Kick Off Pelaksanaan JKN
Bertindak sebagai pembicara adalah para direktur RSUD Moewardi Solo (kasus RS pendidikan), RSUD Tarakan, RSUD yang belum BLUD dan Puskesmas.
Meskipun perjalanan sesi ini sangat terganggu dengan adanya gangguan pada supply listrik hotel tempat penyelenggaraan seminar, namun diskusi yang terjadi cukup membuat peserta bertahan di tempat duduknya masing-masing. Sesi ini menjadi menarik karena ada perspektif lain dibandingkan dengan berbagai paparan sebelumnya, yaitu masalah di RS Pendidikan. Sebagai RS Pendidikan, RSUD Moewardi Solo setiap tahun rata-rata menerima lebih dari 680 residen, hampir 500 ko-ass dan hampir 1500 peserta didik lainnya. Kondisi ini mau tidak mau berpengaruh pada biaya operasional RS, termasuk perbedaan SOP yang dilaksanakan dengan di RSUD non pendidikan. Kadang ada protap yang bertolak belakang dengan kebijakan, misalnya protap untuk pendidikan lebih didasarkan pada indikasi medis, tidak memandang indikasi sosial. Kepatuhan terhadap clinical pathway dirasa merupakan tantangan yang berat dalam menghadapi kareditasi. Oleh karena itu, Drg. Basuki Soetardjo, M.Kes sebagai direktur harus selalu melakukan bargain dengan KPS dan pihak terkait lainnya.
Selain itu menurut Drg. Basuki saat ini masyarakat masih mengalami euforia dari kebebasan berpendapat. Oleh karenanya, RSUD Dr. Moewardi menyiapkan layanan hotline dan duty manager 24 jam untuk melayani berbagai pertanyaan dan komplain dari masyarakat. Bahkan layanan homecare/homevisit juga disediakan 24 jam oleh RS ini.
Lain halnya di RSUD Tarakan, Jakarta. Dr. R. Koesmedi Priharto, SpOT, MKes menyampaikan bahwa 71% dari total kapasitas rawat inap di RS-nya ada di Kelas III. Komposisi tenaganya terdiri dari 75% pegawai non PNS (pegawai RS). Menurut Dr. Koesmedi, manajer dan pelaksana layanan di RS harus paham mengenai coding. Kesalahan coding sedikit saja dapat berdampak sangat besar. Ia mencontohkan untuk kasus dengan diagnosis utama fractures of other parts of femur, open, dan diagnosis sekundernya contusion of knee dan traumatic shock, akan menghasilkan tarif INA-DRGs sebesar Rp5,3juta. Namun jika kondisi itu dibalik dengan menempatkan traumatic shock sebagai diagnosis utamanya, maka tagihan yang keluar adalah Rp16,9juta. Jadi hal ini sangat tergantung pada ketepatan dalam menentukan diagnostik utama dan sekundernya serta coding-nya. Semakin banyak kesalahan maka semakin besar pula potensi kerugian yang akan dialami oleh RS. Menurut pengalamannya memimpin RSUD Tarakan, Dr. Koesmedi mengatakan bahwa 30% kesalahan berasal dari coding.
RSUD Sampang mengalami masalah yang tidak kalah peliknya. RS yang hingga kini belum ditetapkan sebagai PPK BLUD ini memiliki komposisi pasien yang sebagian besar merupakan pasien Jamkesmas (38% di rawat jalan dan 63% di rawat inap). Ada hampir 35% jumlah penduduk yang masuk kategori penerima bantuan sosial belum tercakup dalam program Jamkesmas maupuan Jamkesda. Selain itu, ada banyak kekhawatiran lain dalam menghadapi implementasi UU SJSN dan BPJS. Salah satunya adalah masalah yang terkait dengan jumlah tenaga yang masih belum memenuhi standar pelayanan, kapasitas TT di rawat inap yang juga belum memenuhi rasio yang ditetapkan pemerintah, tarif INA-CBGs yang kemungkinan lebih rendah dari tarif RS, tingkat kepatuhan dokter terhadap clinical pathway, serta sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik. Hal ini belum ditambah lagi dengan berbagai persoalan klasik khas pada RSUD yang belum menerapkan PPK BLUD.
Diskusi kick off pelaksanaan JKN ini menjadi semakin lengkap dengan dihadirkannya para pembicara dari PB IDI Pusat, PT ASKES, ARSADA dan ADINKES.
Dr. Zaenal Abidin, M.Kes., Ketua PB IDI Pusat mengatakan bahwa fasilitas kesehatan dibuat tersebar merata, dokter praktek mandiri difungskan sebagai satelit puskemas. Strategi ini akan mengurangi penumpulan pasien di RS rujukan. Mengenai banyaknya dokter yang praktek di banyak tempat, Dr. Zaenal berpendapat bahwa kedepan BPJS sebaiknya mendorong agar dokter hanya praktek disatu tempat dengan penghasilan yang bisa menghidupi dokter yang bersangkutan, kecuali untuk situasi tertentu dokter bisa praktek dilebih dari satu tempat. Di Jakarta pun banyak dokter yang ingin praktek disatu tempat saja asalkan penghasilan cukup.
Premi adalah suatu hal yang menurutnya penting, tidak boleh seadanya, secukupnya, se.ridho-nya, agar para dokter mau praktek dipinggiran dan pedesaan. Suatu kota atau kabupaten yang sudah jenuh dengan jumlah dokter, anak pejabat pun tidak boleh praktek disitu kecuali ada dokter yang meninggal. Dengan demikian akan ada pemerataan distribusi tenaga dokter. Tidak pernah ada situasi kelebihan tenaga karena jumlah RS terus tumbuh. Oleh karenanya perlu ada ketegasan bahwa Jakarta jumlah RS sudah cukup/lebih, sehingga dokter tidak masuk ke Jakarta. Jika JKN sudha berjalan dengan baik, bisa terjadi ada RS yang tidak ada pasiennya, dan sedikit sekali pasien yang memerlukan layanan sub spesialis, sehingga yang perlu diperbanyak adalah layanan primer.
DR. Dr. Fahmi Idris, M.Kes. selaku Direktur Utama PT ASKES berpendapat bahwa perlu ada aturan yang lebih teknis dibandingkan dengan aturan.aturan yang saat ini telah ada. Ada sembilan prinsip dalam JKN, salah satunya adalah dana aman.
BPJS perlu dihitung persis operasionalnya berapa, sisanya untuk service, menurutnya. Jika service efisien, dananya tetap untuk program tidak boleh untuk dana badan. Jika ada surplus ada sebagian dana untuk disumbangkan.
PT ASKES siap menjalankan real-time data secara online. Dr. Fahmi yakin akan hal ini karena sudah pernah dicoba dengan e-KTP. Jadi jika ada anggota masyarakat yang sudah pernah terdaftar sebagai pemilih, sidik jari pernah didata, maka ketika ke RS bisa memasukan sidik ibu jari dan data pasien beserta fotonya langsung keluar.
semoga program JKN ini berjalan lancar dan memberi manfaat bagi masyarakat…