Reportase Kunjungan Tim
Task Force Health Care WG, the Netherlands
23-25 September 2013
Reporter: Bustanul Arifin, S. Farm., Apt., M.Sc., MPH; Editor: Ni Luh Putu Eka Andayani SKM, MKes
Fakultas Kedokteran (FK) UGM kembali menerima kunjungan dari tim Task Force Health Care WG, the Netherlands. Tim ini merupakan tim gabungan (woking group for Indonesia) yang terdiri dari:
- Lukas Rahmidin (Perwakilan dari kantor Kedutaan Belanda di Indonesia)
- Hans Aarts (Direktur Mundo Maastricht University)
- Serge Heijnen (Royal Tropical Institute)
- Peter J. Bosman (Senior Consultant Berenschot)
- Alex Holsenberg
- Gerrart Van der Schaw
Selain agar dapat memperkuat hubungan Indonesia dengan Belanda, tujuan dari kunjungan tim ini adalah menanggapi 7 (tujuh) proposal yang diajukan FK UGM, terkait dengan rencana Pemerintah Indonesia menerapkan BPJS pada tanggal 1 Januari 2014. Pertemuan ini berlangsung di ruangan eksekutif dekan FK UGM, selama 3 (tiga) hari mulai tanggal 23-25 September 2013.
Hari pertama pada pertemuan ini menitikberatkan pada perkenalan BPJS termasuk beberapa kendala yang dihadapi terutama pada tahap persiapan BPJS. Dra. Diah Ayu Puspandari, Apt, MBA, M.Kes dari KPMAK FK UGM meyampaikan beberapa kendala tersebut antara lain:
- Pemerintah memiliki tugas besar yaitu sosialisai program ini kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin yang menjadi target utama BPJS.
- Pemerintah Indonesia masih mengalami kesulitan dalam hal identifikasi masyarakat miskin yang ada di Indonesia. Segmen kelas sosial masyarakat harus jelas karena nantinya seluruh peserta akan diwajibkan membayar iuran/premi asuransi. Bagi masyarakat miskin, premi akan menjadi tanggungan negara.
- SOP yang jelas pada seluruh aspek, terutama pada aspek-aspek strategis; misalnya: layanan kesehatan masyarakat (fasilitas dan SDM), serta mekanisme reimbursement dari fasilitas kesehatan ke BPJS.
- Fasilitas kesehatan (faskes) juga membutuhkan SDM yang benar-benar mengerti aplikasi BPJS. Dengan demikian, tenaga kesehatan diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan klinis tapi juga memiliki bekal kemampuan manajemen kesehatan.
- Saat ini beberapa faskes telah melakukan pengumpulan data, namun data tersebut belum dapat diolah/dianalisa agar dapat memberikan informasi yang akurat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, sehingga siklus data dari perencanaan hingga evaluasi dan memperoleh informasi dapat berjalan seperti yang diharapkan.
- Masalah informasi sistem kesehatan di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki bank data sentral tentang terkait status kesehatan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap wilayah di Indonesia mengembangkan sistem pencatatan masing-masing (dampak otonomi daerah). Misalnya Daerah A dengan format data pasien menggunakan template A, sedangkan Daerah B juga memiliki format yang berbeda.
- Keadaan geografis di Indonesia yang belum memungkinkan penggunaan internet secara optimal.
- Budaya masyarakat Indonesia.
Hari kedua, peserta diskusi sepakat untuk menidentifikasi rencana aksi nyata yang akan dilakukan. Diskusi selama empat jam tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa aksi nyata yang akan dilakukan nanti mengusung tema besar “Memperkuat layanan masyarakat pada tingkat layanan primer, yaitu layanan masyarakat di puskesmas”. Berikut adalah daftar rencana aksi yang akan dilakukan:
- Memperjelas kerangka kerjasama, terutama aspek monitoring dan evaluasi (framework development for Monitoring & Evaluation for UHC).
- Meningkatkan kerjasama dan negosiasi terutama yang berkaitan dengan pelayanan ibu hamil di puskesmas (development the negotiation forum, related to health service pregnant mechanism at local area).
- Memperkuat sistem informasi kesehatan (strengthening the Information system)
- Mengumpulkan bukti-bukti ilmiah terkait kebijakan pemerintah bidang kesehatan (strengthening the evidence health policy)
- Mekanisme, prosedur dan integrasi JAMKESDA di Indonesia (JAMKESDA integration strategy in BPJS)
- Memperkuat keterlibatan masyarakat dan media (strengthening the public engagement, media and participation)
- Memperkuat sarana dan prasarana fasilitas kesehatan (strengthening health facilities)
- Meningkatkan kualitas SDM (human resourses planning and staff education)
- Memperkuat hubungan kerjasama seluruh pihak terkait (strengthening coordination between found and all sector).
Hari ketiga, tim Task Force Health Care WG, the Netherlands dan tim dari FK UGM melakukan kunjungan ke Dinas Kesehatan D.I Yogyakarta. Tim berdiskusi dengan Ibu dr. R.A. Arida Oetami, M. Kes (Kepala Dinas), Ibu Drh. Bertimurtiningsih, M. Kes (KASI Pelayanan Info Kesehatan), Ibu Sri Mukti Suhardini, SKM, M. Kes (Sekretaris Dinas).
Diskusi berlangsung sekitar 2,5 jam di ruangan kepala dinas. Tabel dibawah ini berisi pertanyaan dari tim Task Force Health Care WG, the Netherlands. Berikut ini adalah rangkuman dari tanya jawab tersebut.
No | Pertanyaan tim Task Force Health Care WG, the Netherlands | Jawaban dari DINKES DIY |
1. | Bagaimana agar komunitas masyarakat DIY memiliki kesadaran akan pentingnya penggunaan internet? | Hal ini sangat terkait dengan masalah budaya. Hingga saat ini, masyarakat belum benar-benar menyadari arti penting media internet |
2. | Bagaimana keterkaitan tingkat pendidikan dengan minat menggunakan internet? |
Secara umum, DIY tidak menghadapi masalah di bidang pendidikan. Pendidikan dipandang merata, hanya saja DIY bagian selatan yang masih memerlukan perhatian peningkatan SDM. Masyarakat DIY umumnya menggunakan internet ketika merasa “kebingungan” pada masalah yang sedang dihadapi. |
3. | Upaya apa yang telah dilakukan agar masyarakat DIY dapat terlayani di puskesmas? | Salah satunya adalah peningkatan layanan kesehatan termasuk meningkatkan pola dokumentasi yang baik. Contohnya masyarakat yang lupa membawa kartu berobat puskesmas diberikan kebijakan dengan hanya menyebutkan nama dan alamat. |
4. | Selama ini, bagaimana cara mengontrol suatu kegiatan, termasuk cara mengukur keberhasilan? | Sistem pencatatan dan pelaporan kegiatan selama ini belum berjalan optimal. Kendala utama yang dirasakan adalah keterbatasan SDM dan fasilitas yang dimiliki. |
5. | Bagaimana DIKES mengetahui bahwa informasi yang disebarluaskan ke masyarakat, telah diterima oleh masyarakat? | Evaluasi hanya dapat diketahui melalui komplen yang diterima. Komple ini dapat berupa sms atau email |
6. | Bagaimana pendapat personal KADIS tentang Universal Health Coverage (UHC)? | Masalah utama adalah kesiapan provider sebagai penyedia layanan kesehatan. Penerapan sistem kredensialing, dapat menjadi faktor pemicu seseorang harus terus meningkatkan kualitas yang dimiliki. Jika seseorang dinilai tidak dapat bekerja sesuai standar, maka kemungkinan akan diputuskan kontrak. Tindakan pemutusan kotrak tentunya tidak sekaligus, namun ada mekanismenya. |
7. | Saat pelaksanaan BPJS berjalan, namun dirasakan masih ada kendala, apakah pemerintah akan menyiapkan dana tambahan untuk mengatasi kendala tersebut? | Semua akan dilaksanakan sesuai kontrak. Kendala yang dihadapi akan dievaluasi agar ditemukan solusi. Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas puskesmas diseluruh wilayah Indonesia. |
8. | Kendala utama pemerintah untuk memenuhi standar-standar pelayanan kesehatan? Apakah SDM? fasilitas? atau aspek yang mana? | Kendala utama adalah SDM sebagai pelaku. Dibutuhkan SDM yang tidak hanya memiliki kemampuan teknis, tapi juga kemampuan manajemen. |
9. | Manakah penghasilan dokter yang paling besar bertugas di puskemas sebagai klinisi atau bukan klinis? | Tergantung jabatan struktural dokter tersebut. Saat ini, seorang kepala puskesmas tidak harus dokter. |
10. | Apakah dibutuhkan pelatihan tentang manajemen puskesmas? |
Ya, sangat dibutuhkan. Terutama pada masa persiapan seperti sekaran. Hal ini untuk menyamakan presepsi (mindset) seluruh komponen yang terlibat. Hingga saat ini belum ada pelatihan spesifik tentang layanan puskesmas sehubungan dengan akan diterapkannya UHC. |
11. | Bagaimana sikap PKM di DIY menjelang UHC? |
Sikap mereka biasa-biasa saja. Yang terpenting dapat melayani masyarakat yang membutuhkan |
12. | Apakah ada ketakutan pihak PKM pada penerapan UHM yang nantinya salah satu dampaknya adalah pertambahan jumlah pasien? |
Tidak ada. Menurut standar nasional 1 PKM dapat melayani 30.000 pasien, sedangkan hingga saat ini PKM DIY hanya melayani maksimum 10.000 pasien. |
13. | Upaya apa yang telah dilakukan DINKES untuk meningkatkan kualitas layanan PKM? |
Penerapan standar ISO PKM. Selain itu, DINKES DIY berinisiatif untuk menerapkan system akreditasi PKM. Sistem ini, bukan program nasional, tapi masih berupa inisiatif dari DINKES DIY. Selain itu, penambahan jumlah PKM DIY. Sebelum tahun 2000, jumlah PKM sebanyak 22 dan setelah tahun 2001 hingga saat ini, jumlah PKM di DIY telah mencapai 121 PKM (10 PKM dengan 10 tempat tidur untuk layanan rawat inap) |
14. | Berapa angka rujukkan PKM ke RS? Apa dasar hukumnya? |
Sekitar 1,5% dari total kunjungan pasien PKM. Dasar hukumnya PERGUB DIY. Pelayanan primer masyarakat di PKM disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal mereka. |
15. | Bagaimana cara agar masyarakat mengikuti pola layanan kesehatan.Masyarakat ke PKM sebelum ke RS (cara mencegah masyarakat langsung ke RS?) |
Sebenarnya hal ini sudah diupayakan, namun RS kebingungan dengan budaya masyarakat yang langsung meminta layanan RS. Jika RS menolak, hal ini akan menstimulasi reaksi negatif masyarakat. |
16. | Asal dana PKM? |
Ada beberapa sumber pendanaan PKM, antara lain dari pemerintah pusat, yaitu dana BOK sekitar 5-10% (75 juta per PKM DIY). Pembayaran gaji PNS dan karyawan dari pemerintah DIY. PKM juga masih menerima bantuan biaya obat dari pemerintah pusat. |
Penghujung sesi diskusi, tim Task Force Health Care WG, the Netherlands memberikan solusi singkat tentang layanan masyarakat, terkait dengan budaya masyarakat yang ingin langsung ke RS unutk memperoleh layanan kesehatan. Mereka menyarankan agar dibuat portal khusus di RS, untuk memberikan layanan primer bagi masyarakat. Sejalan dengan program tersebut, penjelasan terus dilakukan, hingga batas waktu yang ditentukan agar tercipta kesadaran masyarakat akan jenjang layanan kesehatan di Indonesia.