TEMPO.CO, Jember – Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jember mendesak Bupati Jember segera meneken kontrak dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial untuk mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional. Dewan menilai program BPJS lebih efektif dan efisien dibanding program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ataupun Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
“Secepatnya, Komisi meminta dinas dan rumah sakit untuk mengatur teknisnya bersama Bupati dan tim anggaran Jember,” ujar Ayub Junaidi, Ketua Komisi Kesehatan DPRD Jember dalam rapat dengar pendapat bersama Dinas Kesehatan Jember, pengelola rumah sakit, serta pejabat BPJS cabang Jember, Selasa 7 Januari 2014.
Menurut Ayub, pengalihan program asuransi kesehatan ke JKN akan menghemat anggaran daerah hingga Rp 11 miliar lebih. Ayub mengatakan warga miskin di Jember ternyata hanya butuh Rp 1,2 miliar per tahun untuk berobat. Dana sejumlah itu bisa dianggarkan bila mereka mengikuti program JKN.
Kepala Dinas Kesehatan Jember, Bambang Suwartono, mengatakan selama 2013, pasien miskin yang berobat dengan bantuan Jamkesda nonkuota sebanyak 5.259 orang. Setelah dihitung, jika mereka diikutkan program BPJS (dengan premi Rp 19.255 per bulan), maka mereka membutuhkan anggaran sebanyak Rp 101,26 juta per bulan, atau Rp 1,21 miliar setahun.
Selama 2013, pasien miskin yang tidak termasuk dalam program Jamkesmas dan Jamkesda Provinsi Jawa Timur menghabiskan anggaran dari APBD Jember sebanyak Rp 11 miliar. Bahkan dalam APBD Jember tahun 2014, anggaran itu naik menjadi Rp 13,5 miliar.
Jika dana Rp 13,5 miliar itu dipakai untuk program JKN, maka sebanyak 57.000 orang di Jember bisa diasuransikan kesehatannya oleh Pemkab Jember melalui program JKN.”Tetapi saya tidak mempunyai kebijakan itu. Itu kewenangan Bupati,” kata Bambang.
Selama ini, pasien miskin itu berobat dengan menggunakan Surat Pernyataan Miskin (SPM) ke tiga Rumah Sakit Daerah (RSD) milik Pemkab Jember yakni RSD dr. Soebandi, RSD Balung dan RSD Kalisat. Selain itu, pasien miskin juga harus mengeluarkan biaya. Mereka tetap dikenai sistem sharing 60 persen:40 persen, atau 60 persen diambilkan dari dana APBD dan 40 persen ditanggung oleh pasien.
Menurut Bambang, selisih biaya pengobatan yang sangat besar antara program Jamkesda nonkuota dan program JKN disebabkan oleh rumah sakit yang menghitung semua pengeluaran untuk merawat pasien, seperti jasa pelayanan, kamar, laboratorium dan biaya lainnya. “Jumlah itu yang diklaimkan tiga rumah sakit daerah kepada kami,” katanya.
Bambang berjanji akan membicarakan masalah teknis pengalihan anggaran itu dengan Bupati Jember dan ketua Tim Anggaran Pemkab Jember. “Ya, akan kami konsultasikan secepatnya dengan Bupati. Termasuk bagaimana teknisnya, sampai terbit SK-nya,” kata dia.
MAHBUB DJUNAIDY
Sumber: tempo.co