Surabaya. Program SH-PML sudah memasuki awal kegiatan tahun ketiga saat ini. Setelah dua tahun pelaksanaan, telah ada beberapa kemajuan yang diperoleh, namun banyak juga kendala yang belum dapat diatasi. Pertemuan ini dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Prov. NTT dan staf AIPMNH, UGM, serta RS-RS Mitra A akan membahas mengenai hasil tersebut dan solusi yang dapat dilaksanakan di tahun 2013. Angka kematian ibu mengalami penurunan namun angka kematian bayi justru meningkat. Data ini diperoleh dari Audit Maternal dan Perinatal (AMP) yang dilakukan oleh PKMK FK UGM
AMP dilakukan untuk menganalisis problem utama kematian ibu dan bayi, dan dengan demikian kedepannya dapat direncanakan upaya untuk mengatasi hal tersebut. Dr. Rukmono Siswishanto, Koordinator SH-PML RSUP Dr. Sardjito, menjelaskan bahwa perlu ada kesepakatan mengenai indikator dan penetapan standar yang akan digunakan. Keduanya harus ditetapkan oleh Kadinkes Provinsi agar dilaksanakan diseluruh kabupaten dan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Sebagai contoh, bila data menunjukkan bahwa Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) tinggi (> 15 persen) sedangkan fasilitas NICU kurang, maka bisa diprediksi Angka Kematian Neonatal (AKN) akan tinggi. Oleh karena itu, salah satu intervensinya adalah mengadakan fasilitas NICU, sambil mengatasi masalah di bagian hulu (kondisi pra kehamilan, Ante Natal Care hingga sistem rujukan). Rukmono juga menegaskan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan berdasarkan data yang mungkin ada kekurangannya.
Data menunjukkan bahwa lima dari 11 RSUD mengalami penurunan jumlah kematian maternal dan hanya dua RSUD yang mengalami penurunan jumlah kematian neonatal. Sebagian besar kematian bayi tersebut bisa dicegah, dengan cara membenahi fasilitas (50 persen), SDM (33 persen) dan sistem rujukan (17 persen). Hal ini dipaparkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS sebagai koordinator kegiatan SH. Hasil AMP telah memberikan rekomendasi mengenai hal ini, namun sayangnya belum semua rekomendasi (dapat) dilaksanakan dengan segera. Rekomendasi ini terkait dengan upaya untuk membenahi aspek klinis maupun manajemen dari RSUD di NTT.
Menurut Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, ada banyak faktor yang menyebabkan kenaikan jumlah kematian bayi yang meliputi faktor teknis (di hulu dan hilir pelayanan) dan faktor non teknis (adanya konflik internal maupun eksternal RS, faktor kejenuhan melakukan proses perubahan, kepemimpinan yang masih kurang, dan sebagainya). Dr. Stefanus Brian Sera selaku Kadinkes Provinsi NTT menambahkan bahwa program SH-PML ini memang belum bergerak untuk mengintervensi masalah kematian bayi, karena masih fokus pada penanganan kematian ibu.
Melalui hasil monitoring dan evaluasi kegiatan PML, Putu Eka Andayani, SKM, MKes sebagai koordinator melaporkan bahwa baru satu dari sebelas RSUD yang ditetapkan sebagai BLUD. Sebenarnya banyak kendala yang dapat diatasi jika BLUD telah diterapkan. Sebagai contoh, hasil evaluasi SH menunjukkan bahwa kelengkapan obat, pemeriksaan penunjang untuk diagnostik dan ketersediaan oksigen menjadi kendala dalam bidang fasilitas. RSUD akan selalu mengalami kesulitan dalam memenuhi hal ini, karena harus mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003. Jika RSUD telah ditetapkan sebagai BLUD, banyak kebutuhan operasional yang boleh dipenuhi/diadakan sendiri oleh RSUD tanpa harus menunggu mekanisme penganggaran dari Pemda, sehingga banyak kendala operasional pelayanan yang akan dapat diatasi. RS Mitra A bersama dengan RS Mitra B perlu bekerja lebih keras agar hal ini bisa terwujud di tahun 2013.
Selain itu telah terjadi banyak kegiatan perbaikan manajemen yang dilakukan di 11 RSUD, namun belum banyak yang menyentuh masalah kepemimpinan. Faktanya leadership merupakan kunci keberhasilan dari perubahan budaya dan internalisasi prosedur baru di RSUD. Hal senada disampaikan juga oleh Dr. Triharnoto, SpPD, Koordinator Tim RS Panti Rapih, bahwa faktor kepemimpinan ini harus mendapat perhatian lebih. Program apapun yang direncanakan akan sulit dijamin keberlangsungannya jika tidak melibatkan upaya perubahan budaya kerja. Sementara perubahan budaya kerja memerlukan kompetensi leadership yang baik.
Tulisan terkait:
1. Kontinuitas Program Tanpa Anggaran: Mungkinkah?