Community of Practice for Health Equity
Dengan angka kejadian penyakit kanker yang mencapai 136.2 per 100.000 penduduk, Indonesia menempati urutan ke-8 angka kejadian penyakit kanker tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1.79 per 1000 penduduk pada tahun 2018, dan beban penyakit kanker akan terus meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari data Globocan, diperkirakan ada 366.875 kasus baru kanker di tahun 2020 dengan 239.030 kematian. Di tahun 2030, diperkirakan ada 489.802 kasus baru kanker dengan 334.749 kematian.
Beberapa penelitian telah menemukan asosiasi antara faktor-faktor sosioekonomi dengan angka kejadian penyakit kanker. Penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah berisiko lebih tinggi terpapar faktor risiko kanker. Sebagai contoh, penduduk dari negara-negara dengan penghasilan rendah cenderung memiliki tingkat kanker lebih tinggi terkait infeksi, seperti kanker serviks dari HPV, dibanding negara-negara berpenghasilan tinggi. Tingkat merokok juga menurun di negara berpenghasilan tinggi. Selain itu, penduduk pada negara berpenghasilan rendah atau penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah kesulitan mendapatkan akses terhadap fasilitas preventif kanker, contohnya fasilitas edukasi mengenai kanker, skrining dan diagnosis dini.
Faktor sosial ekonomi juga mempengaruhi prognosis dari kanker. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara keadaan sosial ekonomi yang rendah dengan peningkatan tingkat kematian dari penyakit kanker. Ketimpangan terkait social determinants of health, seperti ras dan etnis, lokasi geografis, pekerjaan, gender, kepemilikan asuransi, dan tingkat pendidikan mempengaruhi apakah seseorang akan mendapatkan penanganan atau pengobatan yang tepat waktu dan efektif. Ketimpangan dalam pengobatan kanker juga disebabkan oleh kurangnya operasionalisasi data skrining dan perawatan pada masyarakat yang paling membutuhkan, diantaranya mereka dengan tingkat sosial ekonomi rendah, ras minoritas, penduduk lansia, dan lain-lain.
Di Indonesia, fasilitas dan tenaga ahli spesialis kanker masih kurang memadai dibandingkan dengan tingginya angka kejadian penyakit kanker. Sampai saat ini, hanya ada dua rumah sakit khusus kanker di Indonesia. Karena keterbatasan fasilitas dan tenaga medis spesialistik di bidang kanker pun, sistem rujukan dan penggunaan BPJS untuk pengobatan kanker masih kurang maksimal. Beberapa pasien BPJS dilaporkan mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan terkait pengobatan kanker, contohnya terjadinya keterlambatan penanganan karena sistem rujukan yang panjang dan tidak tersedianya sarana transportasi umum untuk menjangkau rumah sakit rujukan atau tidak tersedianya fasilitas dan obat yang memadai. Tantangan lain di Indonesia adalah adanya fragmentasi pelayanan kesehatan, sehingga diperlukan adanya perhatian lebih dalam akses pelayanan penyakit kanker pada daerah-daerah rural. Terlebih lagi, menurut data Riskesdas 2018, sebanyak 24,1 persen penanganan kanker masih dengan pengobatan selain pembedahan/operasi, kemoterapi, atau radiasi. Meskipun teknologi pengobatan kanker sudah maju, banyak pasien yang semata-mata memercayai pengobatan kanker non-medis yang tidak disertai bukti ilmiah yang kuat. Maka dari itu, edukasi masyarakat mengenai akses pelayanan penyakit kanker sangat diperlukan, terutama untuk pasien dengan tingkat sosial ekonomi rendah.
Ada beberapa inovasi dalam pengobatan kanker, yaitu penggunaan telehealth atau telemedicine dan personalized medicine. Telehealth memiliki potensi untuk memerangi ketimpangan pada akses terhadap fasilitas pelayanan penyakit kanker dan tenaga medis spesialis. Namun, sebelum itu, kesenjangan infrastruktural terkait akses dan literasi teknologi pada kelompok masyarakat tertentu harus diperbaiki sehingga seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses telemedicine. Inovasi selanjutnya adalah pengembangan personalized medicine, yaitu suatu manajemen berdasarkan informasi genotipe dari pasien, sehingga bisa dilakukan evaluasi untuk mengetahui pengobatan yang cocok untuk pasien. Namun, teknologi ini masih belum tersedia bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga untuk memaksimalkan potensi dari personalized medicine, diperlukan adanya peran pemerintah dalam analisis manfaat biaya dan pembentukan standardisasi penggunaan personalized medicine.
Terakhir, kerja sama antar pemerintah dan stakeholders terkait sangat penting dalam memerangi kesenjangan yang dialami oleh beberapa kelompok masyarakat. Saat ini, pemerintah dan stakeholders telah meningkatkan upaya edukasi masyarakat dalam menghindari faktor risiko kanker dan cara-cara sederhana untuk deteksi dini kanker. Selanjutnya, pemerintah dan stakeholders dapat bekerja sama untuk memperbaiki kesenjangan struktural yang menghambat penatalaksanaan pelayanan medis penyakit kanker pada kelompok masyarakat tertentu. (Giovanna Renee Tan)
Referensi
Tirto id. (25 Desember 2019). Indonesia Siap Akses Imunoterapi, Harapan Baru Pasien Kanker. Dari: https://tirto.id/indonesia-siap-akses-imunoterapi-harapan-baru-pasien-kanker-eosz (Diakses pada 25 Oktober 2020).
Mandelblatt, J.S., Yabroff, K.R., Kerner, J.F., n.d. Equitable access to cancer services 13.
McCanney, J., Johnson, T., Bandini, L.A.M., Chambers, S., Bonar, L., Carlson, R.W., 2019. Advocating for Equity in Cancer Care. Journal of the National Comprehensive Cancer Network 17, 1043–1048. https://doi.org/10.6004/jnccn.2019.7339
Kompas. (5 Februari 2020). Fasilitas untuk Pengobatan Kanker di Indonesia Masih Minim. Dari: https://sains.kompas.com/read/2020/02/05/190400423/fasilitas-untuk-pengobatan-kanker-di-indonesia-masih-minim (Diakses pada 25 Oktober 2020).
Kompas. (18 Februari 2020). Kematian Akibat Kanker Makin Meningkat di Negara Berpenghasilan Rendah. Dari: https://lifestyle.kompas.com/read/2020/02/18/075608220/kematian-akibat-kanker-makin-meningkat-di-negara-berpenghasilan-rendah (Diakses pada 25 Oktober 2020).
The Economist Intelligence Unit (EIU). (9 Oktober 2020). Navigating the Next Frontier of Precision Medicine Oncology. Perspectives from The Economist Intelligence Unit (EIU). Dari: https://eiuperspectives.economist.com/healthcare/navigating-next-frontier-precision-medicine-oncology (Diakses pada 25 Oktober 2020).
Ayo Jakarta. (2019). Beban Penyakit Kanker Meningkat, BPJS Kesehatan Diharapkan Tingkatkan Kualitas Penatalaksanaan. Dari: https://www.ayojakarta.com/read/2019/07/16/2375/beban-penyakit-kanker-meningkat-bpjs-kesehatan-diharapkan-tingkatkan-kualitas-penatalaksanaan (Diakses pada 25 Oktober 2020).
Institute of Resource Governance and Social Change. (6 September 2018). Sakitnya BPJS Kesehatan dan Derita Pasien. Dari: http://irgsc.org/index.php/2018/09/06/sakitnya-bpjs-kesehatan-dan-derita-pasien-kanker/ (Diakses pada 25 Oktober 2020).
Tabernero, J. (2015). Proven efficacy, equitable access, and adjusted pricing of anti-cancer therapies: no ‘sweetheart’ solution. Annals of Oncology 26, 1529–1531. https://doi.org/10.1093/annonc/mdv258