Berdasarkan definisi yang tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (1), alat kesehatan adalah instrumen, apparatus, mesin, peralatan, implan, reagen dan kalibrator in vitro, perangkat lunak, serta material atau sejenisnya yang digunakan pada manusia untuk tujuan medis dan tidak mencapai kerja utama melalui proses farmakologi, imunologi, atau metabolisme. Sedangkan menurut WHO (2), alat kesehatan meliputi instrumen, apparatus, implement, mesin, alat, implant, reagan, untuk penggunaan in vitro, perangkat lunak, material yang diproduksi untuk digunakan secara tersendiri atau kombinasi untuk kemaslahatan manusia dengan satu atau lebih tujuan medis, mulai dari keperluan pencegahan, diagnosis, perawatan, rehabilitatif hingga monitoring, termasuk tindakan-tindakan desinfeksi.
Per 30 Juni, Indonesia tercatat memiliki penduduk yaitu 269.583.016 jiwa. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI (3), terdapat 2.925 rumah sakit, baik rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus, dan 9.993 Pusat Kesehatan Masyarakat yang berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat (4). Jumlah rumah sakit umum dan khusus terus meningkat setiap tahun. Ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah tempat tidur rawat inap dan kebutuhan alat kesehatan untuk memenuhi kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) selama penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sejauh ini, produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan alat kesehatan di Indonesia. Diketahui bahwa sekitar 90% alat kesehatan yang dijual di Indonesia saat ini masih berasal dari impor (5). Dari 3.865 sarana produksi kefarmasian dan alat kesehatan, hanya 317 yang membuat alat kesehatan, menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019 (6). Peraturan yang ketat telah dibuat oleh pemerintah untuk mengawasi peredaran alat kesehatan yang sangat besar di Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2017 membagi alat kesehatan menjadi tiga kategori: alat kesehatan, alat kesehatan diagnostik in vitro, dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT).
Kebutuhan dan dorongan teknologi mendorong inovasi alat kesehatan yang sangat cepat. Dua komponen penting dalam life-cycle alat kesehatan adalah desain dan pengembangan. Dalam konteks alat kesehatan, lifecycle alat kesehatan adalah proses terus menerus dari mengembangkan ide-ide baru, memproduksinya dalam skala industri, dan kemudian menjualnya. Lifecycle akan memastikan bahwa alat kesehatan tersebut memiliki nilai untuk industri dan pasien. Jadi, alat kesehatan tersebut tidak boleh membahayakan pasien, tenaga kesehatan profesional, atau orang lain. Selain itu, kualitas, jangka waktu penggunaan, dan biaya harus dijamin (7). Pemerintah sebagai regulator harus secara ketat mengawasi life-cycle alat kesehatan berdasarkan bukti ilmiah (scientific evidence). Bukti ilmiah harus mencakup tujuan penggunaan alat, keuntungan dari penggunaan alat yang tepat, dan risiko yang terkait dengan penggunaan yang tidak tepat (8).
Proses hilirisasi sangat penting untuk pertumbuhan dan peningkatan produksi alat kesehatan dalam negeri. Upaya untuk menghasilkan produk dalam jumlah yang dibutuhkan dengan biaya yang paling efektif dikenal sebagai hilirisasi, yang juga dikenal sebagai produksi berskala besar yang diukur dari hasil penelitian. Sayangnya, kondisi tersebut tidak dapat dicapai hanya dengan satu cara (9). Sampai ke hilir adalah proses yang kompleks yang melibatkan banyak elemen. Industri farmasi di negara maju telah lama menyadari bahwa sekitar 80% dari temuan laboratorium penelitian tidak dapat direplikasi di laboratorium industri dengan metode yang sama. Bayer mengatakan bahwa hanya 20-25% dari temuan penelitian akademik dapat direplikasi oleh tim internal mereka, dan Amgen menemukan bahwa hanya 11% dari temuan penelitian akademik dapat direplikasi di laboratorium industri (10).
Tidak ada hubungan yang kuat antara aktivitas riset di institusi pendidikan, pemerintah, dan bisnis di Indonesia, yang menghalangi hilirisasi hasil penelitian dan inovasi teknologi yang bertujuan untuk mengatasi masalah sektoral seperti pangan, energi, dan kesehatan. Kolaborasi ketiga lembaga tersebut secara teoritis disebut sebagai lembaga triple helix, atau konsep Akademisi, Bisnis, Pemerintah (ABP). Tujuan dari konsep triple helix adalah mengembangkan produk atau aplikasi teknologi baru melalui restrukturisasi dan penguatan organisasi untuk mendorong inovasi (11).
Dalam konsep triple helix, institusi memiliki peran yang berbeda, menurut Etzkowitz (2018). Dalam kerja sama triple helix, pemerintah berperan lebih sebagai moderator daripada pemegang kontrol yang berusaha memastikan inovasi teknologi berjalan dengan lancar. Universitas dan institusi akademik berfungsi sebagai “pemain kritis” dalam proses pengembangan pengetahuan dan peningkatan inovasi teknologi. Industri berperan dalam pengembangan sosial-ekonomi.
Di Indonesia, ide triple helix digunakan berdasarkan model kombinasi. Industri dan universitas juga diawasi dan diatur oleh pemerintah. Sesuai dengan pedoman yang dimiliki masing-masing komponen, universitas dan industri tetap memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan melaksanakan proyek penelitian dan industrialisasi secara internal. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menetapkan peraturan yang akan membantu meningkatkan TRL hasil penelitian dan inovasi teknologi serta meringankan beban industri yang terlibat dalam hilirisasi hasil penelitian. Peraturan seperti Permenkes Nomor 86, 87, dan 88 Tahun 2013, Instruksi Presiden nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, dan Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 mengenai Rencana Aksi Pengembangan Farmasi dan Alat Kesehatan (12). Peraturan-peraturan tersebut ditujukan kepada universitas dan industri agar mengambil langkah-langkah yang sesuai tupoksi dan kewenangan untuk mendukung percepatan pengembangan hilirisasi farmasi dan alat-alat kesehatan dengan tujuan 1) menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; 2) meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan; 3) mendorong penguasaan teknologi dan inovasi; 4) mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi (Fajrul Falah, MPH).
Daftar Pustaka
(1) Presiden Republik Indonesia, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, Jakarta.
(2) World Health Organization, 2020, Medical Device – Full Definition, diakses dari website.
(3) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diakses dari http://sirs.yankes.kemkes.go.id.
(4) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019, Data Dasar Puskesmas, diakses dari website.
(5) Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Aplikasi Info Alat Kesehatan dan PKRT, diakses dari website.
(6) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020, Profil Kesehatan Alat Kesehatan Indonesia 2019, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
(7) Rinastiti M. dkk. 2021. Dari Hulu ke Hilir: Perjalanan Sebuah Alat Kesehatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
(8) Fiedler, BA dan David Y, 2017 Reframing Product life Cycle for Medical Devices dalam Beth Ann Fiedler (ed.), Managing Medical Devices within a Regulatory Framework, Elsevier, Amsterdam.
(9) Waddington RJ. Sloan AJ. Tissue Engineering and Regeneration in Dentistry. John Wiley & Sons. Ltd. 2017. DOI: 10.002/9781119282181.
(10) Levin, Leonard. (2019). The academic-industrial complexity. Acta Ophthalmologica. 97. 10.1111/j.1755-3768.2019.8213.
(11) The Triple Helix: University-Industry-Government Innovation and Entrepreneurship. Routledge. New York; 2018.
(12) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Farmasi dan Alat Kesehatan.