Archive for 2012
Menkes: Iuran BPJS Sebesar 2 Persen Tak Memberatkan Pekerja
Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menjamin bahwa potongan 2% dari gaji pekerja untuk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sektor kesehatan tidak akan memberatkan pekerja. Sebab, sistem subsidi silang akan diterapkan dalam pelaksanaan BPJS yang mulai berjalan 1 Januari 2014.
“Jadi ada buruh yang gajinya kecil, potongannya 2 persen juga akan kecil. Yang berpenghasilan besar, potongannya besar, jadi akan saling mencukupi. Jadi sebenarnya itu tidak perlu dikhawatirkan,” ujar Menkes menanggapi keberatan sejumlah pekerja terhadap besarnya iuran BPJS, di Jakarta, kemarin.
Menurut Menkes, besaran iuran BPJS sebesar 2 persen itu telah dibicarakan secara tripartit antara pemerintah-pengusaha-serikat pekerja/buruh, sehingga dipastikan tidak akan memberatkan pekerja. Terhadap penolakan yang masih muncul dari pekerja, itu mungkin karena kurangnya sosialisasi.
“Saya jelaskan bahwa prinsip asuransi adalah yang berpenghasilan tinggi itu membantu yang berpenghasilan rendah. Iuran 2 persen itu akan tergantung gajinya, dan 2 persen untuk pengobatan setahun kan jadinya tidak besar,” ujar Nafsiah.
Pemerintah sebelumnya menetapkan, besar iuran jaminan kesehatan dalam BPJS ditetapkan sebesar Rp22.201 perorang per bulan atau diperkirakan membutuhkan dana sebesar Rp 25,68 triliun untuk 96,4 juta jiwa.
“Ada tiga skenario besaran iuran yaitu skenario kenaikan moderat sebesar Rp19.286 perorang perbulan, skenario kenaikan tinggi sebesar Rp22.201 perorang perbulan dan usulan DJSN sebesar Rp27 ribu perorang perbulan. Dari sidang yang direkomendasikan adalah skenario dua atau Rp22.201 perorang perbulan,” kata Menko Kesra Agung Laksono di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Besar iuran tersebut adalah bagi para penerima bantuan iuran saat ini sebagian besar telah ditanggung Jamkesmas, sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), besar iuran ditetapkan sebesar 4 persen yang dibagi antara peserta sebesar 2 persen dan pemerintah 2 persen.
Sedangkan untuk anggota TNI/Polri, besar iuran adalah 2 persen yang dibayar oleh peserta, namun UU SJSN mengharuskan pemerintah untuk membayar iuran juga sehingga pada tahun 2014 pemerintah perlu menganggarkan iuran bagi anggota TNI/Polri tersebut.
Cakupan universal (universal coverage) bagi jaminan kesehatan akan dilaksanakan bertahap mulai tahun 2014 hingga tahun 2019. Tahun 2019 diharapkan seluruh warga negara Indonesia sudah memiliki jaminan tersebut.”Diharapkan juga dengan adanya penurunan tingkat kemiskinan maka besar iuran yang ditanggung pemerintah nilainya juga akan menurun,” kata Agung.
Sumber: pdpersi.co.id
Dahlan: Ide Rumah Sakit Pekerja dari SBY
Jakarta – Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono rencananya akan melakukan groundbreaking pembangunan rumah sakit pekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN)Cakung, Jakarta Timur.
Demikian disampaikan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, usai menyaksikan MoU antara KBN, Jamsostek dan Askes terkait persiapan rencana kerjasama pembangunan rumah sakit pekerja di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (24/9/2012). “Waktunya sedang dipersiapkan, karena saya baru ngomong dua kali,” kata Dahlan.
Lebih lanjut Dahlan mengatakan bahwa pembangunan rumah sakit pekerja tersebut diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp200 miliar. “Sumber pendanaannya mereka patungan. Akhir 2013 pembangunannya sudah selesai,” ujar Dahlan.
Dahlan mengungkapkan bahwa ide pembangunan rumah sakit pekerja berawal dari keinginan Presiden SBY untuk melayani pekerja, yang dianggap sebagai salah satu faktor penggerak pertumbuhan perekonomian bangsa.
“Ide pertamanya dari dia (Presiden SBY-red) masa jumlah buruhnya jutaan kok gak ada rumah sakitnya. Oleh karena itu dia meminta saya untuk memikirkan itu, hingga akhirnya saya pilihlah KBN ini dengan jumlah 80.000 buruh ini,” kata Dahlan.
Sumber: inilah.com
IT and Electronic Medical Records
With the health-care industry continuing to grow—spending in this market has reached roughly an estimated 18% of the U.S. gross domestic product (GDP)—IT companies are looking for a slice of the pie. Electronic medical records are one way for these companies to cash in, but with the increasingly complicated regulatory structure of the medical industry, the opportunities may not be as great as the size of the health market would indicate.
Electronic Medical Records: Savior?
Electronic medical records (EMRs) have been touted as just short of a cure for everything that ails the health-care system. As a Time blog (“Electronic Medical Records: Will They Really Cut Costs?”) summarizes neatly, “If the cheerleaders—including the one in the Oval Office—are right, computerized medical records will save us all: save jobs, save money, reduce errors, and transform health care as we know it.” This is not far from the claim that paving roads, rebuilding bridges and otherwise “investing in infrastructure” will somehow revive a flagging economy.
One thing is becoming increasingly certain, however: EMRs will not reduce health-care spending. The Time blog presciently noted (in 2009), “The slightly embarrassing financial reality of EMR is that large, mechanized medical operations like hospitals, clinics and big multi-doctor practices stand to make quite a bit of money by adopting them—given our current convoluted system of paying for health care.” Fast-forward to 2012: a New York Times piece (“Medicare Bills Rise as Records Turn Electronic”) reports on just this phenomenon in the context of Medicare. “The move to electronic health records may be contributing to billions of dollars in higher costs for Medicare, private insurers and patients by making it easier for hospitals and physicians to bill more for their services, whether or not they provide additional care.”
Nevertheless, despite the fact that EMRs have backfired with respect to the propaganda, they are likely here to stay. The main question surrounds the outlook as far as IT companies are concerned.
Incentives and Disincentives
The federal government has chosen EMRs as one of its pet causes, and it has therefore provided incentives (positive and negative) for health-care providers to implement EMRs. Although this artificially enlarges the market for EMRs, IT companies can nonetheless take advantage of the situation, whether by joining the legion designing and offering software for handling EMRs, by providing data center services like data storage or by delivering any number of other services.
In the context of data centers, one of the major hurdles to tapping into the health-care market is regulatory compliance. Specifically in this case, HIPAA/HITECH legislation requires data center facilities to meet certain standards for protecting protected patient information if they store, process or transmit such data. Not every regulation in HIPAA necessarily requires data centers to add new infrastructure or otherwise make changes (many such facilities already implement standard—if not state-of-the-art—measures to protect customer data), but compliance still adds costs. Depending on the provider, the costs of accessing the health IT market may or may not be worth the potential returns from gaining access to a new clientele.
Compliance Costs Are Not Incidental
The costs of compliance may be worth the return in the health IT market—if IT companies can afford those costs in the first place. The increasing federal intervention in the health-care market, as EMRs and the ACA (Obamacare) legislation indicate (“Health Premiums Up $3,000; Obama Vowed $2,500 Cut”), do little to improve the problems that are arguably the result of over-regulation. Compounding the problem is concern about IT spending in the face of an economy that simply isn’t recovering. ZDNet (“CEOs, CFOs bummed about economy: Can IT spending hold up?”) asks, “Can information technology spending hold up when both CEOs and CFOs are cutting expectations for the U.S. economy?…Given both CEOs and CFOs are bummed about the economy it’s only a matter of time before tech executives start getting a lot of questions about their projects and budgets.” IT, although not unaffected by economic conditions, has remained fairly strong owing to constantly growing demand for services. But these services must still be paid for, and as customers run low on money, spending may decrease or, at least, fail to grow significantly.
Beware Health Care
As a Washington Times article (“ORIENT: Health care is the next bubble”) notes, “People generally don’t recognize a bubble until it bursts.” IT companies are keenly aware of the danger of bubbles, having been near the heart of the so-called dot-com boom (and bust). Bubbles arise from unsustainably high levels of spending and valuation; the result, when the market recognizes the problem, is a bust. The housing market is a more recent example. Education (particularly higher education, but also lower levels as well) is a bubble that is on the verge of bursting—student loan debt is dwarfing the ability of graduates to pay given the dismal job market (“The Mad as Hell Generation”).
Health care is another such bubble in the making. The system of insurance props up astronomical costs, and that system is being further inflated by the laughably named Affordable Care Act (ACA—Obamacare). Medical expenses for trauma and chronic diseases often exceed the ability of patients to pay, and insurance premiums are increasingly stifling to individuals and families facing stagnant wages (“Report: Median Income Worse Now Than It Was During Great Recession”)—all raising the specter of a bubble on the verge of bursting.
IT companies must weigh this risk as they consider whether to enter the information side of the health-care market. For some companies, even this risk may be worth the potential rewards of a still burgeoning segment. The danger to companies in IT may be less direct, however: instead of losing investments, they may simple face the kind of broader economic shockwaves that resulted from the housing meltdown.
Compliance: The Word of the Decade
IT companies have some opportunities in the realm of electronic medical records, but the broader health market is looking more bearish than bullish. Exactly what a bust would look like, and how it would affect IT specifically, is less clear. Regulations and compliance are the order of the day in the health industry—including IT’s role therein—but a bust in this market might lead to a recognition of something the Internet has demonstrated quite well: a little freedom (and responsibility) goes a long way.
Sumber: datacenterjournal.com
Pasien Miskin Mendapat Layanan Diskriminatif
Jakarta, Pasien miskin dan pengguna jaminan kesehatan sosial tetap diam meski mengalami diskriminasi layanan rumah sakit. Mereka terpaksa menerima ketidakadilan itu karena tak tahu hak dan kewajibannya.
”Orientasi profit rumah sakit membuat pasien yang mampu membayar mendapat layanan lebih berkualitas daripada pasien miskin,” kata Arief Rachmat Fauzi, pemenang pertama Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia Ke-11 untuk kategori Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, di Jakarta, Kamis (27/9).
Arief adalah mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Penelitian tentang diskriminasi layanan publik itu dilakukan di sebuah rumah sakit umum besar di Yogyakarta.
Menurut hasil penelitian, diskriminasi dilakukan semua petugas rumah sakit, mulai dokter hingga petugas kebersihan, dan terjadi sejak pendaftaran pasien hingga pelaksanaan operasi.
Di loket pendaftaran, pasien dengan jaminan kesehatan sosial akan dilayani terakhir meski mereka datang lebih awal. Jumlah loket bagi mereka lebih sedikit.
Saat meminta informasi layanan, pasien miskin sering dipingpong. Informasi dari perawat dan dokter tentang kesehatan pasien sering berbeda. Selain itu, pelayanan, tutur kata, dan sikap perawat, dokter, hingga petugas kebersihan lebih baik kepada pasien di kelas lebih tinggi. ”Kebijakan rumah sakit, gaji yang tak seimbang dengan beban, perbedaan status sosial pemberi layanan dan pasien memicu terjadinya diskriminasi,” ujarnya.
Dosen Politik dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, mengatakan, diskriminasi layanan publik masih terjadi di mana-mana, termasuk rumah sakit besar yang mengantongi berbagai penghargaan.
”Pembedaan layanan antarkelas perawatan rumah sakit umum sulit dihindari, tapi seharusnya tak mencolok,” ujarnya.
Andrinof mengingatkan penyelenggara layanan publik, termasuk rumah sakit, terikat UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Ada prinsip dan standar layanan yang harus dipatuhi.
Untuk meningkatkan layanan publik, peningkatan kesejahteraan petugas, subsidi silang antarkelas perawatan, pembiayaan pemerintah yang memadai, serta pendidikan hak dan kewajiban pasien harus dilakukan seiring.
Sumber: KOMPAS.com
Pelayanan Kesehatan Merata, Jadi Fokus Pemprov DKI
Jakarta – Tingkat angka kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta terus mengalami penurunan secara signifikan. Namun demikian, warga Jakarta masih banyak yang merasakan mahalnya biaya perawatan kesehatan, dan masih membutuhkan bantuan atau subsidi.
Untuk itu, pemerataan kualitas pelayanan bagi keluarga miskin dan kurang mampu menjadi target utama pembangunan kesehatan di Jakarta. Sejak tahun 2008, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemprov DKI termasuk meningkatkan alokasi dana APBD dan pembangunan bidang kesehatan yang telah menjadi komitmennya.
Selain untuk meningkatkan kualitas sarana dan prasarana, sebagian dana tersebut dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan keluarga miskin atau kurang mampu yaitu, melalui program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-Gakin).
Menurut data Pemprov DKI, selama periode 2007-2012, alokasi dana JPK Gakin mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dari Rp250 miliar menjadi Rp600 miliar. Hingga saat ini, pelayanan JPK Gakin pada Puskesmas juga terus mengalami peningkatan.
Pada 2007, tercatat sebanyak 420.033 kasus kesehatan ditanggani oleh Puskesmas. Angka itu terus mengalami peningatan pada 2008 dengan 1.463.289 kasus, pada 2009 berjumlah 1.890.248 kasus.
Di 2010, JPK Gakin telah melayani 2.109.367 kasus di Puskesmas dan 2011 menanggani 2.061.972 kasus kesehatan. Sementara pelayanan Gakin di rumah sakit sebanyak 153.611 kasus pada 2007, 308.305 kasus pada 2008, serta 154.377 kasus pada 2009. Setelah mengalami penurunan, pelayanan JPK Gakin di rumah sakit kembali mengalami peningkatan pada 2010 dengan 213.490 kasus dan 271.489 kasus di 2011.
Selain itu, pelayanan JPK dengan system Surat Keterangan Tidak Mampu, juga mengalami penaikan dari tahun ke tahun. Jika pada 2007 tercatat sebanyak 127.802 kasus, pada 2011 meningkat menjadi 361.869 kasus kesehatan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memberikan perhatian dalam bidang sarana dan prasarana. Pembangunan layanan kesehatan ini terutama bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya tampung rumah sakit daerah (RSD) dan Puskesmas. Pemprov berusaha keras agar manajemen layanan di RSD dan Puskesmas, agar sesuai dengan standard ISO 9001:2008.
Ada beberapa hal yang telah dicapai dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam meningkatkan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan tersebut, diantaranya telah berhasil menangani 2,7 juta kasus penyakit pemegang kartu Gakin dan KTM, termasuk rawat inap untuk sekitar 650 ribu orang. Sementara pelayanan Kesehatan Gakin, SKTM dan korban bencana dapat diselenggarakan dari 82 RS dan 44 Puskesmas menjadi 88 RS dan 339 Puskemas.
Meningkatkan kualitas pengelolaan RSUD dan Puskesmas sehingga kini 4 RSUD, 4 UPT, 44 Puskesmas Kecamatan dan 126 dari 295 Puskesmas Kelurahan telah mendapat sertifikat ISO 9001:2008 serta menjadi percontohan bagi banyak daerah, termasuk dari luar negeri.
Selain itu juga, meningkatkan kapasitas rawat inap kelas III di RSUD dari 567 tempat tidur menjadi 1.050 tempat tidur, peningkatan 12 Puskesmas kecamatan, menekan biaya untuk pengobatan umum menjadi Rp2.000 dan pengobatan gigi hanya dikenakan Rp5.000 ini menjadi termurah di Indonesia.
Dalam kasus DBD, angkanya menurun dari 31.836 di tahun 2007 menjadi 18.006 di tahun 2011 melalui Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Sementara Indeks Pembangunan Manusia Jakarta (IPM) Jakarta dari 76,6 menjadi 78,0 merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Selanjutnya angka kematian bayi menurun dari 8,4/1000 kelahiran pada 2007 menjadi 7,0/1000 pada 2011, serta peningkatan usia harapan hidup dalam lima tahun terakhir meningkat dari 74,0 di tahun 2007, menjadi 74,4 di tahun 2011 untuk pria dan 77,6 pada tahun 2007 menjadi 78,0 pada tahun 2011 untuk wanita. Maka tidak salah jika komitmen Pemprov DKI dalam meningkatkan bidang kesehatan sudah terwujud.
Pada umumnya banyak masyarakat yang belum mengetahui cara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, dengan memiliki atau tidak memiliki kartu JPK Gakin. Padahal pelayanan kesehatan gratis ini bisa dengan mudah di akses bagi seluruh warga yang tinggal di wilayah DKI Jakarta.
Bagi pemegang kartu JPK GAKIN, saat ingin mendapatkan pelayanan kesehatan diwajibkan untuk membawa KTP DKI baik yang telah di fotocopy atau asli. Selain itu warga juga juga diwajibkan membawa Kartu JPK GAKIN, BLT, Raskin, PKH, dan Kartu Pemerintah lainnya, yang telah di fotocopy dan aslinya. Calon pasien juga diminta membawa rujukan dari PUSKESMAS, kecuali kasus emergensi, serta Kartu Keluarga (KK).
Sementara bagi yang belum memiliki kartu JPK GAKIN juga tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Cukup datang dengan membawa KTP DKI, baik yang asli maupun fotocopy. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW dan Lurah setempat, Rujukan dari PUSKESMAS, kecuali kasus emergensi. Bagi yang belum memiliki JPK GAKIN juga bisa mengurus administrasi Gakin atau SKTM dengan proses pembuatan paling lambat 3×24 Jam (tidak termasuk hari libur).
Warga juga diminta membawa Kartu Keluarga (KK), dan Hasil Verifikasi Lapangan. Untuk pasien yang telah dirawat di rumah sakit atau panti, cukup membawa rujukan PUSKESMAS terdekat, pengantar dari Pengurus Panti, dan Foto Copy Sertifikat Panti / Rumah Sakit.
Sumber: inilah.com
Benchmarking Internasional
Editor: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes ([email protected])
2. Otonomi Rumah Sakit Kasus Inggris |
3. Otonomi Rumah Sakit Kasus Spanyol |
4. Transferworkshop Beijing-Bericht |
–
Contact Person:
Email : [email protected]
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Akreditasi RSUD di NTT
Sejak 2010 UGM bekerjasama dengan AIPMNH (Australia) mengembangkan program sistem hospital di NTT untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Program sistem hospital dikembangkan dengan cara mengirim dokter spesialis dari rumah sakit besar (RSCM, Soetomo dll) yang disebut sebagai Mitra A ke rumah sakit di NTT yang disebut sebagai mitra B (RSUD Umbu Rara Meha Waingapu, RSUD Waikabubak, RSUD Bajawa, dan RSUD ATAMBUA KAB. BELU – NTT).
Dalam proses ini, intervensi di RS di NTT tidak cukup hanya dengan mengirimkan dokter spesialis dan memperbaiki aspek klinik tetapi aspek manajemen juga haruss dibenahi, sehingga diperkenalkanlah program PML (Performance Management & Leadership). Program PML diawali dengan assessment rumah sakit (sesuai dengan pasangannya) Hasil dari itu digunakan sebagai bahan untuk belajar di RS lain ( kaji banding) yang dipilih oleh RS Mitra A, lalu hasil kaji banding digunakan untuk menyusun RTL (Rencana Tindak Lanjut). RTL ini dikerjakan oleh RS Mitra A di RS Mitra B. Saat ini mereka sudah menyelesaikan triwulan I RTL (April-Juni) dan mulai mengerjakan pada fase triwulan II.
Di PML ini UGM berperan untuk menjaga sinkronisasi antara hasil assessment, hasil kaji banding, RTL dan pelaksanaannya. Untuk RTL ini ada kegiatan yang sifatnya wajib (harus diprogramkan oleh semua RS Mitra A-B), dan ada yang sifatnya optional (diprogramkan sesuai dengan kebutuhan). Yang wajib ada 6 kegiatan, yaitu:
1. Perijinan RS (karena hampir semua RS di NTT tidak jelas ijinnya)
2. Akreditasi RS
3. Pemenuhan standar RS Tipe C (umumnya sekarang mereka masih Tipe D, sebagian lagi tidak jelas tipenya)
4. Penghitungan aset
5. BLUD
6. Pemenuhan regulasi-regulasi internal RS (mulai dari kebijakan-kebijakan, Standar Pelayanan Minimal, dan lain-lain hingga aturan yang sifatnya operasional seperti standar Operasional Prosedur (SOP).
1. RSUP Dr. KARIADI SEMARANG (Mitra A) dengan RSUD UMBU RARA MEHA (RS Mitra B)
Salah satu temuan dalam kegiatan NA (Need Assessment) di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu adalah RSUD belum memenuhi persyaratan standar akreditasi (5 pelayanan) yang merupakan ketentuan dalam UU No 44 tahun 2009 tentang RS. Pedoman/Kebijakan/ SOP operasional yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dan Standar Akreditasi RS, penataan dan optimalisasi sarana prasarana, penataan organisasi yang mendukung aktivitas pelayanan belum dilaksanakan dengan baik.
Akreditasi RS merupakan program peningkatan mutu yang di lakukan dengan membangun system dan budaya mutu. Melalui akreditasi RS akan ada perbaikan system di RS yang meliputi input,proses,dan output.Standar input RS yang terdiri dari fasilitas dan sumber daya manusia harus di penuhi oleh RS,sedangkan standart proses yang terdiri dari tersedianya kebijakan, pedoman, prosedur, dan bukti terlaksananya kegiatan harus terdokumentasi dengan baik.Standar output yang merupakan kinerja RS yang diukur dengan indicator mutu RS juga harus terdokumentasi secara terus menerus.
Pada akhir bulan Juni 2012 RSUD Umbu Rara Meha telah dilakukan survey akreditasi oleh Komisi Akreditasi RS (KARS) dengan tujuan untuk menilai keakuratan tingkat kinerja dihubungkan dengan standar,cara implementasi peningkatan pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan untuk menetapkan status akreditasi. Program Pendampingan Persiapan Akreditasi RS 5 pelayanan dalam bidang : (1) Administrasi & Manajemen ,(2) Rekam medic, (3) Pelayanan medic,(4) gawat darurat dan (5) pelayanan Keperawatan yang dilakukan dengan metode Pokja Adminitsrasi & manajemen, Pokja Rekam Medik, Pokja Pelayanan Medik, Pokja Pelayanan Gawat Darurat, Pokja Pelayanan keperawatan. Program Pendampingan Persiapan Akreditasi RS dilakukan oleh RSUP Dr. KARIADI SEMARANG pada Jumat – Sabtu, 1-2 Juni 2012 di Aula RSUD Umbu Rara Meha sehingga dihasilkan Dokumen / SOP Administrasi & Manajemen, Dokumen /SOP Rekam Medik Dokumen / SOP Pelayanan Medik, Dokumen / SOP Pelayanan Gawat Darurat, Dokumen / SOP Pelayanan Keperawatan.
Kendala pelaksanaan program ini adalah:
- Belum dipahaminya apa maksud akreditasi oleh seluruh staf RSUD
- Kurang aktifnya staf medis dalam Pokja Pelayanan medik dan UGD
- Kurangnya kesiapan fasilitas penunjang, misal papan penunjuk, denah RS, papan nama RS diluar / jalan menuju RS dll
- Waktu pendampingan masih dirasa kurang
Sehingga direkomendasikan bagi RSUD Umbu Rara Meha Waingapu:
- Diperlukan kerjasama dengan Dinkes kabupaten dan Pemda untuk membantu pengajuan Ijin operasional RS dan peningkatan kelas RS menjadi RS kelas C
- Dinkes Provinsi / Pemda agar memenuhi kebutuhan SDM khususnya dokter spesialis dalam rangka RSUD Umbu Rara Meha menuju RS kelas C
- PMPK UGM sebaiknya memfasilitasi Pelatihan Kepemimpinan bagi Direktur RS dan pejabat struktural agar hasilnya lebih optimal daripada dilaksanakan oleh masing2 daerah kabupaten
- AIPMNH agar mempertimbangkan bantuan pengiriman pendidikan berkelanjutan bagi staf medis dan pengiriman staf RSUD untuk pembelajaran ke RS kelas C (misal RSUD Bendan Pekalongan) dalam menyiapkan rencana menuju BLUD.
2. RSUP Dr. Sardjito (Mitra A) dengan RSUD Bajawa (Mitra B)
RSUD Bajawa mempunyai masalah yang sama dengan RSUD Umbu Rara Meha Waingapu yaitu tentang penilaian akreditasi 5 pelayanan. Kegiatan PML program akreditasi di RSUD Bajawa bertujuan untuk membangun pemahaman bersama mengenai akreditasi 5 pelayanan dan akreditasi baru versi 2012, melakukan self assessment akreditasi yang sudah dilengkapi sekaligus bimbingan terhadap tim akreditasi RSUD Bajawa. Program RSUD Bajawa dilaksanakan oleh RSUP Dr. Sardjito. Lokakarya Persiapan dan Bimbingan Akreditasi RSUD Bajawa dilakukan di RSUD Bajawa tanggal 23, 27 dan 28 April 2012, sedangkan penilaian akreditasi RSUD Bajawa dilaksanakan di RSUD Bajawa Tanggal 14- 16 Juni 2012 Juni 2012.
Program ini menghasilkan kegiatan:
- a. Lokakarya persiapan akreditasi
- Pembukaan Lokakarya oleh Direktur RSUD Bajawa.
- Sosialisasi Akreditasi oleh dr. Bambang Djarwoto, SpPD, KGH (Tim PML RS Sardjito):
– Peningkatan mutu RS melalui Akreditasi RS
– Akreditasi dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang RS
– Pengertian dan Manfaat Akreditasi, Keunggulan Akreditasi.
– 3 hal pokok akreditasi RS di Indonesia
– Perubahan paradigma Standar Akreditasi Baru
– Hasil Penilaian Survey Akreditasi Baru (Pratama-Madya-Utama-Paripurna)
- Diskusi tentang Akreditasi 5 Pelayanan dipandu oleh moderator.
- Presentasi Tim Akreditasi 5 Pelayanan (Pokja Administrasi dan Manajemen, Pokja Medik, Pokja Keperawatan, Pokja Rekam Medik, Pokja IGD).
- Presentasi Persiapan Menghadapi Akreditasi oleh dr. Widodo TP (Tim PML RS Sardjito)
– Input Teknis Akreditasi
– Kiat-kiat “menghadapi” Surveyor KARS Pusat
– Standar Akreditasi RS Baru versi 2012
- Bimbingan Akreditasi tiap Pokja Pelayanan oleh Tim PML
- Self Assesment 5 Pokja Pelayanan Akreditasi :
– Pokja Administrasi dan Manajemen, nilai : 45 %
– Pokja IGD nilai : 93 %
– Pokja Medik nilai : 78 %
– Pokja Keperawatan nilai : 70 %
– Pokja Rekam Medik nilai : 75 %
- Penutup oleh Ketua Tim Akreditasi RSUD Bajawa.
- b. Penilaian Akreditasi RSUD Bajawa
- Pembukaan oleh Bpk Assisten 1 Setda Ngada
- Pengantar awal Oleh Tim KARS Kemenkes RI (dr. Rita Enny, M. Kes)
- Pemeriksaan Dokumen Akreditasi oleh masing2 Surveior :
– Dr. H. Azwir Dahlan, Sp PD, M. Kes…….pokja UGD dan Medik
– Dr. Rita Enny S. M, Kes ……….pokja Administrasi dan Manajemen
– Darmono, S.Kep, Ns …………. pokja Keperawatan
- Bimbingan dan Masukan oleh Surveyor
- Penilaian dokumen
- Perbaikan dokumen oleh masing-masing Pokja
- Pendampingan oleh dr. Widodo TP (Tim PML RSUP Dr. Sardjito)
- Exit Conference oleh para Surveyor
- Penutup oleh Bapak Assisten 1 Setda Ngada
Kendala pelaksanaan program ini adalah anggaran untuk kelengkapan sarana prasarana dan kontinyuitas ketersediaan sumber daya listrik yang tidak stabil, mengakibatkan kerusakan baik data/software maupun hardware komputer yang digunakan dalam proses klaim.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Dari berbagai Program dan Kegiatan sebagian sudah terlaksana dengan hasil yang memuaskan.
3. RS Sanglah (Mitra A) dengan RSUD Waikabubak (Mitra B)
RSUD Waikabubak memiliki masalah yang sama dengan RSUD UMBU RARA MEHA sehingga dilakukan Program yang sama yaitu progrm akreditasi yang dilakukan oleh RS Sanglah. Program ini bertujuan untuk penilaian mutu eksternal terhadap kegiatan rumah sakit yang terdiri dari penilaian mutu administrasi dan manajemen, penilaian mutu pelayanan medik, penilaian mutu pelayanan keperawatan, penilaian mutu pelayanan gawat darurat , dan pelayanan mutu rekam medik. Ada berbagai program yang dilaksanakan yaitu melakukan workshop akreditasi 5 pelayanan, pendampingan bimbingan teknis pemenuhan dokumen akreditasi 5 pelayanan, pendampingan, melakukan self assesment akreditasi 5 pelayanan dan penilaian akreditasi 5 pelayanan oleh KARS pusat. Kegiatan program dilaksanakan pada 1 April-30 Juni 2012 di RSUD Waikabubak.
Program di RSUD Waikabubak menghasilkan:
- pembinaan, pendampingan akreditasi 5 pelayanan oleh RS Mitra A telah dilaksanakan pada tanggal 7-10 juni 2012. Telah dilengkapi dokumen akreditasi 5 pelayanan sesuai dengan standar dan parameter yang diisyaratkan.
- pendampingan lanjutan dilaksanakan oleh mentor lokal. Dilakukan komunikasi terhadap kekurangan dokumen terjait dengan standar dan parameter akreditasi pelayanan yang diisyaratkan.
- pembinaan akreditasi 5 pelayanan oleh KARS Pusat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni sampai dengan 2 Juli 2012
- penilaian oleh KARS Pusat dilaksanakan tanggal 29 Juli 2012 sampai dengan 1 Agustus 2012.
Kendala pelaksanaan program ini adalah belum ada staf RSUD yang memahami program akreditasi dan mentor lokal yang bertugas memfollow up kegiatan pengetahuan tentang akreditasi masih beum optimal dan kemampuan koordinasi dan evaluasi masih perlu ditingkatkan, sehingga direkomendasikan pemantauan pelaksanaan akreditasi oleh direktur RSUD Waikabubak harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mentor lokal. Kendala yang dihadapi supaya dikomunikasikan dengan RS Mitra A dan RS Mitra A wajib memberikan jalan keluar.
4. RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG dengan RSUD ATAMBUA KAB. BELU – NTT
RSUD ATAMBUA KAB. BELU – NTT mempunyai masalah yang sama dengan RSUD Waikabubak. Program yang dilaksanakan sama yaitu tentang bimbingan akreditasi RS 5 pelayanan dasar, program ini bertujuan untuk Pengakuan terhadap pelayanan di RS sesuai standar dan parameter yang di tetapkan oleh KARS. Program ini menggunakan metode dengan metode bimbingan, self assesment, diskusi, RTL. Bimbingan akreditasi 5 pelayanan dasar dilaksanakan 8-9 Mei dan pendampingan oleh tim akreditasi RSSA tanggal 4-5 Juni (pada saat awal supervisi tahap I) di RSUD Lewoleeba. Hasil PML didapatkan bahwa sudak dilaksanakan penilaian (menunggu hasil dari KARS Kemenkes RI).
Kendala umum yang dihadapai program Performance Management and Leadership (PML) adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) baik dari segi kuantitas dan kualitas, keterbatasan sarana dan prasarana serta pendanaan sehingga direkomendasikan RSUD Lembata merupakan satu-satunya rumah sakit pemerintah yang terdapat di Kabupaten Lembata yang berada dalam satu pulau sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemda terkait pemenuhan kebutuhan tenaga medis dan pemenuhan saran prasarana agar dapat mendukung upaya peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di kabupaten Lembata.
BPK dan Dirjen BUK Kritik RSUD Mattaher
JAMBI – Tata kelola dan manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher Provinsi Jambi yang amburadul mendapat sorotan tajam dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Dua lembaga negara itu mengkritik habis-habisan, khususnya mengenai masih rendahnya tingkat pelayanan serta minimnya fasilitas yang tersedia di rumah sakit plat merah itu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Usaha Kesehatan Kementerian Kesehatan dr. Supriyantoro, Sp.P mengaku prihatin lantaran tidak tersedianya alat Radioterapi dan Kemoterapi untuk pasien yang terkena kanker. Padahal, kata dia, sebagai rumah sakit rujukan daerah, sudah selayaknya menyediakan alat seperti ini. Apalagi, volume pasien yang terserang penyakit kanker di Jambi cukup tinggi.
Yang membuat dia heran, pihak manajemen rumah sakit justru lebih banyak menambah jumlah fasilitas yang tidak terlalu penting, seperti kursi dan meja. Padahal, kata dia, fasilitas itu belumlah terlalu penting ketimbang menyediakan alat serupa radioterapi.
“Tempat tidur memang perlu. Tapi, kalau bicara soal prioritas, bukankah lebih baik diadakan dulu fasilitas Radioterapi,” katanya didampingi anggota BPK RI Rizal Jalil dan Gubernur Jambi HBA saat berkunjung ke RSUD Raden Mattaher, kemarin (25/9).
Mantan Kepala bagian Rumah Sakit Tentara Mabes TNI ini berpesan, sudah saatnya RSUD Raden Mattaher mengedepankan aspek kualitas, tidak melulu hanya memikirkan kuantitas. Apalagi, kata dia, hampir tiap tahun anggaran yang mengucur ke RSUD dibelanjakan untuk membeli perlengkapan tempat tidur.
“Yang harus dibangun itu adalah, bagaimana pelayanan yang harus selalu ditingkatkan ke masyarakat. Pelayanan kesehatan harus menjadi sesuatu yang prioritas,” tegasnya.
Mengenai alat-alat kesehatan yang sudah menua, Supriyantoro meminta pihak RS berani menggandeng pihak ketiga. “Peluang RSUD ini lebih besar untuk menggaet pihak ketiga. Makanya perlu dipertimbangkan. Karena alat canggih mahal, perkembangan teknologi cepat. Terkadang setelah sekian tahun sudah tidak berguna,” jelasnya.
Sementara, anggota BPK RI Rizal Jalil mengatakan, dirinya sengaja mengundang Dirjen BUK ke Jambi untuk melihat kondisi ril RSUD Jambi. Ia berpesan agar pihak RSUD segera merespon dan komitmen untuk meningkatkan pelayanan publik. “Sebab, ini merupakan implementasi dan aktualisasi dari program Jambi EMAS,” katanya.
Rizal juga menyindir soal anggaran APBN yang dipakai untuk pembangunan RS agar terserap dengan benar, sesuai prioritas atas bangunan baru. “Semoga semakin hari semakin baik pelayanan publiknya,” katanya.
Mendapat sindiran pedas, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) dengan santai berdalih bahwa problem di RS itu disebabkan anggaran untuk kesehatan yang memang masih sangat minim. Ia menjelaskan, selama kepemimpinannya yang baru menginjak dua tahun, penggunaan anggaran memang lebih banyak tersedot untuk perbaikan dan pembagunan insfratruktur jalan dan jembatan. Itu lantaran hanya ada 30 % saja jalan yang baik.
Apalagi, APBD Provinsi Jambi selama ini kecil. “Jambi ini penduduknya 3,1 juta. APBD cuma Rp 2,1 triliun pada tahun 2012 ini. Itulah yang akan kami bagi untuk bangun jalan, pendidikan, dan kesehatan,” jelasnya.
Makanya, kata HBA, dia berharap bantuan dana dari pemerintah pusat, agar kedepannya RS dapat meningkatkan mutu serta pelayana terbaik kepada masyarakat. “Masalah Jambi saat ini memang insfrastruktur. Jadi inilah yang menjadi prioritas kami dalam dua tahun ini. Artinya, kecil peluang memperbesar sektor kesehatan. Jika dipaksa, infrastruktur APBD akan terganggu,” katanya.
Lebih lanjut, mantan Bupati Sarolangun ini mengatakan, kekurangan ruangan maupun tempat tidur bagi pasien rawat inap merupakan salah satu kendala untuk memberikan pelayanan terbaik. Bahkan banyak pasien yang terpaksa ditempatkan di koridor atau lorong-lorong jalan di Rumah Sakit.
Sementara itu, Direktur Utama RSUD Raden Mattaher Ali Imron, mengeluhkan keterbatasan infrastruktur. Minimnya SDM juga menjadi kendala utama. Makanya, saat ini pihaknya berusaha meningkatkan infrastruktur dan pemenuhan tenaga SDM, baik kualitas maupun kuantitas. “Pelayanan prima tidak terlepas dari masalah infrastruktur,” tegasnya.
RSUD Bantuan Dana Rp 75 M
HBA menyampaikan pada tahun 2013 akan mengupayakan pembangunan kelas dua, kelas satu dan VIP, RSDU Raden Mattaher. Diaharapkan, kedepannya RSUD dapat menampung 1.000 pasien. “Tahun 2013 kita mengupayakan dana pembangunan kelas dua dan kelas satu juga VIP, sekarang tempat tidur Rumah Sakit Umum 400 tempat tidur, kalau sudah selesai mencapai 1.000 tempat tidur,” katanya.
HBA optimis, pada tahun 2014 akhir dan 2015 awal Rumah Sakit Umum Raden Mattaher mampu menyelesaikan pembangunannya. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat merupakan prioritas utama pembangunan, selain meningkatkan ekonomi masyarakat. “Kita harapkan sudah selesai dengan 1000 tempat tidur, kita sudah memiliki VIP, kelas satu, kelas dua, kelas tiga termasuk fasilitasnya modern, mungkin terbaik se-Sumatera,” katanya.
Wakil Ketua BPK RI Rizal Djalil menyampaikan harapannya kepada Dirjen BUK Kementerian Kesehatan untuk memperjuangkan anggaran pembangunan rumah sakit tersebut. Menurut dia, bantuan dana dari pemerintah pusat memiliki arti penting bagi daerah, terutama Provinsi Jambi yang harus memiliki rumah sakit rujukan.
Untuk membangun rumah sakit itu Pemerintah Provinsi Jambi telah membuat usulan dana sebesar Rp 75 miliar. “Usulan rumah sakit Raden Mattaher ini Rp 75 miliar bisa dikabulkan. Tentu harapan kita lebih besar dari itu, bagaimana total dana belanja modal yang ada di Depkes, bagaimana situasi pembahasan di DPR, kita berharap mudah mudahan kebutuhan rumah sakit Jambi itu terpenuhi. Kita serahkan kepada Pak Dirjen mengatur itu bersama teman teman di DPR,” katanya.
Sumber: jambi-independent.co.id
50% Of Medicines Wrongly Dispensed
A SURVEY conducted by the World Health Organization (WHO) across the globe indicates that more than 50 percent of all medicines are prescribed, dispensed or sold inappropriately while half of all patients failed to take medicine correctly.
The survey has it that the overuse and misuse of medicines had harmed a lot of people and wasted many resources.
President of the Pharmaceutical Society of Ghana (PSG), James Ohemeng Kyei disclosed this at the 2012 Annual General Meeting (AGM) of the association at Cape Coast on Wednesday.
The conference was on the theme “Rational use of medicine, a key to quality health outcomes.”
Pharmacist Ohemeng Kyei noted that less than 40 percent of patients in the public sector and 30 percent in the private sector in developing countries were not treated according to clinical guidelines.
He expressed concern about the way more than 50 percent of developing countries do not implement basic policies to promote rational use of medicine.
The president hinted that 49.4 percent of the Ministry of Health (MOH) budgets were spent on medicine and the PSG deemed it a national responsibility to deliberate on the theme in order to partner the MOH and all stakeholders to promote rational use of medicine.
“History and evidence are clear that the social, economic and clinical consequences of irrational use of medicines are enormous and dire for the patient, profession, the health system and ultimately the entire nation,” he said.
Pharmacy practice in Ghana is regulated by the Pharmacy Act 1994 which clearly spelt out requirements and procedures for practice and service delivery he noted adding that it was only pharmacists who had the training, skills and competence to provide higher standards in pharmaceutical care to patients.
He bemoaned the situation where nearly 16 out of 23 district hospitals in the Northern region do not have pharmacists and called on the ministry to urgently address this.
Deputy Minister of Health, Rojo Mettle-Nunoo reiterated that the country needed to focus on providing more dedicated patient oriented service.
He said health sector reforms which put Ghana on the global health map can be attributed to the successful management of its key precursor programme in the revolving drug fund.
The deputy minister commended the association for contributing its quota towards health care delivery as well as enriching the private sector through their profession.
“Pharmacy as a practice in Ghana is growing; we in the ministry have recognized that since your hard work has helped the country to enjoy a vibrant pharmaceutical sector and demand for expanded services has increased in the last few years,” he added.
He stressed the need for the two bodies to work together to maintain the effectiveness of the current strategy for essential drugs and to stimulate the development of medicine which placed the biggest burden on the health sector and the economy.
“We need to provide support for the implementation of a drug monitoring system in order to identify development of resistance, adverse reactions and misuse of drugs within the health system.”
Sumber: peacefmonline.com