Jakarta – Dengan telah terbitnya Undang Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka salah satu peran penting dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dalam hal ini Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan adalah mempersiapkan peraturan hukum di bawah Undang-Undang tersebut guna menunjang penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dalam hal ini Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, mempunyai tanggungjawab yang besar agar seluruh bangunan rumah sakit di Indonesia dapat memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan sehingga dapat sesuai dengan standar nasional maupun standar internasional. Persyaratan Teknis Bidang Sarana dan Prasarana Kesehatan yang telah dibuat dimaksudkan agar suatu perencanaan, perancangan dan pengelolaan bangunan rumah sakit di Indonesia memperhatikan kaidah-kaidah pelayanan kesehatan, sehingga bangunan rumah sakit yang akan dibuat maupun yang akan direhabilitasi memenuhi standar kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi pasien dan pengguna bangunan serta tidak berakibat buruk bagi keduanya. Demikian sambutan Direktur Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Ditjen Bina Upaya Kesehatan, dr. H. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes. dalam acara Sosialisasi Persyaratan Teknis Bidang Sarana dan Prasarana Kesehatan yang diselenggarakan di Jakarta, tanggal 19 Oktober 2012 yang dihadiri oleh Direktur RS atau yang mewakili dan nara sumber dari Kementerian PU, PERSI, Persatuan Insinyur Indonesia dan Praktisi RS.
Tidak dapat dipungkiri bahwa patient safety telah menjadi isu global yang serius. Data WHO menyebutkan bahwa 10% pasien rawat inap di negara maju mengalami cedera, sementara di negara berkembang risiko infeksi 20 kali lebih besar daripada di negara maju. Setiap saat 1.4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi di rumah sakit karena hand hygiene yang tidak cukup. Fakta lain menyebutkan bahwa 50% peralatan medis di negara berkembang tidak dapat digunakan atau hanya sebagian yang bisa dipakai, hal ini terkait juga dengan sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit. Belum lagi terhitung, berapa banyak pasien dan tenaga kesehatan yang terpapar radiasi karena desain ruang radiologi yang tidak benar.
Masih tersimpan di ingatan kita, kasus gas medis di Bengkulu, kasus terbakarnya bayi di dalam incubator, kasus nekrosis akibat kesalahan pemberian radiasi, kasus meledaknya ketel uap, kasus meninggalnya pasien tersengat listrik bocor ketika tengah menjalani operasi, kasus melompatnya pasien dari lantai atas bangunan rumah sakit dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain, yang tidak terekspos atau tertutup untuk diketahui. Apabila hal ini tidak terkelola dengan baik, entah berapa kali sarana pelayanan kesehatan akan menjadi bulan-bulanan media massa, masyarakat yang kritis (LSM) ataupun menjadi sasaran kasus hukum.
Kelengahan ini telah terjadi dari tingkat hulu sampai hilir, dimana desain bangunan dan instalasi di rumah sakitpun belum sepenuhnya mampu mengamankan manusia yang menghuninya. Para konsultan merencanakannya disetarakan dengan bangunan publik pada umumnya, tanpa dipenuhi persyaratan bahwa sebenarnya bangunan-instalasi-peralatan dan penghuni mempunyai korelasi yang erat dari sisi pemenuhan keamanan dalam pelayanan kesehatan.
Semua menyadari bahwa jika pengelolaan layanan kesehatan berbasis patient safety berhasil, selain terpenuhinya tanggung jawab melindungi keselamatan warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan, juga akan dapat merebut akreditasi di tingkat internasional, sebagai bangsa yang bermartabat di bidang kesehatan, sehingga program medical tourism pun akan dapat diraih.
Saat ini telah ditetapkan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 yang terlahir didorong oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin kritisnya masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan. Standar Akreditasi ini diharapkan lebih berkualitas dan menuju standar internasional. Kementerian Kesehatan RI memilih dan menetapkan sistem akreditasi yang mengacu pada Joint Commision International (JCI) selain juga dilengkapi dengan mualtan lokal berupa program prioritas nasional yaitu Millenium Development Goals (MDG’s) meliputi PONEK, HIV dan TB DOTS dan standar-standar yang berlaku di Kementerian Kesehatan RI.
Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 merupakan upaya Kementerian Kesehatan RI untuk menyediakan suatu perangkat yang mendorong rumah sakit senantiasa meningkatkan mutu dan kemanan pelayanan serta dengan penekanan bahwa akreditasi adalah sutu proses belajar, maka rumah sakit distimulasi untuk selalu melakukan perbaikan yang berkelanjutan dan terus-menerus.
Sumber: depkes.go.id
[…] Tidak dapat dipungkiri bahwa patient safety telah menjadi isu global yang serius. Data WHO menyebutkan bahwa 10% pasien rawat inap di negara maju mengalami cedera, sementara di negara berkembang risiko infeksi 20 kali lebih besar daripada di negara maju. Selengkapnya […]