathogen ini. Sebelum operasi, tangan dokter harus dicuci dengan air, sabun dan sikat. Lalu nakes yang terlibat berganti baju khusus operasi agar bakteri pathogen tidak berpindah dari ruang lain ke ruang operasi. Baju operasi antara lain, kemeja, celana panjang, penutup kepala, masker wajah, mantel sepatu. Penggunaan disinfektan untuk operasi ialah di seluruh area tangan hingga lengan, lalu gunakan disinfektan di seluruh telapak tangan. Lalu area operasi dari tubuh pasien ditutupi obat merah. Dokter menggunakan jas operasi dan sarung tangan.
Peraturan untuk melindungi pasien dari bakteri saat operasi ialah, pertama, selalu menutup pintu operasi. Kedua, membatasi jumlah staf yang bekerja di ruang operasi. Ketiga, hindari aktivitas tidak steril yang dilakukan nakes. Keempat, produk medis yang dibutuhkan sudah disiapkan. Kelima, jaga jarak aman antara ruang operasi dan ruangan lain. Multibarrier concept tepat untuk mengurangi penyebaran bakteria/infeksi ini. Ceklist pencegahan penyebaran bakteria. Staf Kontrol Infeksi, 1:400 pasien untuk dokter dan 1:150 pasien untuk nakes lainnya. Ada pula teknisi untuk melakukan pengolahan limbah air, alat kesehatan dan lainnya.
Persyaratan training tenaga control infeksi di Jerman. Special of hygiene and environmental medicine: pengalaman 5 tahun di spesialisasi dan subspesilaisasi control infeksi. Dokter control infeksi: dokter spesialisasi tertentu dan pengalaman 2 tahun dengan subspesialisasi melalui kursus 5 minggu. Lalu diikuti beberapa tingkatan lainnya, antara lain: IC link physician, IC nurse, IC link nurse, bachelor/master of hospital hygiene. Strategi kontrol infeksi, proaktif: langkah preventif dan reaktif: analisis proses epidemologi dengan surveillance dan outbreak management. Higienitas (kebersihan) bukan apa-apa, namun tanpa higienitas semuanya bukan apa-apa.
Diskusi
Fachriyah menanyakan dua hal, pertama, UU tahun 2002 tentang resistensi antibiotik belum direvisi, bagaimana sebaiknya?. Kedua, untuk Prof. Krammer: apakah ada residual dan microbial materi dari RS, apakah di Jerman ada regulasi yang mengatur hal ini?
Nurul, manajemen RS UGM: Dokter di Indonesia menggunakan jasnya kemanapun mereka pergi, bagaimana dengan ini? Yusi, RSUD Purbalingga, bagaimana praktisi mengubah perilaku pasien di Jerman untuk peduli terhadap control infeksi ini?
Prof. Herkutanto memaparkan, sedang disusun UU yang mengatur resistensi antibiotik. Prof. Krammer menerangkan seputar strategi antibiotik, di tiap RS, ada panduan anitbiotik guideline, mikrobiologi, terhadap tim control infeksi namun hal ini dilakukan dengan melihat kondisi RS itu senidiri. Jas dokter juga menjadi masalah di Jerman, mereka memakai jas dokter kemanapun pergi (keluar masuk RS) sehingga guidance-nya tidak diikuti. Jika jas digunakan untuk status social, lupakan saja, mari kita mulai memikirkan tentang kesehatan dan keselamatan pasien. “Lalu, saya ingin menanyakan pada Prof. Herkutanto, spesialis control infeksi dilatih berapa lama di Indonesia?”, ungkap Prof. Krammer. Kemudian, Prof. Herkutanto meminta pendapat pada para peserta karena kurang mengetahui persis proses pelatihannya.
Kemudian, dr. Andaru dari Komite Kontrol Infeksi RS Sardjito memaparkan jika ada sekitar 4 minggu untuk melatih tenaga control infeksi dengan materi khusus. Serta Kemkes menyediakan pelatihan dua minggu untuk tim regular yang bertugas di RS. Prof. Herkutanto menegaskan bahwa sampai sekarang belum ada program khusus, ke depan akan kami susun untuk tema ini karena penting.
Digta Ginting (RS Wahidin S, Makassar) menanyakan kebijakan untuk penggunaan alat medis yang single use dan reuse alat medis di RS. Lalu menurut Komite Nasional untuk Keselamatan Pasien, mana yang higienitasnya paling baik? RS pemerintah, swasta atau yang lainnya?
Raka Semaya (Pelayanan Kesehatan Dinkes Bali) menanyakan menurut paparan Prof. Herkutanto, patient safety dilakukan dari atas-bawah jika tanpa koneksi, itu impossible. Strategi partner yang dipilih: makro, mikro, meso, untuk tiap strategi, mengapa tidak ada training resmi dari Kemkes/training per provinsi? Sehingga kita mampu lebih baik menjaga patient safety.
Prof. Herkutanto menjawab beberapa, yaitu kebijakan single use dan reuse alat medis, perlu dikaji ulang untuk menetapkan standar jika multi use bisa digunakan secara aman. Namun, ini kebijakan yang sulit, di sistem kita alat medis dikenakna pajak tinggi dari Kemenkeu. Kemudian, untuk RS vertical, karena dibiayai Kemenkes, maka Kemenkes berkomitmen untuk memberikan mutu dan standar tinggi. Lalu untuk RS swasta ada mekanisme control tertentu untuk standarisasi. Hal ini tidak mudah untuk mengubah budaya RS, 220 budaya yang berbeda, jadi masih dicari yang tepat. Jawaban kuncinya ialah kepemimpinan yang kuat untuk menjaga kualitas patient safety. Kemudian untuk network strategi makro-mikro-meso tadi, Komite Keselamatan Pasien akan mengusulkan patient safety masuk dalam kurikulum pendidikan dokter. Prof. Krammer menimpali, untuk training control infeksi tidak cukup jika hanya 1 minggu mati.
Heri (RS Doris Silvanus, Palangkaraya), menyampaikan pendapatnya yaitu quality health service kita mahal, kita mempunyai skema JKN, namun biayanya tidak ada untuk hospital hygiene. Jadi, seharusnya biaya untuk quality ini masuk. Arif Rahmat (RS Kariadi. Semarang), menanyakan ada beberapa komponen patient safety berapa banyak parameter untuk patient identification? Kemudian, untuk Prof. Herkutanto, hal yang harus kita harus menegaskankomunikasi efektif di RS. JKN kita ada limit budget, di sisi lain ada quality services dalam standar kita, apa saran terbaik untuk masalah ini?
Arashinta Putri Hapsari (Unair, Surabaya), untuk anti micro biomedical test: untuk tesnya hanya satu hari, namun butuh 3-7 untuk melihat hasil tesnya. Bagaimana cara mempercepat ini? Namun, test ini mahal untuk pasien, mana antibiotic yang bisa kita gunakan?
Prof. Herkutanto menjawab, jika harus memilih, akses untuk layanan atau kualitasnya? Jawabannya, seharusnya kualitas layanan diutamakan juga. Prof. Krammer:ini untuk hasil tes , perlu diketahui normal kondisi di RS, ada kekhawatiran terlambat untuk daignosisnya. Usahakan dalam 1 hari diagnosis bisa terbaca, untuk keselamatan pasien. Selain itu, harus ada kalkulasi budget untuk quality health service ini.