Pembukaan: Membenahi Rumah Sakit juga Merupakan bagian dari Upaya Public Health
Pembukaan ini dilakukan oleh Dr. Stefanus Brian Seran., MPH (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT) dan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Ketua tim SH-PML). Dalam pengantarnya, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD selaku ketua tim SH-PML menyampaikan bahwa saat ini program SH-PML sudah memasuki masa transisi. Artinya, peran UGM selaku koordinator program mulai ditransfer secara bertahap pada mitra lokal, yakni Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan P2K3 Undana. Untuk itu, monitoring dan evaluasi justru harus dilakukan secara lebih ketat. Tanpa monev, dana program yang sudah dialokasikan sangat banyak ini akan sia-sia, tanpa ada hasil yang terukur. Apalagi di level provinsi maupun pusat, advokasi sudah beberapa kali dilakukan dalam rangka exit strategy. Ini akan memerlukan follow up dan monev yang lebih ketat.
Prof. Laksono berharap bahwa seluruh RS Mitra A memiliki unit pelatihan jarak jauh, karena dengan model ini akan memungkinkan kemudahan komunikasi, tanpa harus datang ke RS Mitra B. Dokter spesialis di RS Mitra A tidak perlu meluangkan waktu terlalu banyak untuk melakukan perjalanan ke pelosok, namun cukup 2-3 jam per minggu untuk melakukan telemedicine, misalnya.
Hal ini tentu saja dimungkinkan dengan telah adanya fasilitas V-Sat yang telah diadakan oleh Kemenkes untuk daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, Prof. Laksono berharap RS Mitra A memasukkan kegiatan ini dalam perencanaan dan penganggarannya masing-masing.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT Dr. Stefanus Brian Seran., MPH menyampaikan bahwa kegiatan ini harus dikembalikan lagi pada misi awalnya, yaitu menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Apapun pelatihan dan perbaikan sistem yang dilakukan, harus bertujuan untuk misi tersebut, bukan sekedar memastikan bahwa K1-K4 tercapai 100%. Beliau tidak setuju dengan pendapat bahwa pelayanan dasar, bukan rumah sakit yang harus dibenahi untuk menurunkan AKI dan AKB. Menurutnya, sudah berpuluh tahun pemerintah menata pelayanan dasar, mengintensifkan antenatal care, dan seterusnya, namun angka kematian tetap tinggi. Public health menurutnya bukan sekedar memberikan tablet FE dan imunisasi di posyandu, melainkan juga meliputi pembenahan rumah sakit. Oleh karena itu, sudah saatnya RS juga dibenahi sebagai fasilitas yang sering menjadi tempat kematian ibu dan bayi. Berdasarkan data riil, angka kematian ibu di hampir semua provinsi di Indonesia naik sedangkan di NTT menurun. Kematian bayi di NTT menunjukkan pola menarik, yaitu naik dan turun secara berselang seling.
Grafik Jumlah Kematian Ibu dan Bayi di Provinsi NTT, 2009 – Juni 2013
Dalam hal ini, dr. Stefanus berpesan khusus pada semua pihak yang terlibat agar mengusahakan dengan lebih intensif, agar 11 RSUD di NTT ini ditetapkan menjadi BLU. Hal ini diyakini dapat mengurangi berbagai kendala birokrasi yang selama ini masih terjadi dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi.