Seminar ini dibuka oleh Dekan FK UGM yang baru saja dilantik, yaitu Prof. DR. Dr. Teguh Ariandono, SpB(K) Onk. Dalam sambutannya Prof. Teguh menyampaikan selamat atas ulang tahun MMR yang ke-20 yang telah ikut berpartisipasi dalam memberikan berbagai sumbangsih terhadap dunia perumahsakitan di Indonesia. Seminar ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari pengelola RS pemerintah maupun swasta, asuransi kesehatan, hingga unsur pemerintah, dimana sebagian besar dari mereka adalah alumni MMR. Seperti yang telah dijadwalkan, sesi awal dibuka dengan topik-topik yang merangkum isu perkembangan ilmu manajemen RS dan bagaimana benchmark dari negara lain (Jerman).
Prof. Dr. Adi Utarini, PhD sebagai ketua minat MMR memaparkan bahwa usia 20 tahun bukanlah usia yang panjang untuk sebuah organisasi. Namun diusia yang masih sangat muda ini, MMR mencoba untuk selalu berupaya menggunakan bukti (evidence) sebagai basis pengembangan kurikulumnya, tidak terkecuali saat ini. Die untuk menjadikan patient-centered sebagai acuan utama mengembangkan modul-modul perkuliahan bukan datang begitu saja, melainkan dengan memperhatian berbagai researchs di dalam maupun luar negeri, termasuk yang dihasilkan oleh alumni MMR.
Lebih dari itu, Prof. Uut – demikian sapaan akrabnya – menekankan bahwa para pengelola RS perlu melihat dari perspektif pasien, atau membayangkan diri sendiri menjadi pasien, untuk bisa memahami apa kebutuhan mereka dan menjadi organisasi yang fokus pada pasien. Para manajer harus bisa menyiapkan sistem yang memungkinkan seluruh komponen di RS, termasuk klinisi, untuk bekerja dan memusatkan perhatian pada pasien. Semua harus bisa berpikir bahwa pasien yang sedang ditangani adalah satu-satunya pasien yang ada sehingga benar-benar fokus, serta tidak membuat keputusan tanpa melibatkan pasien (no decision for me without me). Oleh karena itu, kurikulum di MMR dibangun atas dasar pola pikir ini dengan harapan para manajer yang dihasilkan memiliki kompetensi yang baik untuk membangun sistem manajemen RS yang berfokus pada pasien.
Perbandingan dari Jerman disajikan oleh Prof. Jochen Breinlinger O’Reilly (ahli Ekonomi Kesehatan, dosen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Hukum Berlin) bersama dengan Frank Diebel, MA (Peneliti Senior di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Hukum Berlin). Di Jerman isu mengenai patient safety baru dibahas tahun 2005 (7 tahun lalu), jadi sebenarnya belum terlalu lama. Saat itu Kemenkes menanggapi isu ini dan kemudian terbentuklah koalisi yang terdiri dari berbagai unsur, RS pemerintah dan swasta, organisasi profesi, serta berbagai asosiasi yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Koalisi ini kemudian membentuk working group yang kemudian menghasilkan berbagai standar dan pedoman untuk patient safety, misalnya mencegah operasi pada sisi yang salah.
Perkembangan selanjutnya terjadi dengan munculnya ide untuk mengembangkan pendekatan yang berbeda untuk lebih mengintensifkan implementasi patient safety di RS, yaitu dengan sertifikasi. Muncullan lembaga bernama KTQ (Kooperation für Transparenz und Qualität atau Kerjasama untuk Transparansi dan Kualitas (Pelayanan Kesehatan)) yang shareholdernya terdiri dari berbagai unsur, yaitu asosiasi asuransi kesehatan, asosiasi profesi medis, federasi rumah sakit, konsil perawat dan asosiasi dokter Jerman.
Dari sekitar 2000 RS yang ada di Jerman, hingga saat ini 550 diantaranya telah tersertifikasi oleh KTQ. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Jerman tidak mengharuskan semua RS tersertifikasi, namun hanya diharuskan memiliki sistem manajemen mutu yang baik. Untuk itu, pemerintah telah memiliki standar tersendiri dan melakukan pengawasan yang ketat, sehingga meskipun tidak tersertifikasi mutunya telah dapat dijamin oleh pemerintah. Sertifikasi cenderung untuk meningkatkan prestise rumah sakit yang bersangkutan, karena jika telah tersertifikasi artinya RS telah mendapat pengakuan dari lembaga yang kompeten untuk menilai mutu pelayanannya.
Sistem yang ada di KTQ dikembangkan memakai Deming Cycle, yaitu PDCA sebagai basis untuk menyusun kriteria dan pertanyaan. Seluruhnya ada 6 kategori, 25 sub kategori, 63 kriteria dimana 6 diantaranya merupakan kriteria inti, dan sangat pertanyaan. Ada pertanyaan yang menyangkut masalah „Plan“, „Do“, „Check“ and „Action“ yang seluruhnya sangat ketat untuk memastikan mutu, patient safety dan hygiene. Sebagai contoh, kategori No. 3 khusus mengenai safety. Kategori ini memiliki beberapa sub kategori, diantaranya safety and security system dan patient safety. Safety and security system memiliki beberapa kriteria, diantaranya yang menjadi core criterias adalah occupational safety dan fire protection. Sub kategoripatient safety juga memiliki beberapa kriteria, diantaranya ada yang sifatnya core criteria yaitu management of medical emergencies, hygiene management, hygiene relevant data, management of infection, drugs, blood components, dan sebagainya.
KTQ tidak menggunakan istilah surveyor atau asesor untuk orang yang bertugas melakukan pengumpulan data, namun visitor. Dengan istilah ini, KTQ memegang prinsip bahwa yang mengumpulkan data berada pada posisi sebagai peer terhadap RS, dan diharapkan prosesnya akan berjalan secara lebih sebagai proses pembelajaran, bukan judgement. Visitor terdiri dari 3 orang, yaitu medis, perawt dan manajemen. Katalog KTQ yang berisi daftar pertanyaan dijual secara bebas, setiap RS boleh memiliki dan bisa secara proaktif melakukan self assessment berdasarkan katalog tersebut. RS juga bisa berkonsultasi dengan RS lain yang sudah disertifikasi oleh KTQ secara bebas, tidak harus dengan KTQ atau visitor yang telah dilatih oleh KTQ. Informasi lebih lanjut mengenai KTQ dapat diakses di web KTQ.
Pembicara selanjutnya adalah Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD sebagai salah satu orang yang sangat berperan dalam pendirian dan pengembangan MMR. Prof. Laksono menuturkan bahwa di universitas lain istilah manajemen tidak boleh digunakan di FK. Oleh karena itu, FK UGM berterima kasih pada FE (kini FEB) karena telah boleh menggunakan istilah ini di lingkungan FK untuk mengembangkan program studi MMR. Ini merupakan kerjasama dan kolaborasi yang sangat baik antara ilmu sosial dengan ilmu-ilmu kedokteran. Oleh karena itu saat ini ilmu manajemen tidik saja dipakai di Program Studi IKM, namun juga di program pendidikan dokter, perawat, hingga dokter spesialis di FK UGM.
Prof. Laksono juga menegaskan bahwa selama ini telah terjadi salah kaprah dimana residen dianggap sebagai mahasiswa. Sesungguhnya residen merupakan tenaga kerja (house staff) profesional yang andal atau dapat diandalkan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Maka tahun 2010 IKM mulai mengembangkan modul-modul manajemen untuk pendidikan di level residen. Saat ini keilmuan manajemen dan kebijakan kesehatan dan modul-modulnya sudah mulai lengkap. Namun sayangnya belum ada Bagian Akademik. Jika dibandingkan dengan Harvard, disana sudah ada Bagian Akademik sejak tahun 1995-an. Jika ini dikembangkan di UGM, maka UGM akan bisa menjadi leader dalam ilmu kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tantangan MMR kedepan menurut Prof. Laksono terkait dengan kebijakan mengenai BPJS dan RS Internasional. Pemaparan presenter dari Jerman menunjukkan bahwa mutu pelayanan sudah menjadi way of life dan bersifat transparan. Di Indonesia masih terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara daerah yang kaya dan miskin, penduduk yang kaya dan miskin serta RS yang maju dan belum maju. Seorang pasien hemodialisis di NTT harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk mengakses layanan hemodialisis di Kupang, sementara di Jogja pasien bisa mencapainya hanya dalam waktu singkat. Dikhawatirkan kedepannya, karena perubahan paradigma dan standar serta daya beli masyarkat, maka manajer RS-RS besar di Indonesia akan “diimport” dari Singapura, Malaysia atau Thailand karena mereka sudah terbiasa dengan RS bermutu internasional. Sebagai catatan, 10% masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat kaya dan jumlah ini setara dengan jumlah populasi Malaysia. Oleh karena itu, pangsa pasar RS bertaraf Internasional di Indonesia sesungguhnya sangat besar, hanya saja belum tergarap dengan baik. Salah satunya adalah kesiapan para manajer RS Indonesia untuk menjadikan RS-nya sebagai RS yang mutunya diakui secara internasional. @