JAKARTA
Archive for January, 2014
RSUD ‘Overload’, Sleman Siapkan RS Rujukan Ibu Melahirkan
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman mengaku telah membuat manual rujukan rumah sakit bagi ibu melahirkan dan bayi baru lahir di wilayah setempat.
Langkah itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya ibu melahirkan yang tidak dapat dilayani karena terbatasnya fasilitas di RSUD Sleman.
“Kami bersama pemerintah tingkat provinsi telah membuat manual rujukan mengenai rumah sakit mana saja ibu melahirkan dapat dirujuk,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Mafilindati Nuraini, Rabu (8/1).
Lantaran fasilitas terbatas, RSUD Sleman tidak dapat melayani 25 persen pasien persalinan per hari. RSUD Sleman hanya memiliki 12 tempat tidur untuk ibu melahirkan.
Padahal, pasien persalinan rata-rata mencapai 5-10 orang per hari. Linda, sapaan akrab Kepala Dinkes,
membantah RSUD menolak ibu melahirkan. “Mereka tidak tertampung, kami bukan menolak,” ujarnya.
Manual rujukan telah memetakan rumah sakit rujukan bagi ibu melahirkan di seluruh wilayah Sleman. Linda mengatakan ada dua RSUD dan 26 rumah sakit di Sleman yang bisa menjadi rujukan.
“Saat ini sudah ada rujukan berjenjang dan pengaturan regional. Kalau rumah sakit pemerintah tak bisa menampung, masih ada RS swasta,” ungkapnya.
Untuk persalinan yang tidak membutuhkan rujukan, ibu melahirkan dapat menggunakan fasilitas kesehatan selain RSUD. Sleman telah memiliki 25 puskesmas yang lima di antaranya bisa melayani rawat inap.
Masing-masing puskesmas tersebut sudah dilengkapi 10 unit tempat tidur untuk ibu bersalin. “Untuk kelahiran normal tanpa perlu rujukan bisa ke puskesmas,” ujar Linda.
Selain puskesmas, Sleman mengklaim memiliki lebih dari 200 bidan yang melayani pasien persalinan. Bidan desa dan klinik bersalin dinilai ada banyak di Sleman. “Untuk fasilitas kesehatan yang menyediakan pelayanan dasar bisa menangani kasus persalinan normal,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur RSUD Sleman, Joko Hastaryo mengakui ada pasien ibu melahirkan yang ditolak lantaran tempat tidur persalinan penuh. Antrean tempat tidur terjadi lantaran tidak semua ibu bersalin hanya dirawat satu hari.
“Kalau ada gangguan, pasien melahirkan bisa dirawat hingga tiga hari. Jika sudah penuh, terpaksa pasien yang mau masuk ditolak,” ungkap Joko.
RSUD Sleman sebenarnya memiliki 221 tempat tidur. Sebanyak 117 tempat tidur terdapat di kelas tiga, 35 tempat tidur untuk kelas dua, 51 kelas satu, dan 18 tempat tidur VIP.
Akan tetapi, ibu bersalin dinilai tidak dapat dicampur dengan pasien lain. Lantaran selalu penuh, RSUD Sleman akan menambah tempat tidur ibu bersalin menjadi 30 unit pada 2014.
Sumber: republika.co.id
Tanpa Rujukan, Pasien Ditolak
BPJS Belum Efektif, Perlu Sosialisasi
SANGATTA. Meski pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah berlaku per 1 Januari, namun kenyataan di lapangan belum berjalan mulus. Pasalnya masyarakat masih banyak yang belum tahu persis prosedur dan cara berobat dengan menggunakan layanan BPJS ini.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kutim Bahrani Hasanal mengatakan, masyarakat sudah terbiasa dengan pola lama menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau jaminan kesehatan lainnya selama ini. Di mana di RSUD, bisa juga dilayani secara langsung atau tanpa rujukan. Sementara dalam Pola pengobatan BPJS, wajib hukumnya melalui rujukan dokter praktek atau dari Puskesmas.
Harga Paket Naik, Kualitas Layanan RS Diharapkan Merata
BPJS Info Masyarakat tak perlu khawatir akan perbedaan kualitas pelayanan di rumah sakit dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meski rumah sakit dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan kemampuan memberikan pelayanan medis, yakni tipe A, B, C, dan D, namun sistem pembiayaan dalam JKN takkan menyebabkan perbedaan kualitas layanan kepada pasien.
Direktur Pelayanan PT Askes (persero) Fadjriadinur menegaskan, paket pembiayaan untuk RS melalui sistem INA-CBG’s kini telah dinaikkan sebesar 29-54 persen. Dengan penyesuaian harga paket tersebut, kekhawatiran adanya perbedaan kualitas pelayanan semestinya tak perlu terjadi.
“Sekarang hal tersebut sudah tidak perlu dikhawatirkan,” katanya pada acara bertema ‘Pelaksanaan BPJS 2014’ Senin (6/1/2013), di Jakarta. Sebagai informasi, dalam pelaksanan proram JKN 2014 digunakan sistem INA-CBG’s 4.0 yang merupakan modifikasi program INA-CBG’s 3.1. Kenaikan harga paket hingga 29 persen berlaku untuk rumah sakit tipe A.
Sedangkan peningkatan 54 persen berlaku bagi rumah sakit tipe B, C, dan D. Dengan peningkatan ini, harga paket dalam setiap tipe rumah sakit menjadi tak terlalu jauh. Saat ini menurut Fajriadinur, perbedaan harga paket dalam tipe rumah sakit hanya berkisar 20-40 persen saja. Perbedaan harga paket dalam tipe rumah sakit didasarkan atas fasilitas dan kapasitas rumah sakit. Rumah sakit tipe A memiliki lebih banyak spesifikasi alat. Rumah sakit ini juga memiliki kapasitas lebih banyak dibanding tipe B, C, dan D.
Hal inilah yang menyebabkan harga paket untuk rumah sakit tipe A lebih tinggi. Fajriadinur menjelaskan, harga paket INA-CBG’s sudah ditentukan tim kendali mutu yang beranggotakan kalangan profesi, akademisi, pakar asuransi, pemerintah pusat dan daerah. “Dengan keanggotaan ini maka INA-CBG’s bisa dipastikan efektif dan memberikan manfaat maksimal, bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan,” kata dia.
Dengan harga paket yang tidak terlau jauh, pasien pun diharapkan tak terkonsentrasi di satu rumah sakit. Distribusi merata akan memudahkan pasien melakukan pengobatan, terutama peserta JKN 2014. Hal ini akan berefek pada tercapainya visi BPJS, untuk memasukkan semua masyarakat Indonesia dalam cakupan JKN.
“Saat ini jumlah peserta JKN 2014 per Desember 2013 adalah 116.122.065 jiwa. Sedangkan penambahan peserta sejak pembukaan pada 1 Januari 2014 jumlah peserta sudah mencapai lebih dari 30 ribu jiwa dari seluruh Indonesia. Dengan segala fasilitas yang ada jumlah ini akan terus meningkat,” kata Fajriadinur.
Sumber : kompas.com
Sosialisasi Dinilai Kurang, DPRD Kota Cirebon Bakal Panggil Tiga BUMN
CIREBON, (PRLM).- Kalangan DPRD Kota Cirebon menilai, sosialisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih sangat kurang.
Mereka khawatir kurangnya sosialisasi bakal berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan warga.
Apalagi, masih banyak warga miskin Kota Cirebon, yang belum ter-cover program tersebut.
Menurut Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Cirebon Andi Rianto Lie, dalam waktu dekat ini, DPRD Kota Cirebon melalui Komisi C bakal memanggil tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketiganya yakni Kantor Cabang PT Askes, PT Jamsostek dan PT Taspen, yang kini di-merger menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
“Selain ketiga BUMN itu, Dinas Kesehatan Kota Cirebon juga akan dipanggil, untuk mempresentasikan program jaminan tersebut dan memastikan seluruh masyarakat mengetahui serta memahaminya,” katanya.
Hal krusial yang harus disegera ditangani, katanya, adalah jangan sampai ada warga miskin yang terlewat.
Dikatakannya, seluruh instasi terkait harus siap menerapkan program pemerintah itu. “Pelaksanaan program harus disertai antisipasi adanya peningkatan pelayanan, baik oleh rumah sakit maupun puskesmas,” jelasnya.
Terkait dengan masih banyaknya warga yang belum ter-cover program BPJS, dibenarkan Kepala Dinkes Kota Cirebon Eddy Sugiarto.
Menurut Eddy, sedikitnya 84.000 warga miskin Kota Cirebon tidak terjamin BPJS. Mereka terdiri dari 46.000 orang peserta Jamkesda dan 38.000 orang pemegang Kartu Cirebon Menuju Sehat (KCMS) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
“Yang sudah ter-cover BPJS adalah mereka yang berstatus PNS, TNI/Polri, dan peserta Jamkesmas sebanyak 102.806 orang. Sementara warga miskin peserta Jamkesda, KCMS, maupun SKTM, belum masuk dalam database,” ungkapnya.
Pemkot memiliki waktu hingga 2019 untuk kewajiban membayarkan iuran peserta Jamkesda, KCMS, maupun SKTM agar menjadi peserta BPJS.
Pendataan sendiri dikatakan dia, akan dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan dana APBD Kota Cirebon.
Sementara ini, mereka menjadi tanggungan Pemkot Cirebon apabila mengalami sakit. “Pembiayaan biaya pengobatan warga yang belum ter-cover, justru lebih murah dibandingkan kalau kami harus membayar iuran BPJS, karena dilakukan hanya saat sakit,” kata Eddy. (A-92/A-89)***
Sumber: pikiran-rakyat.com