Ada perbedaan mendasar antara RS for-profit dengan RS nonprofit. RS for-profit beroperasi dengan menggunakan model bisnis yang berorientasi pada keuntungan finansial jangka pendek maupun jangka panjang. RS for-profit dimiliki dan dikelola oleh swasta (perorangan/kelompok maupun perusahaan) dan fokus pada bagaimana menghasilkan keuntungan bagi para pemilik saham. Sebaliknya, RS nonprofit bekerja berdasarkan kepentingan masyarakat dan membawa misi membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas. RS nonprofit biasanya didirikan dan dikelola oleh yayasan /organisasi/perkumpulan sosial atau keagamaan, yang tidak berorientasi pada keuntungan finansial semata. Sebenarnya RS pemerintah juga memiliki misi nonprofit, yaitu mengutamakan penyediaan layanan yang dapat diakses oleh masyarakat luas dan tidak mengembalikan keuntungan RS kepada pemilik. Namun ada yang memisahkan pengelompokkan antara RS nonprofit milik swasta dengan yang dikelola oleh pemerintah, dengan alasan perbedaan kepemilikan dan tata kelola.
Mengapa ada RS nonprofit?
Menurut data American Hospital Association, tahun 2023 ada 6.129 RS dan 2.978 diantaranya merupakan RS nonprofit. Di negara ini, RS nonprofit memiliki sejarah panjang dalam menyediakan pelayanan kesehatan termasuk bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu membayar. Oleh karenanya, pemerintah Amerika membuat kebijakan untuk mengecualikan beberapa jenis pajak bagi RS nonprofit, antara lain pajak pendapatan dan pajak properti. Artinya, RS nonprofit tidak memiliki kewajiban membayar beberapa jenis pajak tersebut. Sebuah laporan menyebutkan RS nonprofit dapat menghemat pengeluaran pajak sampai dengan USD 11,5 juta per tahun per RS, tergantung pada kebutuhan dalam menyediakan layanan sosial bagi komunitasnya. Selain itu, RS nonprofit juga mendapat kemudahan untuk mengakses pendanaan dari berbagai aktivitas filantropi maupun bantuan dari pemerintah, mengajukan keringanan atau penghapusan pajak lainnya, serta beragam fasilitas lainnya. Sebagai gantinya, RS nonprofit diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kesehatan komunitas. Program-program yang umumnya dilakukan oleh RS nonprofit sebagai bentuk kontribusi antara lain berpartisipasi dalam intervensi faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat (misalnya akses terhadap air bersih, perumahan yang aman, nutrisi, bahkan pendapatan), pengembangan tenaga kerja, pelatihan kepemimpinan untuk anggota dan tokoh masyarakat, advokasi untuk peningkatan kesehatan masyarakat, membangun koalisi multi-pihak, mengembangkan ekonomi setempat, program perbaikan lingkungan, hingga perbaikan fisik pada fasilitas publik lainnya.
Keberadaan RS nonprofit (atau disebut juga sebagai RS nirlaba) di Indonesia juga memiliki sejarah panjang. Pada era Penjajah Belanda sekelompok dokter pribumi mendirikan klinik kesehatan untuk melayani penduduk miskin dan rakyat jelata yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, juga banyak organisasi keagamaan yang kemudian mendirikan klinik dan rumah sakit untuk tujuan kemanusiaan. Berbagai klinik dan RS ini tidak mengenakan tarif tinggi, bahkan menggratiskan biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu. Sumbangan pribadi maupun hasil kegaitan filantropi yayasan/perkumpulan menjadi salah satu sumber pendanaan yang signifikan untuk menjaga keberlangsungan operasional mereka. Di era kemerdekaan, berbagai RS tersebut ada yang kemudian dikelola dan menjadi milik pemerintah, ada yang tetap menjadi milik yayasan swasta. Data dari rsonline menunjukkan pada pertengahan 2022 terdapat 3.124 RS, dimana 1,697 diantaranya merupakan RS publik. Namun berbeda dengan di AS, di Indonesia UU tidak mengatur adanya insentif dari pemerintah untuk rumah sakit publik. Bahkan, UU tidak membedakan hak dan kewajiban RS privat dengan RS publik.
Perubahan nature of business RS nonprofit
Kelangsungan hidup RS nonprofit sangat tergantung pendapatan yang diperoleh dari pelayanan pada pasien maupun sumbangan-sumbangan/filantropi. Di Amerika, pendapatan RS nonprofit digunakan untuk menutup biaya investasi, biaya operasional, serta untuk pengembangan SDM. Sementara itu, biaya (cost) pelayanan kesehatan terus meningkat, salah sebab utamanya adalah kenaikan harga obat-obatan seiring dengan perilaku industri farmasi yang berupaya untuk terus meningkatkan profit. Kenaikan biaya tersebut bahkan membuat cost beberapa jenis obat setara dengan gaji sebulan lebih dari 55 orang perawat full-time di rumah sakit.
RS nonprofit merespon dampak dari tingginya cost dengan bermacam cara. Berbagai publikasi yang terbit antara 2021-2023 menyebutkan bahwa RS-RS nonprofit kedapatan mulai memburu keuntungan dengan berbagai cara. Para eksekutif RS nonprofit berusaha menarik pendapatan dari pasien miskin yang seharusnya mendapat perlindungan sosial, meningkatkan efisiensi dengan mengurangi jumlah staf besar-besaran (yang berdampak pada penurunan mutu pelayanan dan perlindungan kerja karyawan), serta memberikan perlakuan istimewa kepada para donatur, wali amanat, dan keluarganya, dibandingkan dengan fokus pada pelayanan tanpa diskriminasi ke pasien. Kegiatan dan alokasi sumber daya RS nonprofit untuk program sosial di komunitas semakin sedikit dibandingkan dengan yang dilakukan oleh RS for-profit. Bahkan RS nonprofit telah tumbuh menjadi bisnis besar dengan banyaknya aksi akuisisi berbagai RS dan praktik dokter spesialis, demi mengumpulkan sumber-sumber pendapatan dan meningkatkan keuntungan. Hal ini kemudian berdampak pada semakin tidak terjangkaunya pelayanan di RS nonprofit bagi masyarakat dari kalangan miskin.
Di Indonesia, RS publik juga menghadapi berbagai tekanan, termasuk semakin tingginya cost pelayanan. Sementara itu, UU tentang pajak tidak mengistimewakan RS publik sebagai lembaga yang berhak mendapat insentif pajak, sedangkan pendapatan dari donasi semakin berkurang bahkan hilang. Ini menyebabkan RS publik bergantung sepenuhnya pada pendapatan dari pasien, sehingga memaksa mereka mengembangkan strategi untuk memenangkan persaingan (aggresive) atau bertahan (defense). Berbagai tekanan direspon dengan memangkas biaya-biaya (misalnya dengan menerapkan strategi efisiensi) atau investasi baru untuk mengembangkan inovasi sebagai sumber-sumber pendapatan baru. Dalam jangka panjang banyak RS publik yang mulai kehilangan kemampuan untuk sekedar bertahan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 2012 terjadi penurunan jumlah RS publik yang dikelola swasta nonprofit sebesar 2,74%. Sebaliknya, RS privat tumbuh sebesar 11,9%, dibandingkan RS milik pemerintah yang tumbuh hanya sebesar 5,95%. Ini menunjukkan bahwa mengelola RS sebagai entitas privat lebih menjanjikan pertumbuhan jangka panjang dibandingkan sebagai entitas publik. Meskipun menyandang status sebagai RS publik, namun karena ekosistem dan kebijakan yang dihadapi sama dengan RS privat strategi dan taktik yang dikembangkan RS publik serupa dengan RS privat dalam menghasilkan pendapatan.
Masih banyak RS nonprofit yang mencantumkan sifat nirlaba dalam penyataan misinya, meskipun pada praktiknya RS-RS ini sama kompetitifnya dengan RS privat. RS pemerintah juga tidak bebas tekanan finansial. RS BLU (vertikal) dan BLUD (milik pemerintah daerah) didorong untuk mengembangkan pelayanan bagi segmen pasar non-JKN untuk menggali pendapatan dari masyarakat. Ini membutuhkan strategi yang sangat berbeda dan alokasi sumber daya tertentu karena artinya RS-RS tersebut perlu masuk ke pasar bebas, yang kompetisinya tidak hanya dibatasi di dalam negeri tetapi juga dengan operator-operator luar negeri.
Bagaimana Keberadaan RS Nonprofit di masa Mendatang?
Keunggulan kompetitif, tekanan finansial, dan sistem operasional yang dulu membedakan antara RS for-profit dengan RS nonprofit kini menjadi semakin tidak jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah RS nonprofit masih dibutuhkan keberadaannya. Ada pendapat bahwa untuk setting seperti sistem kesehatan di Amerika Serikat, sebaiknya kebijakan mengenai penggunaan pajak diserahkan kembali kepada para pemilih (voters). Artinya, masyarakat yang menentukan apa yang mereka butuhkan dan bagaimana RS nonprofit mewujudkannya sesuai dengan insentif pajak yang sudah mereka terima.
Menurut sebuah artikel opini di Harvard Public Health, sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa diperlukan adanya kemitraan antara Departemen Kesehatan Masyarakat dengan RS nonprofit untuk meningkatkan alokasi anggaran RS nonprofit pada upaya kesehatan masyarakat. Kemitraan ini juga akan meningkatkan efektivitas program-program kesehatan masyarakat yang mereka lakukan.
Di Indonesia, keterlibatan swasta sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, termasuk meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan rujukan. Saat pandemi COVID-19 terjadi, keterlibatan operator swasta – privat maupun publik – sangat penting dalam keberhasilan pemerintah mengatasi bencana tersebut. Demikian juga, penjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di pulau-pulau dan pesisir sungai yang jauh dari pusat-pusat pelayanan kesehatan pemerintah, sangat terbantu dengan adanya RS bergerak yang dioperasikan oleh lembaga swasta nonprofit. Pelayanan ini bukan sumber pendapatan yang menarik, di sisi lain pemerintah kekurangan sumber daya untuk melaksanakannya. Artinya, keberadaan RS publik – termasuk swasta – dibutuhkan untuk memeratakan akses pelayanan. Keterbatasan sumber daya pemerintah dapat diatasi dengan meningkatkan engagement operator swasta nonprofit pada berbagai upaya kesehatan untuk mengisi area-area yang tidak menarik bagi operator swasta for-profit.
Namun, diperlukan kebijakan dan strategi khusus untuk menjaga keberlangsungan pelayanan RS nonprofit, khususnya yang diselenggarakan oleh operator swasta. Sejak lebih dari satu dekade lalu, upaya advokasi untuk memberikan insentif pajak bagi RS publik milik swasta sudah diupayakan, baik oleh kelompok asosiasi RS nonprofit maupun kalangan akademisi. Namun tampaknya hingga saat ini, upaya tersebut belum menunjukkan hasil. Belum ada kebijakan pemerintah untuk memotivasi munculnya RS-RS nonprofit baru guna mengisi kekosongan pelayanan yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah juga dapat memotivasi RS nonprofit dengan berbagai strategi lain, misalnya mempermudah perizinan, membantu penempatan tenaga profesional kesehatan, memasukkannya dalam regulasi yang mengatur RS rujukan penyakit prioritas, dan sebagainya. Di Jerman, pemerintah membantu pelaksanaan kajian pendirian RS baru (feasibility study) untuk RS swasta (termasuk RS for-profit), dengan logika RS yang akan didirikan tersebut akan membantu meningkatkan akses penduduk Jerman terhadap fasilitas kesehatan rujukan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengembangkan indikator-indikator kinerja RS swasta nonprofit penerima insentif atau bantuan pemerintah. Indikator dapat disusun sesuai dengan program prioritas, yang disusun bersama antara RS swasta nonprofit dengan dinas kesehatan setempat, dalam rangka mengatasi masalah kesehatan masyarakat dan mencapai tujuan pembangunan kesehatan daerah maupun nasional. RS swasta nonprofit dapat dilibatkan dalam program peningkatan kapasitas masyarakat dalam pencegahan penyakit, program nutrisi untuk mencegah stunting, program pencegahan penyakit tidak menular, dan sebagainya. (PEA)
Referensi
Ashley Kirzinger, Alex Montero, Grace Sparks, Isabelle Valdes, and Liz Hamel. Public Opinion on Prescription Drugs and Their Prices. https://www.kff.org/health-costs/poll-finding/public-opinion-on-prescription-drugs-and-their-prices/ Aug 21, 2023.
Derek Jenkins and Vivian Ho. Nonprofit Hospitals: Profits And Cash Reserves Grow, Charity Care Does Not. healthaffairs.org. June 2023. https://doi.org/10.1377/hlthaff.2022.01542
Ethan Popowitz .What is the difference between nonprofit and for-profit hospitals? https://www.definitivehc.com/blog/the-difference-between-non-profit-and-for-profit-hospitals
Mykyta L, Cohen RA. Characteristics of Adults Aged 18-64 Who Did Not Take Medication as Prescribed to Reduce Costs: United States, 2021. NCHS Data Brief. 2023 Jun;(470):1-8. PMID: 37314379.
Katy Milani and Devin Duffy. Profit Over Patients: How the Rules of Our Economy Encourage the Pharmaceutical Industry’s Extractive Behavior. February 2019. https://rooseveltinstitute.org/wp-content/uploads/2020/07/RI_Profit-Over-Patients_brief_201902.pdf
Nicole Rapfogel and Emily Gee. How nonprofit hospitals can support communities and advance public health. https://www.americanprogress.org/article/nonprofit-hospitals-can-support-communities-advance-public-health/
Perdhaki. Rumah Sakit Nirlaba, Mampukah Bertahan di Era Globalisasi dan Liberalisasi? 10 Oktober 2013. https://perdhaki.org/2013/10/10/rumah-sakit-nirlaba-mampukah-bertahan-di-era-globalisasi-dan-liberalisasi/
Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro. Menuju Kebijakan Pajak yang Lebih Adil untuk RS Nirlaba. Policy Brief No. 12. Agustus 2010. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM. https://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/policy/PB%2012.pdf
Tarini Sharma. Why Are Nonprofit Hospitals Focused More on Dollars Than Patients? The New York Times. Nov. 30, 2023. https://www.nytimes.com/2023/11/30/opinion/hospitals-nonprofit-community.html
Tatiane Santos. Nonprofit hospitals are sitting on $14 billion. Let’s spend it on public health. May 2, 2023. https://harvardpublichealth.org/equity/nonprofit-hospitals-miss-the-mark-on-community-benefit-spending/
Will Maddox. Should We Still Have Nonprofit Hospitals? June 29, 2021. https://www.dmagazine.com/healthcare-business/2021/06/should-we-still-have-nonprofit-hospitals/