Instalasi Gizi merupakan salah satu unit yang ada di sebuah rumah sakit. Peran instalasi gizi cukup penting karena instalasi tersebut mensupply makanan/ gizi kepada pasien, khususnya pasien rawat inap. Bahkan ada rumah sakit pemerintah yang mensupply gizi/ makanan untuk perawat dan dokter yang bertugas dimalam hari. Pengelolaan instalasi gizi harus dilakukan secara profesional karena pengelolaannya melibatkan banyak pihak yang ada di rumah sakit maupun pihak luar rumah sakit. Berkenaan dengan pihak dalam rumah sakit, berkaitan dengan pengelolaan standar porsi menu, pendistribusian menu, dan lain-lain.
Pengelolaan instalasi gizi menimbulkan biaya. Ada beberapa biaya yang dapat terjadi, yaitu biaya sumber daya manusia, biaya bahan baku makanan, biaya penyusutan aset, biaya penyusutan gedung, biaya pemeliharaan alat dan biaya lainnya. Porporsi maisng-masing biaya bisa berbeda-beda antar-RS. Sebagai contoh, di instalasi gizi sebuah rumah sakit pemerintah komposisi tersebut rerdiri dari biaya SDM sebesar 32,78%, bahan baku makanan 65,94%, penyusutan aset 0,49%, penyusutan gedung 0,12%, pemeliharaan alat 0,02%, dan biaya lainnya 0,66%.
Pada umumnya memang biaya bahan baku memiliki kopmonen paling besar karena terkait dengan kebutuhan pelayanan pada pasien. Makin banyak volume kunjungan pasien di rawat inap, makin besar biaya bahan bakunya. Tingginya proporsi biaya bahan baku ini perlu menjadi perhatian khusus bagi manajemen, karena peluang untuk terjadinya penyimpangan juga lebih tinggi. Tanpa sistem manajemen dan pengendalian yang baik, dapat terjadi potensi pemborosan yang berlanjut pada kerugian yang signifikan. Pemborosan dapat terjadi misalnya akibat penyimpanan yang berlebihan sehingga bahan makanan membusuk atau kadaluwarsa sebelum sempat digunakan. Pemborosan lain pada bahan makanan juga banyak terjadi akibat sisa makanan yang tidak habis dikonsumsi oleh pasien.
Selain dalam hal bahan baku, utilisasi dapur yang rendah juga sudah suatu pemborosan tersendiri. Sesederhana apapun dapur rumah sakit, tentunya menempati areal khusus dengan bangunan tersendiri yang tidak boleh bercampur atau digunakan untuk aktivitas yang lain. Sebagaimana ilustrasi di atas, biaya penyusutan gedung adalah sebesar 0,12%. Biaya penyusutan ini terjadi tanpa memperhatikan apakah dapur RS berproduksi atau tidak. Meskipun proporsinya tidak banyak, namun jika dapur RS tidak produktif biaya penyusutan ini menjadi beban biaya bagi RS secara keseluruhan.
Ada banyak strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemborosan di Instalasi Gizi. Untuk menghemat bahan baku, pengadaan dapat dilakukan secara bertahap dengan perencanaan yang matang. Pengadaan bahan makanan basah dipisahkan dengan bahan makanan kering. Misalnya untuk bahan makanan basah bisa diadakan seminggu sekali dan bahan makanan kering bisa diadakan 3 hingga 6 bulan sekali. Membeli dalam jumlah banyak memungkinkan RS untuk mendapat diskon yang lebih besar dari supplier sehingga bisa menghemat anggaran. Agar bahan makanan yang dibeli sesuai dengan kebutuhan tentunya perlu ada komunikasi dan koordinasi dengan pelayanan klinis. Untuk menghindari over-supply, perhitungan bisa dilakukan berdasarkan jumlah akhir pasien kemarin (setelah visite dokter) ditambah 10%. Untuk mengurangi sisa makanan yang tidak habis dikonsumsi oleh pasien, makanan perlu dihidangkan dengan garnice dan seni penyajian yang baik serta perlu ada evaluasi menu tiap siklus 10 hari. Instalasi Gizi dapat menetapkan indikator mutu pelayanan makanan misalnya sisa makanan maksimal 20% dari jumlah makanan yang disajikan. Makin seidkit makanan sisa, makin baik mutu penyajian makanan.
Biaya penyusutan gedung dan peralatan tidak bisa dikurangi. Biaya ini bahkan bisa bertambah jika ada penambhaan peralatan atau perluasan dapur yang dilakukan untuk mengimbangi peningkatan jumlah volume kegiatan di RS. Namun Instalasgi Gizi dapat diubah menjadi revenue center sehingga tidak lagi menjadi sumber biaya melainkan sebagai sumber pendapatan bagi RS. Caranya adalah dengan mengembangkan inovasi produk, misalnya tidak hanya melayani pasien rawat inap melainkan juga pasien rawat jalan bahkan pengunjung RS melalui kantin, menyediakan snack dan makanan dalam kemasan untuk seluruh kegiatan pertemuan di RS maupun untuk menjamu tamu RS, mengembangkan produk layanan catering untuk pasien dengan diet khusus, bahkan menerima pesanan diet khusus dari RS lain. Dengan meningkatnya produktivitas Instalasi Gizi, maka penghasilan yang diperoleh dapat menutupi biaya yang telah dikeluarkan. RS bahkan bisa mendapatkan surplus dari aktivitas di Instalasi Gizi tersebut. (Husniawan Prasetyo, Putu Eka Andayani, Tri Yuni Rahmanto).