Remunerasi di Era JKN
TOPIK DISKUSI:
REMUNERASI DI ERA JKN
Pengantar
Pada 3-5 Juni yang lalu, ARSADA menyelenggarakan Rakernas yang dirangkai dengan serial seminar. Salah satu topik menarik pada seminar tersebut adalah Remunerasi di Era JKN. Ada dua kasus yang dibahas pada sesi tersebut, yaitu sistem remunerasi di RSUP Dr. Kariadi (silakan klik disini untuk menonton videonya) dan kasus di RSUD dr. Moewardi Solo (silakan klik disini untuk menyaksikan videonya). Anda juga dapat membaca reportasenya disini. Ada beberapa points yang masih menjadi perdebatan, misalnya apakah residen di RS pendidikan dianggap sebagai peserta didik biasa atau sebagai tenaga kerja? Apakah mereka berhak atau tidak berhak mendapatkan remunerasi? Bagaimana membagi jasa antar-spesialis? Bagaimana honorarium Dewas?
Bagaimana pendapat anda mengenai hal-hal tersebut di atas?
Pada beberapa kesempatan dalam seminar maupun diskusi terkait dengan RS Rujukan, salah satu isu yang hangat untuk dibahas adalah insentif untuk residen. Di negara maju, residen dikelompokkan sebagai tenaga kerja sehingga patut mendapat insentif sesuai dengan kompetensi dan kinerjanya. Namun di Indonesia, meskipun UU sudah memungkinkan hal tersebut pada kenyataannya belum bisa dipraktekkan. Opini ini bahkan dianggap kontroversial. RSUD Kelas B Pendidikan yg sudah BLUD bukan merupakan RS pendidikan utama. Residen memiliki lebih banyak kesempatan untuk menangani pasien sekaligus menikmati proses belajar pada kasus nyata dibandingkan dengan di RS pendidikan utama yang tingkat kepadatan populasi peserta didiknya sangat banyak. Jika residen dianggap tenaga kerja, maka akan muncul kompleksitas baru mengenai cara penghitungan insentifnya di RSUD Kelas B Pendidikan.
Sebelum era JKN, rumah sakit menerapkan tarif berdasarkan suatu perhitungan atau kebijakan tertentu, dimana komponen tarif tersebut setidaknya terbagi dalam 3 kelompok: jasa pelayanan, jasa sarana dan bahan habis pakai. Banyak RS bahkan mencantumkan tarif ini di bill/receipt pasien. Tarif tersebut berlaku untuk setiap pemeriksaan dan tindakan yang diberikan pada pasien. Dari tarif ini RS cenderung lebih mudah menghitung jumlah jasa yang harus dibayarkan pada seluruh staf setiap bulannya (atau per periode tertentu sesuai dengan kebijakan dan situasi keuangan RS yang bersangkutan).
Di Era JKN, tarif didasarkan pada kelompok diagnosis, dimana pemeriksaan dan tindakan tidak lagi terlihat secara hitam di atas putih. Tarif Bedah sesar misalnya tidak lagi memperlihatkan berapa komponen jasa, obat-obatan dan sarana-prasarana. Lebih jauh lagi, tidak terlihat berapa banyak pemeriksaan laboratorium, tindakan anestesi, tindakan pembedahan dan sebagainya, juga pemeriksaan dan tindakan lainnya jika pasien memiliki komplikasi. Ini menyebabkan RS kesulitan dalam melakukan pembagian jasa. Berdasarkan hasil penelitian PKMK FK UGM, ada beberapa kondisi yang relevan dengan masalah remunerasi. Selisih antara pendapatan yang berdasarkan tarif INA-CBGs dengan pendapatan dari kasus serupa saat sebelum era JKN. Misal pada bedah sesar, tarif INA-CBGs berbeda dengan tarif sebelum JKN.
Perbedaan ini menimbulkan perbedaan jumlah uang yang dapat dibagikan sebagai jasa pelayanan. Sebagian RS mengalami selisih minus, artinya pendapatan operasional yang didapat pada sebelum era JKN lebih besar daripada setelah JKN. Dampaknya, nilai jasa yang dibagikan kepada staf RS juga berkurang. Sebagian RS lainnya mengalami selisih plus, namun kelebihan pendapatan ini tetap tidak bisa dibagikan kepada staf RS sebagai jasa pelayanan. Misalnya tarif bedah sesar sebelum JKN adalah Rp 2.500.000 dimana 40%nya (Rp 1.000.000) adalah jasa layanan. Jika pasien menjalani pemeriksaan penunjang tambahan, maka charge kepada pasien akan ditambahkan dengan tarif dari masing-masing pemeriksaan tersebut. Sebagian pendapatan dari pemeriksaan penunjang akan kembali kepada masing-masing tenaga yang terlibat dalam pekerjaan tersebut berupa jasa.
Hal ini berbeda dengan era JKN dimana prosedur persalinan bedah sesar ringan dengan kode O-6-10-I di rawat inap pada RS Kelas B Regional 4, berada pada rentang Rp 4,5 juta hingga Rp Rp6,4 juta. Nilai ini sudah termasuk berbagai pemeriksaan penujang hingga akomodasi pasien sesuai dengan kelas yang menjadi haknya. RS masih harus menentukan formula untuk memilah berapa yang akan dialokasikan untuk jasa sarana, jasa pelayanan maupun BHP.
Kesulitan terbesar terjadi karena kebanyakan RS (jika tidak bisa dikatakan hampir semua) belum pernah melakukan penghitungan unit cost pelayanan BERDASARKAN PAKET DIAGNOSIS. Sebagian RS pernah menghitung unit cost, namun berdasarkan TINDAKAN, bukan kelompok atau paket diagnosis sehingga tentu saja asumsi-asumsi yang digunakan berbeda. Pada akhirnya, ini menimbulkan perdebatan yang berlum berakhir mengenai bagaimana membagi remunerasi diantara para tenaga profesional yang terlibat. Metode penghitungan yang banyak diterapkan saat ini, yaitu berdasarkan indeks, ternyata belum mampu memuaskan rasa keadilan diantara para profesi kesehatan khususnya medis.
Silakan berikan pendapat, bagi pengalaman atau ajukan pertanyaan Anda dalam forum diskusi ini
Ibu dan Bapak,
Topik remunerasi masih hangat dibahas. Walaupun JKN sudah berlangsung lebih dari 16 bulan, remunerasi di rumah sakit masih menjadi bahan diskusi. Bahkan pada tataran konsep, pengembangan sistem remunerasi di rumah sakit masih belum mendapatkan landasan yang kuat. Literatur untuk bahan bacaan sistem remunerasi di rumah sakit tidak semakin berkembang, oleh karena isu ini sudah mulai selesai dibahas di tingkat dunia. Jika kita membuka data base Science-Direct, dan mencari kata kunci “physician payment”, maka hanya ditemukan 1 artikel yang dipublikasi tahun 2015, 2 artikel (2014), dan sisanya dipublikasi tahun-tahun sebelumnya. Jika kita menggunakan kata kunci “hospital remuneration”, maka hasilnya lebih sedikit daripada kata kunci “physician payment”. Ini menunjukkan bahwa diskusi remunerasi sudah mulai berkurang intensitasnya. Bagaimana dengan kita?